6/6

843 164 169
                                    

Thank you karena udah ngeramein chapter sebelum ini!!!

140+ comments for next chapter, ya!!!

Joanna baru saja membuka mata, hal pertama yang dilihat adalah Liana yang saat ini sudah menangis di sampingnya. Sedangkan Jani sedang berbincang dengan Wijaya di pintu kamar. Bersama Jeffrey yang tampak memasang wajah gelisah sekarang.

"Kamu baik-baik saja, Nak? Dokter! Panggil dokter!"

Pekik Liana sembari mengusap wajah Joanna, tanpa menekan tombol darurat di atas ranjang. Membuat Jeffrey langsung berlari kencang untuk memanggil dokter segera. Karena Jani dan Wijaya sudah ikut masuk guna melihat Joanna.

Tidak lama kemudian dokter datang, Joanna hanya diam saja ketika diperiksa. Dia juga hanya mengangguk dan menggeleng pelan ketika ditanya. Membuat Liana semakin khawatir pada anaknya. Begitu juga dengan Jani dan Wijaya.

"Pacarnya minta masuk saja. Sebentar lagi waktunya makan malam. Nanti akan ada perawat yang membawa makanan dan obat."

Dokter langsung undur diri, lalu menepuk pundak Jeffrey yang kini masih berdiri di luar ruangan VVIP. Karena Liana melarang Jeffrey masuk saat ini. Mengingat dia sudah tahu akan apa yang telah dilakukan anaknya dan Jeffrey kemarin.

Iya, Liana jelas tahu. Dia seorang ibu. Instingnya setajam pisau. Terlebih, ada banyak kiss mark yang masih baru terlihat ketika dirinya menggantikan Joanna baju. Jeffrey juga tidak menyangkal hal itu dan membuat Liana semakin murka saat itu.

"Terima kasih, Om."

"Sama-sama, orang tuamu sudah Om beri tahu. Mungkin nanti datang kemari."

Jeffrey mengangguk kaku, lalu mentap Demian selaku teman baik ayahnya yang merupakan dokter sekaligus pemilik rumah sakit yang saat ini Joanna inapi untuk beberapa hari lagi.

Tidak lama kemudian perawat masuk. Dia membawa makan malam dan obat. Sedangkan Jeffrey hanya berdiri di depan pintu untuk menunggu orang tuanya datang. Guna menunjukkan keseriusannya pada Joanna. Karena dia memang sudah lama menyukai Joanna dan tidak keberatan jika orang tua mereka tahu akan hubungan mereka.

"Makan, ya? Sedikit saja. Supaya cepat sembuh."

Joanna hanya menggeleng saja. Dia enggan makan dan minum meskipun sebenarnya lapar. Karena dia muak dengan mereka yang ada di ruangannya. Sebab mereka pula dia harus menginap di rumah sakit sekarang.

Iya, Joanna overdosis obat penenang yang entah telah dikonsumsi sejak kapan. Namun yang jelas, Joanna tampak sudah biasa meminumnya. Mengingat sudah sebanyak apa pil yang sebelumnya ditelan hingga membuatnya harus dirawat seperti sekarang

"Suruh Jeffrey saja, siapa tahu kata Demian benar."

Saran Wijaya sembari mengusap punggung istrinya. Lalu membawanya keluar, bersama Jani juga. Mengingat Joanna tampak enggan menatap mereka dan masih memalingkan wajah.

"Jeffrey, tolong bujuk Joanna untuk makan dan minum obat, ya? Kita tunggu di luar?"

Jeffrey mengangguk cepat, lalu memasuki ruangan dengan langkah besar.

"Ada yang sakit?"

Joanna menggeleng pelan, saat ini dia masih memalingkan wajah karena merasa malu pada Jeffrey. Sebab dia telah melihatnya dalam keadaan lemah seperti ini. Meminum obat penenang, Joanna merasa jika itu adalah hal paling memalukan yang pernah dilakukan selama ini.

"Tidak perlu malu begitu. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Tidak masalah minum obat penenang asal tidak melukai orang. Makan sekarang, ya? Aku sudah pesankan menu makanan yang kamu suka."

Jeffrey mulai mengusap rambut Joanna, sembari menekan tombol untuk mengubah ranjang agar dapat digunakan menjadi tempat duduk sekarang.

Joanna diam saja, namun kepalanya sudah menatap Jeffrey sekarang. Atau lebih tepatnya pada nampan yang berisi sajian ayam fillet dan bubur ayam. Membuat Joanna yang awalnya berniat mogok makan mulai mengurungkan niat.

"Minum dulu."

Jeffrey mengangkat segelas air, kemudian didekatkan pada wajah Joanna yang sudah duduk karena bagian atas ranjang sudah naik saat ini.

Setelahnya, Jeffrey langsung menduduki kursi, lalu menyuapi Joanna perlahan namun pasti. Dengan perlahan hingga seluruh makanan habis. Membuat Liana dan yang lain senang ketika melihat ini.

Setelah meminum obat, orang tua Jeffrey datang. Mereka meminta maaf atas insiden apa yang telah Jeffrey lakukan pada Joanna sebelumnya. Membuat Joanna murka dan membela Jeffrey ketika disalahkan Liana. Karena nyatanya, mereka melakukan itu atas dasar suka sama suka. Tidak ada paksaan.

Membuat kedua orang tua mereka akhirnya hanya bisa diam dan merestui hubungan mereka. Namun tidak dengan Jani yang kini hanya menatap mereka tidak suka. Karena dalam hati masih belum rela jika telah dicampakkan.

Beberapa hari kemudian.

Joanna sudah pulang setelah dua malam dirawat. Ketika di rumah, dia hanya banyak diam meskipun Liana sering mendatangi kamarnya untuk menanyakan keadaan. Takut anaknya diam-diam menyimpan obat yang sama di dalam kamar.

"Mau ke mana?"

Tanya Liana ketika melihat Joanna berkemas. Memasukkan beberapa pakaian ke dalam tas ransel cukup besar.

"Camping."

"Berapa hari?"

"Tanya saja Jani!"

Joanna langsung beranjak dari kamar setelah memakai tasnya. Kemudian menuju lantai dasar dan mendekati Jeffrey yang kini sudah berbincang dengan Wijaya. Karena dia, Jani dan yang lain akan camping di puncak. Jeffrey membawa Joanna karena Jonathan juga akan membawa pacarnya. Namun tidak dengan Jani, Clara dan Nirina yang masih betah sendiri sekarang.

"Jani, kenapa tidak bilang Mama kalau campingnya dengan Joanna juga?"

"Jani juga tidak tahu, Ma. Jeffrey juga tidak memberi tahu kalau Joanna ikut."

"Ya sudah, kalau begitu hati-hati kalian. Mama titip Joanna. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Mama."

Jani mengangguk singkat, lalu menuruni tangga dan menatap Joanna yang kini sudah didekati Jeffrey. Pria itu dengan tanggap mengambil alih tas ransel Joanna yang tidak terlalu besar seperti apa yang sedang dipakai saat ini.

Iya, Jani cemburu. Cemburu sekali. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa karena Joanna adalah adiknya sendiri. Dia juga memiliki otak yang bisa bekerja dengan baik. Sehingga tidak mungkin dia mengganggu Joanna yang akan membuat nama baiknya rusak nanti.

"Jani, Papa mau melihatmu punya pacar juga."

Goda Wijaya ketika Jani mendekat, membuat Joanna yang sedang mengambil earphone di bagian depan tasnya langsung menoleh pada kakaknya. Menatapnya datar seperti biasa. Karena mereka memang sudah tidak berbicara sejak insiden sebelumnya.

"Jani suka Jeffrey, aku yakin dia sedang patah hati. Kasihan, seharusnya kau terima saja perjodohan yang sering Papa sarankan tempo hari."

Ejek Joanna sembari berjalan keluar rumah, lalu memakai earphonenya ketika masih berjalan. Mengabaikan tatapan orang-orang di belakang. Terlebih Jani yang kini sudah menatapnya nyalang dan Jeffrey yang kini sudah memakai tas ranselnya.

Sampe sini, kalian masih pro Joanna?"

Tbc...

SORRY, BUT I'M NOT JANI! [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang