Terimakasih dan Maaf

6 0 0
                                    

Terimakasih dan Maaf
Karya: Irfatiah Ilmi

Terik sang surya membakar kulitnya. Deni mengunyah sebungkus gado-gado  pinggir jalannya dengan begitu nikmat, seolah perut sudah tak terisi berhari-hari lamanya. Dari dahinya, keringat dingin mengucur lancar sampai ke dagu. Kerja kerasnya hari ini sungguh tak main-main.

Karena bahkan sebelum makannya usai pun, masih di liriknya catatan kecilnya di buku dua ribuan miliknya yang kertasnya buram itu sampai tak sadar ia menyendok gado-gadonya sampai ke hidung. Membuatnya kembali fokus pada makanannya lagi dan menyeka sedikit noda yang menempel di hidungnya.

Selesai makan pun Deni melanjutkan aktivitas membaca catatannya yang sebelumnya tertunda oleh insiden ‘noda di hidung’. Tapi begitu ia mencoba untuk merogoh pulpennya di dalam tas selempangnya, ia malah  tak sengaja menumpahkan minuman sederhananya yang disajikan di dalam plastik  bening itu tepat di atas tanah. Wajah kecewa pun mau tak mau terukir diwajahnya. Tapi ia tak mungkin bertahan dari panasnya hari ini tanpa ditemani minuman apapun.
Dengan malas ia  mencari penjual minuman terdekat, tapi yang bisa ditemukannya hanyalah pria tua yang hanya menjual air mineral dan beberapa kue kering saja. Deni pun sebenarnya sedikit tak yakin untuk membeli, karena dilihatnya pria tua itu sepertinya sedang tertidur. Tapi mau tak mau, ia datang lebih dekat ke sana untuk membeli sebotol air untuknya.

Setelah jaraknya sudah lebih dekat dengan pria tua penjual minuman itu, perasaan segan untuk membangunkannya dari tidur pun kembali muncul. Deni pun kembali menyusutkan niatnya lalu berbalik mencari penjual lain. “Adek mau beli minuman?” Deni kaget bukan main. Barusan ia yakin pria tua itu sedang tidur sebelum berbalik badan. Apa dia tak sengaja membangunkannya?

“Oh.. Iya, Kek. Boleh saya beli sebotol air mineralnya?” Deni bertanya sopan, membuat sang Kakek tersenyum lembut.

“Tentu.”

Saat Deni menyerahkan rupiahnya, tak sengaja ia lihat bekas luka di pinggir mata kanan sang Kakek. Ia pun tanpa sadar terus memperhatikan bekas luka itu. Lalu spontan bertanya, “Itu luka bekas apa, Kek?”

Sang Kakek terdiam. Deni pun ikut terdiam. Tapi setelah itu, sang Kakek menepuk-nepuk semen batu disampingnya, meminta Deni untuk duduk bersamanya. “Ini bekas  tembakan yang meleset,” ujar sang Kakek tenang. Deni pun jadi semakin serius mendengarkan. Matanya semakin jeli memperhatikan sang Kakek, siap mendengarkan lanjutan cerita dari si Kakek.

“Dulu, saat Kakek masih muda sepertimu, perang masih terjadi. Serdadu dimana-mana. Tembakan peluru melesat cepat melewatiku dan rekan-rekanku. Dan saat itu, semuanya terjadi. Aku mendapat luka ini dari tembakan yang hampir mendarat di kepalaku.”

Deni kembali terdiam. Tidak usah dijelaskan pun, ia mengerti siapa pria tua dihadapannya ini. Entah apa pangkatnya dulu, atau bagaimana kisahnya saat itu. Ia langsung paham kalau pria tua ini adalah salah satu pejuang kemerdekaan. Kulitnya yang sawo matang kini sudah dihiasi keriput usia. Tubuhnya kurus dan penuh bekas luka yang tak bisa pudar saking parahnya. Tapi kedua matanya yang mulai menyipit masih bersinar terang.
Bahkan jik
a saat ini punggungnya begitu lemah, dulu bahunya menggendong paling banyak beban sebagai pahlawan. Tapi lihatlah keadaannya sekarang.

Bahkan dengan jasa sebesar dan semulia itu, setiap hari ia hanya mampu mengais perak hanya untuk makan. Tanpa ada kompensasi sedikitpun dari Negara, Deni hari ini menyaksikan pahlawannya bergelut dengan kemiskinan. Hari-harinya hanya bisa menatap gedung-gedung semakin tinggi di tengah kota ini, tapi tanda-tanda kemiskinan di setiap pinggiran kota masih tetap tak memudar sedikitpun. Yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya. Koruptor bebas berkeliaran memakan jatah rakyat.

Entah bagaimana perasaan pria tua ini saat ia tahu semua yang terburuk dari yang terburuk sedang terjadi saat ini di atas tanah yang dulu ia perjuangkan setengah mati. Jasanya seolah tak berarti. Mati ditelan keserakahan beberapa manusia congkak.

Deni tanpa sadar  meneteskan air mata. Dibalik punggungnya, diremasnya kuat kertas hasil wawancara dengan salah satu koruptor tersorok negeri. Tak rela ia kalau pahlawannya sampai tahu.

Meski ia paham usahanya sia-sia mengingat sejarah panjang penggelapan dana di dalam negeri tercintanya ini.

Deni hanya bisa menunduk dalam. Meraih tangan pahlawannya dan menciumnya penuh hormat dengan air matanya yang masih membanjiri pipi. “Terimakasih… dan.. Maaf.”

***

Jangan lupa follow instagram forum lingkar pena ranting mansadel ya teman teman

@flp.mansadel

Terimakasih

Asa di Balik PahlawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang