Memang, sebagaimestinya seorang murid harus mengerjakan tugas yang diberikan dari sang guru. Tetapi aku malah asyik menikmati tacos sebagai makan siang hari ini. Sungguh membuat mood-ku membaik. Sementara Mei Ling justru memberiku tatapan tajam sepanjang hari.
"Kau ini kenapa, sih?" Tanyaku mengernyit memerhatikan Mei Ling yang sibuk mengunyah tacos.
"Kenapa kau malah makan?"
"Apa yang salah? Apa aku tidak boleh makan?"
"Tapi 'kan kau harus mengerjakan tugas dari Dylan!"
"Hey! Mana sopan santunmu?! Panggil dia Pak! Apa kau ini sebenarnya seumuran dengan Pak Dylan?"
Lalu ditengah percekcokan kami soal Dylan, muncullah seorang cowok yang datang menghampiri kami dan duduk di meja kami tanpa permisi—Theodore Wilson—terkekeh pelan mendengar keributan kami. Tangannya dengan ringan mengambil sebagian tacos yang ada di piringku, aku menatapnya dengan jengkel, "Kau pikir apa yang kau lakukan?"
Theodore merogoh kantong celananya, mengeluarkan selembar sapu tangan untuk membersihkan jari-jarinya dari remah tacos, "Kalian ribut kencang sekali, sampai-sampai suara kalian terdengar dari studio lukis. Makanya aku datang untuk melihat ada apa."
Mei Ling mendengus, ekspresi cemberutnya masih belum hilang dari wajahnya. "Luna sudah mengambil hati Pak Dylan!"
"Mengambil hati apa? Justru dia yang mengambil kewarasanku dengan memberikan tugas yang tidak masuk akal!"
"Berarti kau sudah mengambil perhatiannya!"
"Ya sudah, kau saja yang kerjakan tugasku!"
"Dylan akan mengenali tulisanku, tulisanku jauh lebih bagus daripada punyamu!"
"Oh, Bagus! Itu artinya kau akan dapat pujian darinya!"
"Sssst!" Theodore membentangkan kedua tangannya dihadapan kami, melerai perdebatan kami yang sebenarnya tidak penting untuk didengar. "Kau, cepatlah kerjakan tugasmu atau kau akan mendapat masalah yang lebih berat. Kau tahu sendiri kalau Dylan senang sekali membuat muridnya kesusahan." kata Dylan menatapku dengan serius. Aku langsung terdiam dan mengangguk pelan.
"Dan kau," Theodore kini menoleh kearah Mei. "Berhentilah bersikap iri, kalau kau memang suka pada Dylan, katakan saja secara langsung."
Mei Ling berdiri dari duduknya, wajahnya kini sumringah dan bersemangat. "Baiklah aku akan menggodanya nanti sepulang sekolah!"
"Kau gila, Mei. Kau sudah gila!" ujarku seraya memijat-mijat keningku yang mulai pusing. Dengan potongan tacos terakhir, aku segera mengemas buku-buku catatan disebelahku dan berdiri, "Aku akan bolos di kelas Matematika. Mei, jika Bu Maria mencariku bilang saja aku di UKS."
Namun Mei hanya mengangkat bahunya tak acuh. Aku mengancamnya dengan mengepalkan tanganku dan bersiap untuk meninju wajahnya, lantas ia berteriak, "Iya, Iya, Aku dengar!"
Baiklah, kini aku merasa tidak ada lagi yang mengganjal. Aku bisa dengan fokus menyelesaikan tugas konyol ini. Setelah berbunyi, Aku, Mei Ling, dan Theodore, berpisah di ujung koridor. Langkahku bergerak di koridor bagian belakang sekolah, dengan pemandangan taman serta air mancur ditengahnya. Perpustakaan kami samgat keren, karna pintunya selaras dengan air mancur taman belakang sekolah. Akupun masuk melewati pintu yang sangat besar, rasanya seperti masuk ke aula hogwarts, hanya saja ini isinya buku-buku kusam.
Sebenarnya aku sangat menyukai perpustakaan sekolah kami, karena bagiku perpustakaan adalah tempat paling klasik yang bisa ditemui di sekolah. Dan juga keheningan dari ruangan besar ini memberikan ketenangan—untuk tidur siang.
Bercanda, aku akan benar-benar serius mengerjakan tugasku sekarang.
Suara decitan kaki kursi yang kutarik membuat beberapa orang menoleh kearahku. Astaga, apakah suara nafas disini akan di-notice oleh para penghuni perpustakaan?
Aku hanya mengucap kata 'Sorry' tanpa suara, lalu akupun duduk di kursi itu.Disela kesibukanku menulis esai, aku seperti mendengar suara geraman hewan. Aneh, perpustakaan ini besar dan hanya dihuni manusia-manusia kutu buku, dan mereka sangat fokus dengan buku-buku mereka. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, tidak ada yang aneh. Kembali aku melanjutkan aktivitasku, namun lagi-lagi aku mendengar suara geraman hewan itu lagi.
Bulu kudukku langsung berdiri, menyadari sepertinya hanya aku yang bisa mendengar suara geraman itu. Namun dalam batinku sudah kumantapkan bahwa aku tidak mendengar apapun, mungkin hanya imajinasiku saja.Beberapa waktu lamanya, entah, mungkin sudah satu jam aku disana. Aku sudah mulai merasa bosan dan mengantuk. Sedangkan esaiku belum selesai. Dengan kedua tanganku yang menyilang diatas meja, aku meletakkan kepalaku diatasnya. Ya, anggap saja sedang mengistirahatkan otak dan mataku—sial, aku benar-benar mengantuk.
"Nampaknya kini kau sudah selesai dengan esai-mu, Nona Steinhauer."
Aku mengangkat kepalaku dan mencari sumber suara. Yap, Dylan Howell si guru aneh sudah berada di hadapanku. Habislah aku, aku belum menyelesaikan esaiku dan kini dia menagihnya.
"B-belum selesai, pak." ucapku pasrah seraya menyerahkan lembar lembar kertas yang agak kucal akibat kedua tanganku yang menimpanya. Dylan hanya menghela nafas panjang,
"Setidaknya esai ini akan menjadi nilai back up-mu. Jaga-jaga kalau nilaimu E di ujian akhir nanti." Dylan Howell menyimpan kertas-kertas esaiku kedalam map yang ia bawa. Lantas ia pun pergi tanpa bicara apa-apa.
"Ya. Bisa saja aku selamat dari nilai jelek di mata pelajaranmu, tapi aku tidak akan aman dari Bu Maria." Batinku menggerutu.
Mataku melirik ke jam tangan yang melekat di tangan kiriku. 16.50, bagus. Aku tidak akan bisa kembali ke kelas Matematika karna sepuluh menit lagi kelas selesai. Langsung saja aku bangkit dari tempat dudukku, meraih buku-buku yang kupinjam dari perpustakaan dan mengembalikannya di rak tempat mereka disimpan, lalu melangkah keluar menuju pintu utama perpustakaan.
Namun tepat sebelum langkah pertamaku keluar dari perpustakaan, aku mendengar suara geraman itu lagi. Kini benar-benar nyata, dan aku dapat mengetahui lokasi suara itu. Suara yang datang diantara rak-rak besar perpustakaan. Langsung saja aku menghampiri asal suara. Dengan fokus aku memasang telingaku, menoleh kiri-kanan mencari sumber suara, dan aku melihatnya. Sosok yang sedari tadi mengeluarkan suara geraman binatang yang menggangguku belajar. Posisinya membelakangiku, sedang membuka halaman-halaman buku dengan cepat. Geramannya tidak hilang semenjak aku menemukannya. Nampaknya aku kenal dengan orang ini.
"Sedang apa disini...?" Tanyaku padanya mencoba menegurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Alpha And The Luna
RomanceKeanehan demi keanehan kian terasa di kehidupanku yang semakin mendekati umur delapan belas tahun.