3

2 0 0
                                    

Kacamatanya tampak melorot di hidungnya. Buku yang ada di genggamannya terkatup begitu saja saat matanya bertemu dengan mataku. Lucas Nixon namanya. Rambut ikalnya yang pirang nampak berantakan. Sepertinya dia begitu frustasi sampai-sampai ia mengacak-acak rambutnya.

"Huh? T-tentu saja Aku sedang membaca." nadanya tampak gugup, seperti maling yang tertangkap basah.

Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya, suaraku berbicara dengan lirih, "Apa kau mendengar suara geraman binatang?"

Kedua alis Lucas terangkat bingung, ekspresi wajahnya seakan bertanya apakah ia tidak salah dengar. "Binatang apa?"

"Entahlah," aku menyandarkan punggungku ke rak buku yang ada di belakangku sembari melipat kedua tanganku, "Aku mendengarnya sangat jelas dari arah sini, kupikir kau juga mendengarnya."

Lucas membenarkan posisi kacamatanya dengan jari telunjuk kirinya, "Aku yakin aku tidak mendengar suara aneh disini. apa lagi kau tau sendiri kalau Pak Nelson--penjaga perpustakaan--akan menyergap dan menghukum siapapun yang berani membuat keributan di ruangannya."

Benar juga dengan apa yang dikatakan Lucas. Mungkin memang hanya aku saja yang berimajinasi berlebihan. Aku membenamkan wajahku dengan kedua telapak tanganku, dan menepuk-nepuk kedua pipiku dengan pelan, berharap aku bisa kembali ke dunia nyata. Dengan sok akrab aku menepuk lengan Lucas dan berpamitan untuk pergi meninggalkannya. Aku merasakan bahwa akhir-akhir ini aku memang sering mengalami hal-hal aneh.

Dan soal Lucas, aku tidak begitu yakin bahwa pernyataannya tadi adalah kejujuran. Aku memaksakan asumsiku bahwa Lucas baru saja berbohong padaku soal suara itu. Langkahku lunglai di sepanjang koridor sekolah yang menjadi perbatasan antara sekolah dengan asrama. Hari dirasa sudah mulai gelap, baiknya aku mampir dulu ke kamar Mei Ling.

Baru saja aku hendak mengetuk pintu Mei, aku mendengar suara sayup-sayup cipratan air pancuran dan lantunan lagu dengan suara sumbang--Mei sedang mandi.

Tunggu dulu.

Kenapa aku bisa mendengar suara air dan nyanyian Mei dengan begitu detailnya. Padahal aku sangat yakin bahwa ruangan asrama kami sangat tenang, privasi siswa tidak akan dengan mudahnya terdengar atau dapat diintip dari luar. Tentu saja aku merasa panik dan malah menggedor-gedor pintu Mei agar dia cepat sedikit. "Mei! Buka!"

"Ya! Ya! Dua menit!" Balas Mei berteriak dan dia menggerutu setelahnya.

Aku makin merasa panik dan ketakutan karna aku bisa mendengar Mei menggerutu, aku merasa tidak normal. Aku merasa pendengaranku begitu tajam saat ini. Suara klik dari balik pintu terdengar dan Mei dengan mulut mengerucut, sehelai handuk melilit di kepalanya terlihat dari balik pintu dan memberi ruang lebih lebar agar aku bisa masuk. Langsung saja aku menerobos masuk dan langkahku liar ke kiri dan kanan, merasa tidak tenang. Mei hanya mengangkat satu alisnya, memerhatikan tingkahku dengan kebingungan, "Kau ini kenapa?"

"Aku, Aku tidak normal, Mei!"

Mei tertawa puas, "Ya Tuhan, aku tidak menyangka akhirnya kau mengakui bahwa kau ini tidak normal, Luna!"

Aku mendekati Mei dan kedua tanganku mencengkram pundak Mei. "Aku serius, Mei! Aku takut!"

Namun Mei masih tertawa cekikikan melihat ekspresiku, Ia mengajakku untuk duduk di tepian kasurnya. kurasakan tangannya merangkul pundakku. "Kau habis melihat hantu?"

Oh, Tuhan. Ingin sekali aku mencekik sahabatku ini.

"Biar kutebak lagu apa yang kau nyanyikan saat kau mandi tadi."

Mei menunggu jawabanku dengan wajah meremehkan.

"Lagu One Direction bukan? yang Steal My Girl?"

"Astaga," Mei nampak terkejut. "Apa aku menyanyi begitu keras?"

Aku menggeleng, "Tidak keras. Tapi aku bisa mendengarnya, dan suaramu buruk sekali."

"Masih lebih  baik dari suaramu!" balas Mei menyerangku balik.

"Tapi kau dapat poinnya? Pendengaranku tiba-tiba saja menjadi tajam!"

"Baiklah, baiklah. Sekarang aku tanya padamu," raut Mei kini serius, "Apa sekarang kau bisa mendengar kata hatiku?"

Sebuah tinjuan mendarat di lengan kiri Mei. Ya, aku yang meninjunya dan Mei kini mengaduh sambil mengelus-elus lengannya dan mendelik kearahku.

"Kau pikir aku ini cenayang?" dengusku, "Dan aku merasa ada yang aneh dengan Lucas Nixon."

"Hm? Lucas dari kelas Fisika? Kau bertemu dengannya?" Tanya Mei penasaran.

"Giliran bahas cowok ganteng kau langsung serius!" protesku seraya merebahkan tubuhku diatas tempat tidur milik Mei. Aku tidak langsung mengatakan alasanku mengapa aku mengatakan Lucas aneh. Hanya saja aku dapat merasakan auranya tadi seperti ada yang berbeda, namun tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

"Yah.." aku menghela nafas, "dia sangat culun dan kutu buku, padahal dia masuk ke dalam list cowok ganteng versi Mei Ling." lanjutku dengan tatapan kosong kearah langit-langit kamar.

Mei Ling hanya menggaruk-garuk belakang kepalanya sebagai responnya. "Lebih baik kau cepat kembali ke kamarmu, sana! Aku sudah mengantuk dan ingin tidur!" perintah Mei mengusirku. Namun aku masih disana, rebahan dan malah menutup mataku. Badanku terasa berat dan malas untuk kembali ke kamarku. Tangan-tangan Mei menarik tanganku dan tubuhku terpaksa bangkit dan Mei mendorongku sampai ke pintu.

"Jangan lupa mandi dulu baru tidur, mengerti?" ucap Mei dan sedetik setelahnya ia tutup pintu kamarnya. Aku mengusap-usap mataku dan berjalan dengan malas menuju kamarku yang terpisah lima pintu dari kamar Mei. Tepat pintu terakhir dan koridor asrama berakhir disana.

"Steinhauer?"

Kepalaku menoleh ke kanan, tepat di belokan koridor berdirilah Dylan Howell sambil menenteng senter. 'Oh tidak. Biarkan kali ini aku lolos, sekali saja.' pintaku dalam hati, dan melayangkan senyuman datar kearahnya sebagai respon. Aku tidak ingat bahwa malam ini adalah gilirannya untuk piket malam.

"S-saya akan langsung ke kamar, Pak. Permisi..." ujarku santun dan menundukkan kepalaku sopan seraya menyelonong cepat menuju kamarku. Namun belum sempat aku melakukannya, tangan kanan Dylan membentang dihadapanku, mencegahku untuk kabur. "Kau dari mana? kenapa jam segini kau belum berada di kamarmu?"

Aku menggaruk-garuk kepalaku kebingungan. Rambut panjangku yang tadi pagi tertata rapi kini sangat kusut dan kacau, walau tidak kulihat secara langsung tapi aku bisa merasakannya.
"Saya tertidur di kamar Mei, pak."

"Kau tidak bohong, 'kan? kau tidak kelayapan keluar dari area sekolah, 'kan?"

"Astaga, pak. Apa bapak tidak lihat penampilanku seperti orang baru bangun tidur?" balasku protes. Dylan hanya menganggukkan kepalanya, dan menyingkirkan tangannya dari hadapanku dan memberikanku jalan, "Ya, Bapak percaya padamu. Lain kali kau harus ke kamarmu sendiri."
Aku hanya mengangguk pelan dan kembali melangkahkan kakiku menuju kamarku yang berada di paling ujung koridor.

"Kau bisa mendengarku dari sini?"

Aku menoleh cepat ke sumber suara dengan wajah terkejut dan takut menjadi satu. Kulihat Dylan masih disana, melemparkan senyum misteriusnya padaku sebelum akhirnya ia balik badan dan melangkah pergi. Aku bersumpah jarakku dengan Dylan sudah jauh, dan Dylan tadi mengatakan hal yang sangat aneh, dan dia tidak mengatakannya dengan lantang, melainkan setengah berbisik. Dan senyumannya, apa yang ia siratkan? Aku bergidik dan buru-buru masuk kedalam kamarku, memutuskan untuk tidak ingin memikirkan kejadian tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Alpha And The LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang