Ruang Kelam

1 0 0
                                    

Semua akan datang dengan rasa penasaran, lalu pergi tanpa perasaan.
—Reylan Callia Brand

Selamat Membaca

"Gue ada sedikit kesibukan, setelah ini gue otw."

Tut*

Ponsel silver itu kembali dimasukkan pada saku celana milik pemuda berkemeja hitam tersebut.

Menyugar rambutnya yang sedikit basah akibat terkena rintik hujan, menatap lama bangunan rumah dengan di dominasi warna putih dan abu-abu, pria dengan postur tubuh cukup tinggi ini melangkah masuk ke dalam rumah teman Ayahnya.

Ruang tamu terlihat kosong, dapat ia tebak bahwa mereka ada di ruang keluarga. Dengan langkah tegas pria tersebut melanjutkan perjalanan begitu mendengar suara berisik bersumber dari sana.

"Akrab sekali dua keluarga ini" gumamnya, lalu kembali melangkah menemui mereka.

"Maaf terlam-bat... ouh" rupanya ia salah menduga.

Raut wajah mereka begitu berbeda, bukan raut bahagia dan sumringah di sana melainkan raut tak terbaca. Terlebih gadis di depannya ini, seperti  baru selesai menangis? Terbukti dari jejak air mata di pipinya serta hidungnya memerah.

Ingin sekali ia menghapus jejak itu, tapi ia cukup takut dan juga mereka belumlah saling kenal. Ia menyadari posisi mereka sekarang.

Mendehem pelan, alis pria tersebut terangkat sebelah seolah meminta penjelasan pada kedua orangtuanya.

"Ah, sini nak Herfiza. Maaf atas kekacauan ini" panggil Ferdiansyah memberikan jalan untuk pria bernama Herfiza itu lewat.

Dengan seulas senyum, Herfiza sedikit membungkuk lalu bergabung dengan orangtuanya, sebelum itu matanya sempat melirik Reylan sekilas.

"Reylan segera ganti bajumu dan kembali bergabung, tidak ada bantahan" pinta Ferdiansyah, tangannya terangkat seolah menginterupsi agar Reylan tidak membantah perkataannya.

Dengan perasaan campur aduk, antara kecewa, marah, sedih, membuat Reylan ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tanpa memperdulikan mereka, gadis dengan rambut panjang itu segera berlari menyembunyikan diri di kamar. Ia ingin membuang tasnya ke sembarang arah, membuang buku-buku di meja belajar, serta peralatan make-up ke mana-mana ia ingin menyalurkan seberapa hancur dan betapa ia menolak perjodohan sepihak ini. Namun, ia masih memiliki kesadaran. Kalau kalau ia membuat sesuatu yang tidak terpuji, bisa saja nama ayah dan ibunya akan tercoreng di kalangan mereka.

Bagaimana ini?

Butuh waktu lama untuk Reylan turun dan bergabung lagi bersama keluarga Wijaya dan kedua orangtuanya. Jika saja Savian tidak pergi ke kamar dan menyuruh Reylan untuk turun, gadis itu tidak akan mungkin bisa duduk di tengah dua keluarga ini.

Raut wajah penuh amarah itu Reylan tahan, alis tertekuk, bibir cemberut, serta tatapan nyalang milik Reylan mempu membuat siapa saja akan mengira bahwa Reylan ini ahli dalam bergulat.

Sangar.

Sekilas, Herfiza menangkap mata Reylan begitu juga sebaliknya. Lama keduanya saling menatap hingga pertanyaan Ferdiansyah memutuskan kontak mata itu.

"Nak Herfi, bagaimana dengan keputusan kamu? Apakah kamu mau langsung ke jenjang berikutnya atau ingin berkenalan dulu untuk beberapa hari ke depan? Pasalnya ayahmu ingin semuanya di selesaikan secepatnya."

"Aa, begini Om Ferdi" Lagi, Herfiza menatap Reylan. Tatapan mata itu tidak terbaca kali ini.

"Aku ingin mengenal anak om lebih dalam lagi dan satu lagi"

TACENDATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang