01. Panti asuhan

70 36 20
                                    

Enjoy!!



01. Panti asuhan

Perempuan yang dipanggil Rara itu langsung memeluk erat sosok wanita tua dihadapannya. Isak tangis pecah detik itu juga, bagai bendungan yang sudah tidak kuat menahan volume air yang semakin meningkat.

"Kangen mama, bu..." ucapnya dengan isakan tangis yang semakin kencang.

"Mau nyusul mama, bu..."

"Ayah jahat, lebih milih perempuan itu dibandingkan aku, bu..."

"Aku sakit, tiap hari harus jadi samsak tinju Ayah. Aku sakit, terus dijadiin pelampiasan nafsu Ayah kalau perempuannya pergi. Sakit, bu..."

Wanita tua yang sedang mendengarkan penuturan gadis itu, sangat terkejut. Hatinya turut sakit,  bagaimana perlakuan seorang Ayah kandung, dengan beraninya melampiaskan nafsunya kepada anak kandungnya.

Orangtua macam apa yang tega melakukan hal sekeji itu?

Ibu panti. Wanita tua yang sejak beberapa menit lalu bersama perempuan itu, semakin menguatkan pelukannya. Tak lupa juga menghadiahi kecupan ringan di kening milik gadis itu, untuk  menyalurkan rasa sayangnya.

••

Rashelia Poetry Seira perempuan itu biasa dipanggil Rara. Ia merupakan seorang perempuan, yang bisa dikatakan hidupnya sangat berkecukupan. Bahkan, tak jarang dari beberapa orang disekitarnya, yang terkadang merasa iri terhadap kehidupan Rara.

Sedangkan, Rara sendiri merasa sangat menyesal karena terlahir dari keluarga yang bergelimang harta. Menurutnya, percuma saja terlahir dari keluarga yang bergelimang harta. Alih-alih memberikan kasih sayang, justru perlakuan buruk yang menjadi makanan sehari-hari.

Berbanding terbalik jika tinggal di panti. Rasa kasih sayang dan perhatian, selalu ia dapatkan. Sementara perlakuan kasar? Tidak terasa sama sekali. Karena hal itulah, Rara menyesali keputusannya, saat itu—kembali pulang bersama sang Ayah.

"Rara, ayo sarapan." ajak Reina—ibu panti, yang kini sudah berdiri di ambang pintu kamarnya dulu.

Anggukan kepala kecil ia keluarkan guna menjawab ajakan Reina.

Keduanya kini berjalan menuju ruang makan dimana semua anak-anak panti sudah duduk dengan tenang.

Ekspresi kaget terpasang indah di wajah anak-anak panti saat melihat siapa perempuan yang dimaksud Reina tadi.

Pekikan kebahagiaan langsung menyerbu Rara. Detik itu juga, semua yang berada di ruangan ini, langsung menghampiri dirinya. Memberikan pelukan, yang sangat ia rindukan.

"Loh, Kak Rara?"

"Kak Rara!"

"Aku kangen banget sama Kak Rara!"

"Akhirnya Kak Rara balik lagi,"

"Nanti kita main bareng lagi ya, Kak!"

Begitulah ucapan anak-anak panti saat tahu sosok Kakak tertua di panti kembali datang ke tempat ini.

"Kakak ngga ninggalin kita lagi 'kan?"

"Kakak bakalan tetep disini lagi 'kan sama kita semua?"

Tanya dua orang anak kecil yang sudah menduduki bangku sekolah dasar kelas 2. Mereka adalah Arya dan Aria sepasang anak kembar yang dilahirkan dari rahim seorang perempuan yang tidak memiliki rasa tanggung jawab.

Rara tersenyum, lalu berjongkok dihadapan semua anak panti yang masih mengelilinginya, "Kakak janji bakalan terus disini, sama kalian!"

Suara sorak kesenangan memenuhi ruangan tersebut dimana membuat Reina merasa sangat senang dan bahagia.

Bahagia selalu anak-anak, Ibu. Batin Reina yang tanpa disadari sudah mengeluarkan sebulir cairan bening dari matanya.

Acara sarapan pagi itu berjalan lancar walaupun sedikit hambatan karena sepasang anak kembar—Arya dan Aria—bertengkar memperebutkan posisi duduk untuk berdekatan dengan Rara si Kakak kesayangan mereka.

••

Dante kini terlihat tengah merapikan kembali penampilannya di depan cermin yang berada di kamarnya, baju hitam lengan pendek yang dimana pada bagian kiri dadanya terdapat logo sekolah dan bagian belakang terdapat nomor punggung angka 7, serta celana hitam pendek sampai menutupi lututnya itu sudah terbalut rapi membungkus tubuhnya.

Hari ini adalah hari sabtu, hari dimana tim sepakbola nya berlatih keras untuk persiapan lomba tingkat SMA nanti yang akan diselenggarakan dua minggu lagi.

Dirasa sudah rapi, laki-laki itu langsung mengambil tasnya yang berisi sepatu khusus pemain bola itu ke dalam genggamannya. Setelah itu melangkahkan kakinya menuju luar kamar.

Kini kedua kakinya sudah menapak di ruangan tengah, dimana ia dan Neneknya menonton televisi.

"Nenek!" panggil Dante sembari mengedarkan pandangannya keseluruh sudut ruangan mencari keberadaan Heriani—Neneknya.

"Nenek di dapur!" balas Neneknya, tanpa aba-aba lagi Dante segera melangkahkan kakinya menghampiri sang nenek yang berada di dapur.

"Kue kering sebanyak itu buat siapa, Nek?" tanya Dante tepat disamping Heriani yang kini tengah sibuk memasukkan kue kering ke dalam toples plastik yang sebagian sudah terisi penuh.

"Mau nenek kirim ke panti asuhan,"

"Kamu mau kemana?" tanya balik Heriani saat melihat sosok cucu laki-laki kesayangannya sudah berpakaian rapi.

"Mau latihan, Nek. Ini Dante ke sini tuh mau pamit sama Nenek." jelas Dante yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Heriani yang kembali sibuk memasukkan kue kering kedalam toples terakhir.

"Dante pamit, ya."

"Bentar dulu, anterin nenek ke panti asuhan mau? Searah 'kan?"

Tanpa berpikir panjang lagi Dante segera menyetujui permintaan Heriani.

••

Saat sudah tiba di area panti asuhan, Dante merasakan ada yang aneh karena tiga mobil mewah berwarna hitam terparkir sempurna di pekarangan rumah panti asuhan itu.

Apalagi keanehannya terus ia rasakan kala sekelompok pria berbadan besar yang lumayan banyak itu membawa seorang perempuan yang tengah menangis tersedu-sedu dengan penuh paksaan itu keluar dari panti dan membawanya masuk kedalam salah satu mobil yang sempat ia lihat tadi saat memarkirkan motornya tidak jauh dari tempat mobil itu terparkir.

"Mereka siapa, Nek?" tanya Dante kepada Heriani yang tak kalah terkejut melihat sekelompok pria berbadan besar tadi.

Tbc.
jangan lupa tekan tombol bintang untuk memberikan vote.
komennya juga jangan lupa.

See u

𝐒𝐎𝐍𝐃𝐄𝐑 || On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang