1. Awal Semester

33 8 15
                                    

Semester kedua perkuliahan telah dimulai. Di hari pertama, mahasiswa membentuk lingkaran berdasarkan perkumpulannya masing-masing. Ada yang menceritakan kegiatan selama liburan, ada yang membicarakan gebetan, dan yang paling banyak menceritakan nilai-nilai ajaib mereka.

Enam belas kali pertemuan, dua kali masuk kelas, tidak ada tugas, dan nilai yang didapat A dan B, tergantung ujung NIM mahasiswa. Genap akan mendapat A, ganjil akan mendapat B. Luar biasa! Tapi tetap menjadi favorit mahasiswa.

Terdengar umpatan dari mahasiswi yang bernama Veera Xania. UTS dan UAS dia kerjakan sebaik mungkin. Namun, karena NIM-nya diakhiri dengan angka 31, maka tertera nilai B. 

"Gila! Kepala gue rasanya mau pecah waktu ngerjain ujian bapak itu. Bisa-bisanya gue dapat B!" Veera menggebrak meja sehingga kantong berisi sosis beserta saos milik Putri, berceceran di lantai. 

"Eh, maaf, maaf, Put. Nggak sengaja. Aduh, sayang banget saosnya." Veera yang memang orangnya panikan, menoleh kanan-kiri mencari sesuatu yang bisa digunakan menghilangkan noda itu.

Si pemilik sosis hanya bersikap biasa saja. Memasukkan kembali sosis ke dalam kantong, dan menggesekkan sepatunya ke noda saos. Alhasil, saos merah seperti lukisan abstrak di keramik bewarna putih. Seakan-akan lupa dengan apa yang barusan terjadi, tangannya membawa sosis tadi ke mulut.

"Jorok, Put! Buang sana!" marah Erna sembari memukul tangan Putri hingga sosis dan kantongnya kembali jatuh. 

"Eh, maaf, maaf, Put," kata Erna.

Putri cukup sabar berteman dengan dua orang yang berperan penting dalam hidupnya ini. Berperan sebagai penganiaya. 

"Lagian Veer, kita udah denger dari senior kan kalau sistem penilaian dari si bapak memang begitu. Cuma ya tiap semester ganti-ganti. Bisa ganjil dapat A, semester depan bisa yang genap dapat A. Salah lo juga, ngerjain apa-apa suka serius. Santai aja kali, Neng. Sekarang malah kesel sendiri," ujar Erna panjang lebar. 

Putri kembali duduk setelah membuang sosisnya. "Terus, dosen yang ngajar kita di semester ini siapa aja?" tanya Putri. Jujur saja, Putri sudah lupa dengan beberapa nama dosen yang mengajarnya di semester lalu. Entah sejak kapan dia menjadi pelupa. Kata mamanya dari lahir sudah begitu.

"Yuda Triansyah, dosen baru yang terkenal killer. Sialnya wajah dia ganteng banget. Bikin mahasiswi galau mau pasang wajah takut atau senyum-senyum," jawab Erna.

Veera menautkan alisnya. "Yuda? Gue nggak pernah dengar gosip tentang dia. Killer gimana? Suka marah-marah, ya?" Gelengan Erna membuat Veera semakin penasaran.

"Pak Yuda malah sebaliknya. Orangnya pendiam banget. Omongan dia isinya materi semua. Paling negur sekali aja, setelah itu siap-siap kalian dapat nilai D."

"Lalu gantengnya kayak gimana?" tanya Putri yang malah salah fokus.

"Wajahnya putih bersih, bentukannya mirip bule, tapi masih ada Indonesia-nya. Intinya dia sepuluh dari sepuluh. Sempurna!" Erna pun mengembangkan senyumnya.

Jefri tiba-tiba masuk kelas sambil berteriak, "Diam, woy! Pak Yuda beberapa meter lagi masuk ke kelas. Siap-siapin mental kalian!"

Veera menelan ludah. Kenapa semua orang tahu tentang dosen killer ini sedangkan ia tidak mengetahui apa pun? Veera yakin jam terbang gosipnya kurang panjang.

"Selamat pagi!" ucap Yuda yang dijawab langsung oleh mahasiswanya.

Saat itu juga semua mata terpaku pada Yuda. Rambut rapi ke atas, hidung mancung, alis tajam, manik cokelat menatap tegas, dan bibir berisi. Wajah rupawannya dapat menandingi wajah aktor tertampan sekali pun.

Ekspresinya selalu datar, hingga ia telah selesai menjelaskan kontrak perkuliahan. Kini saatnya ia mengabsen.

"Veera Xania," ucapnya.

Pak Dosen, Love U!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang