2. Di Kamar Veera

5 2 0
                                    

Setelah berada di dalam mobil, Yuda bolak-balik memandangi jalan dan Veera yang mengaduh kesakitan.

"Antar saya pulang, Pak ...," ucap Veera dengan lirih.

"Tapi-"

"Pulang ...."

"Kamu yakin?" tanya Yuda yang sebenarnya bingung harus menuruti Veera atau tidak.

Melihat anggukan Veera, Yuda akhirnya menanyai alamat perempuan itu dan kembali melajukan mobilnya di atas kecepatan rata-rata.

"Masa iya dia hamil?" guman Yuda yang mulai terpengaruh perkataan omanya tadi. Sekelebat kejadian beberapa hari ini berputar di kepalanya. Jadi, istri orang lain mengejar-ngejarnya?

"Di sini rumahmu?" tanya Yuda. Saat matanya mengarah ke Veera, wajah itu sudah berubah pucat dan ada keringat yang menghiasi wajahnya.

"Saya panggilkan orang rumah kamu ya," kata Yuda.

"Rumah saya gak ada orang, Pak," kata Veera dengan tenaga yang tersisa.

Yuda menggeram. Ke mana suami Veera disaat perempuan itu sakit?

Veera dengan sisa tenaganya, memaksakan diri keluar dari mobil. Baru langkah pertama, ia kembali jongkok sambil memegangi perutnya.

"Veera!" Segera Yuda menghampirinya. "Kamu yakin tidak mau ke rumah sakit? Bagaimana dengan an-" Belum juga Yuda selesai berkata anak, Veera sudah menarik celananya sambil menangis.

"Bapak ... tolong bawa saya ke kamar, hiks!"

"Sebaiknya kita ke rumah sakit!"

"GAK MAUUUU! SAYA MAU DI KAMAR!" teriak Veera meraung-raung.

Sekian kalinya Yuda meyakinkan dirinya untuk tidak terlibat lagi dengan mahasiswinya ini. Sangat menyusahkan pikirnya, tapi ia sendiri juga tidak tega meninggalkan seorang perempuan yang tengah kesakitan.

Mau tak mau, Yuda menggendong Veera di depan, dan dengan susah payah membuka rumah kediaman Veera yang lebih mewah dari rumahnya.

"Kamar kamu di mana?" tanya Yuda yang sedikit terperangah dengan luasnya rumah itu.

"Di atas, paling ujung kanan," jawab Veera.

Setidaknya ada 30 anak tangga menuju ke atas. Dan Yuda pun harus bekerja keras untuk membawa Veera ke tempat tujuan.

"Pak," lirih Veera setelah Yuda membaringkannya di kamar yang serba ungu itu.

"Di rumah kamu tidak ada siapa-siapa?" tanya Yuda sekali lagi.

Apa kata orang jika ia berduaan dengan istri orang lain di kamar? Sebaiknya Yuda pulang.

"Kamu hubungi orang rumah kamu secepatnya, saya mau pulang sekarang."

Veera kecewa, bahkan saat ia sesakit ini, Yuda masih bersikap dingin padanya.

"Saya tinggal sendiri, Pak."

Yuda terkejut. Jadi Veera mengandung tanpa seorang suami?

"Jadi, suamimu ... tidak ada?" tanyanya.

"Suami? Suami siapa, Pak?" tanya Veera yang jadi ikutan bingung.

"Anakmu." Hanya itu yang keluar dari mulut Yuda.

Beberapa detik berpikir, otak Veera mulai menyimpulkan. "Astaga! Saya bukan lagi hamil, Pak! Perut saya sakit karena menstruasi," ujar Veera yang kalau saja tidak dalam keadaan sakit, ia akan tertawa dengan pemikiran Yuda.

Yuda menghela napas. Otaknya ternyata berpikir terlalu jauh, ini pasti karena ucalan omanya tadi.

"Saya minta tolong ambilkan obat di belakang kaca kamar mandi, Pak," ucap Veera setelah merasakan perutnya kembali berulah.

Segera Yuda mencarinya dan langsung menemukannya. Ia mengambil gelas dan mengisi air dari dispenser yang terletak di pojok kamar Veera.

Setelah duduk untuk minum obat, Veera kembali berbaring. Perlu beberapa saat sampai obat itu mulai bekerja.

"Saya pamit pulang, ya," ucap Yuda dengan wajah datarnya. Ia sebenarnya sedikit malu dengan pikirannya sendiri tadi.

Hening sejenak, Yuda bisa saja langsung pergi, tapi ia menunggu balasan Veera. Ini semata-mata berjaga, siapa tau Veera butuh sesuatu sebelum ia pergi.

"Pak ...," panggil Veera.

"Iya!" jawab Yuda dingin.

Veera tiba-tiba meringis kesakitan. Yuda pun refleks duduk di kasur Veera, "Apa yang sakit?"

"Perut saya, Pak."

Perbuatannya yang akan dilakukannya ini hanya untuk membantu sebagai sesama manusia, tidak ada maksud terselubung.

Tangan besar itu menyentuh perut Veera yang berbaring terlentang. Sentuhan yang tidak langsung menyentuh kulitnya, tapi sudah bisa mengantarkan sengatan kecil bagi Veera.

"Kamu gak boleh tegang, nanti perutnya makin sakit."

Yuda mengelus perut Veera. Setelah beberapa menit terlewati, ia mengutuk apa yang telah ia lakukan. Bagaimana bisa ia menyentuh perut mahasiswinya, terlebih lagi di kamar perempuan itu dan hanya ada mereka berdua.

"Sa-saya pulang dulu,"kata Yuda yang menjadi gugup.

"Jangan! Elus lagi," kata Veera yang menahan tangan Yuda.

Sebenarnya perutnya masih saja sakit, tapi kapan lagi ia memanfaatkan keadaan ini? Dosen yang ia sukai pada pandangan pertama, tapi selalu menolaknya, dan sekarang datang kesempatan untuk mendekatkan diri pada dosen itu.

"Sudah! Saya harus pulang, Veera!" katanya dingin.

"Tapi saya masih mau berdua sama bapak!" ucap Veera tanpa sengaja. Ia langsung membekap mulutnya, tapi percuma saja. Yuda dengan jelas dapat mendengar kata-kata itu.

Dengan cepat emosi Yuda memuncak. Napasnya memburu dengan mata yang menatap tajam. "Saya masih di sini karena berpikir kamu masih kesakitan."

"Saya masih sakit kok, Pak," jawab Veera dengan berani, dan itu memang kenyataannya.

"Tapi yang saya lihat tidak begitu! Apa yang kamu pikirkan sampai menahan laki-laki di kamar kamu?!" marah Yuda.

Veera tertegun dibentak seperti itu. "Sa-saya memang masih sakit. Tapi sakitnya berkurang karena ada bapak."

Yuda berbalik tanpa menjawab ucapan Veera. Ia takut lepas kendali pada perempuan itu. Ya, banyak yang tahu kalau seorang Yuda Triansyah adalah lelaki berwatak keras, pemarah, tanpa peduli dapat menyakiti hati lawannya. Namun, ada satu lagi yang perlu diketahui. Yuda bisa saja melakukan hal di luar batas kalau ia benar-benar sangat marah.

"Memangnya bapak anggap saya sebagai perempuan? Bahkan saat berduaan saja, bapak tetap dingin sama saya," kata Veera yang sebenarnya tidak terlalu memikirkan apa yang telah ia ucapkan.

Tanpa disangka, lelaki itu berbalik dan dengan langkah lebarnya mendekati Veera. Ia menaiki kasur dan memposisikan dirinya di atas Veera.

Sontak perempuan itu terkejut dan menenggelamkan dirinya sedalam-dalamnya di kasurnya, menjaga jarak tubuhnya dengan sang dosen.

"Baru seperti ini, kamu sudah ketakutan. Ingat baik-baik! Saya dosen kamu dan kamu mahasiswi saya. Tidak sepatutnya saya melakukan ini dan tidak sepatutnya kamu menyukai saya. Jaga batasanmu, karena hidup kita berdua sangat berbeda!" kata Yuda dengan mata menatap lekat pada manik hitam milik Veera.

Jantung Veera berdegub keras. Ini kali pertama ia diperlakukan seperti ini oleh seorang lelaki. Ia tak bisa bergerak, karena tangan Yuda yang bertopang di sebelah kanan dan kirinya.

"Ta-tapi, saya tetap suka sama bapak," kata Veera yang tetap teguh dengan hatinya. Ia yakin Yuda sekarang hanya menakut-nakutinya.

Tak disangka, senyum asimetris muncul di wajah tampan itu. "Saya akan buat kamu menyesal dengan kata-kata kamu."

Sedetik kemudian, bibirnya sudah menuju leher jenjang Veera, tapi ditahan oleh telapak tangan perempuan itu.

Yuda terkekeh lalu bangkit dari atas Veera. "Pacaran ala kamu dan saya itu berbeda. Jadi lebih baik jauhi saya mulai saat ini."

Lelaki itu pun pergi meninggalkan Veera dengan jantungnya yang berdetak cepat. Wajahnya memerah, tapi ia tahu kalau ia semakin menyukai dosennya itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pak Dosen, Love U!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang