0.3

5 1 0
                                    

Karena waktu tidak pernah berhenti.
-
-
-
-
-
----❛🦋¡!

POV Main Cast mode on

Aku melahap sarapan pagi ku cepat cepat. Semalam Xeera meneleponku, meminta ku agar menemani Rakha sebentar. Tentunya Xeera akan segera bekerja di kantor hari ini. Aku tidak keberatan untuk itu. Kebetulan sisa hariku untuk cuti masih 2 hari lagi. Aku masih bisa mempersiapkan banyak hal untuk masuk kerja lusa nanti.

Dering suara telepon genggam ku berbunyi nyaring di atas meja makan. Tertera nama Xeera di layar. Aku mengangkat telfon.

"Halo Ra, kenapa?"
"Halo Al, lo masih lama ke rumah sakitnya?"
"Bentar lagi Ra, gue lagi sarapan soalnya,"
"Oke deh, jangan telat ya Al. Sekalian kalo boleh bawain bubur buat Rakha. Oiya obat nya Rakha ada di drawer ya,"
"Iya Ra, aman aman,"
"Oke dadah, jangan macem macem lo awas aja," Setelahnya ku dengar kekehan kecil dari bibir Xeera.
"Hahahaha santai Raaaa,"
"Al right, gue titip Rakha ya. Kalo ada apa apa telpon gue aja, Byeee."
"Iyaaa, Byeee Ra."

Aku menyelesaikan sarapanku, lalu segera meneguk segelas air putih. Tanpa berlama lama di Apartemen aku segera meraih kunci mobil dan bergegas menuju Rumah Sakit.

---

Diperjalanan aku mengetuk-ngetuk setir mobil. Ketahuilah pagi ini benar benar macet. Waktu ku sedikit tersita karna mencari tukang bubur ayam beberapa menit yang lalu.

Bunyi klakson dari segala penjuru membuatku menahan diri untuk tidak marah-marah. Wajar saja, mereka pun buru-buru seperti aku saat ini.

Kurang dari setengah jam, aku sudah berada di tempat parkir Rumah Sakit Bhayangkara. Aku segera menuju kamar pasien dengan nama Samudra Rakha Pangestu di lantai 13.

Sampai di depan pintu bercetak nomor urut 231, aku mengetuk pintu. Kulihat dari sela-sela jendela kaca persegi panjang di pintu. Rakha berbaring di ranjangnya, melihat langit langit plafon.

"Masuk." Suara Rakha terdengar dari dalam.

Aku membuka pintu dengan pelan pelan. Berusaha tidak membuat kebisingan sedikitpun.

"Hai Rakha," sapaku sambil berjalan ke arah ranjang. Rakha menolehkan pandangannya melihatku.

"Ya,"

Aku tersenyum canggung, "Gue Alodya, masih kenal?" Aku mengeluarkan kalimat basa basiku.

Laki laki yang terbaring di ranjang itu mengernyitkan dahinya seraya melihatku. Beberapa detik setelahnya dia menjentikkan jarinya.

"Temen Xeera?" tanya nya memastikan.

Aku mengangguk. "Iya,"

"Ada urusan apa kesini, Al?" Nada bicaranya sangat ketus. Rasanya aku ingin memaki laki laki itu sekarang juga. Pertanyaan macam apa itu? tidak ramah sekali.

'Heh gue yang bawa lo kesini ya mas. Kalo gak gara gara gue, lo udah jadi bangkai mayat kali.' Batinku kelepasan.

"Xeera gabisa ngurusin lo hari ini, dia minta tolong ke gue buat nemenin lo," Jawabku seraya meletakan sebungkus bubur ayam di atas drawer di samping ranjang.

"Oh oke," Jawabnya singkat. "Makasih," Lanjutnya

Terjadi keheningan antara aku dan Rakha. Aku merogoh sling bag ku. Mencari benda pipih persegi panjang di sana.

"Lo udah sarapan?" Aku melirik sekilas ke arahnya sebelum ku beralih pada ponselku.

Sudut mataku samar samar menangkap dirinya menggelengkan kepala "Belum,"

Aku mematikan layar ponselku. Meraih sebungkus bubur ayam yang ku beli tadi pagi. Lalu membuka sterofoam putih dengan hati-hati.

"Makan dulu," Aku menyodorkan bubur ayam pada Rakha yang masih berbaring.

"Gila lo? Bantuin duduk gitu ke," protesnya.

Entahlah ini membingungkan, sepersekian detik lalu ia bersikap sangat cuek. Namun sekarang? ah aku tidak mengerti dimana Xeera menemukan laki laki labil ini.

"Iya, sini," Aku memegang lengan Rakha dan membantunya merubah posisi menjadi duduk. "Udah," ujarku. Lalu memberikan bubur itu kepadanya.

Ia menatap ku dan bubur secara bergantian.

Aku menatapnya. "Bisa makan sendiri kan?"

"Menurut lo?"

"Bisa." Aku meletakan bubur itu di pangkuan Rakha sedikit kasar.

Rakha menatapku sinis. "Terus lo mau ngapain disini? nungguin gue makan?" Celetuknya seraya membuka sterofoam putih.

"Gatau," Aku menggedikkan bahu tak peduli lalu membuka ponselku. Akan lebih baik menggulir sosial media dibanding melihat orang sinting makan bubur.

"Hidup lo kurang kerjaan banget," Ujar laki laki jangkung itu sekali lagi. Aku mengabaikannya tak peduli.

Terjadi keheningan sementara di ruangan bau obat obatan ini.

"Nama lo siapa tadi?" Tanya nya lagi.

"Alodya," Jawabku singkat. Orang ini amnesia atau apa?

"Lengkapnya?" Ia bertanya lagi.

Aku mengalihkan pandanganku dari ponsel, kesal dengan pertanyaan tak penting itu, aku menjawab "Alodya Parvana," Aku menatap matanya. Dalam hitungan detik, aku seakan larut dalam bola mata hitam legam milik Rakha. Lalu cepat cepat memandang objek lain, sebelum terjadi salah sangka.

Rakha menatapku bersamaan menyuapkan sesendok bubur ke mulutnya. "Parvana?" 2 detik setelahnya ia melanjutkan, "Kupu-kupu?" kini ia menatapku penasaran.

"Iya," Entah angin apa yang baru saja melewatiku. Aku menjadi sedikit grogi.

Rakha mengangguk mengerti. "Lo gak makan, Van?" Aku mengernyitkan dahiku. Van? dia baru saja memanggilku dengan nama belakang? aku menatap Rakha dengan perasaan bingung sampai tak berkedip.

Rakha merubah raut wajahnya seperti bertanya-tanya. "Kenapa?"

Aku menggeleng, "Gak papa." Setelahnya kami merasa canggung. Aku kembali menatap ponselku dan Rakha melanjutkan kegiatan memakan bubur.

Van. Panggilan itu terus melayang di otakku, sama seperti kala itu Aidan memanggilku pertama kali. Selama sejarah aku hidup hanya Aidan yang memanggilku dengan nama Van. Namun hari ini Rakha, laki laki yang sama sekali tidak dekat denganku. Ia memanggilku dengan sebutan Van. Rasanya aku ingin memarahi laki-laki itu, entahlah apa yang memicuku kesal padanya. Tetapi bagiku yang dapat memanggil ku dengan nama Van, hanya Aidan.

----❛🦋¡!
-
-
-
See you in the next part!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 09, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Samudra dan Kupu-kupuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang