Langit tampak mendung, sepertinya awan sedang berlomba-lomba untuk menutupi sinar teriknya matahari pada siang ini. Sama seperti keadaan gadis yang berdiri kaku di depan rumah kosong tak terurus itu. Rumah barunya.
Rumah sepetak yang sudah lama tak berpenghuni ini Ale sewa untuk beberapa bulan kedepan dengan hasil menabungnya. Letaknya tak menonjol, karena terhalang rumah istana mewah yang membelakanginya. Membuat bangunan ini semestinya tak layak ditempati.
Namun, Ale bersyukur karena masih bisa memiliki tempat tinggal. Bagaimanapun kondisi rumah tersebut, selagi bisa meneduh Ale sangat merasa cukup.
Dan kenyataan pahit yang harus Ale terima adalah tidak bisa kabur dari Bara.
Bara terlihat duduk di kursi ruang tengah sambil meneguk minuman favorit-nya saat Ale masuk. Gadis itu menatap Ayahnya yang sekarang menampilkan senyum bahagia. Namun, binar matanya tampak sayu. Pria itu mabuk.
"Bagus, jadi anak tuh gini dong! BERGUNA!" Bara tertawa setelah mengatakan kalimat itu. Tangannya terjulur didepan Ale yang tak merubah ekspresinya sama sekali, tetap datar. "Gue butuh duit! Buruan!!"
Ale mengambil beberapa lembar uang kertas di sakunya. Seratus ribu. Sisa uangnya.
"Cuma segini?! Nggak cukup!!" Bara mengerang kesal saat Ale tetap diam.
Prang!
Lagi-lagi botol kosong itu Bara lempar pada dinding yang bediri tepat di belakangnya.
"Sekali nggak berguna tetap nggak berguna!! Nyesel gue muji lo! ANAK SIALAN!!"
Bahkan, Ale tak meminta untuk di sanjung. Gadis itu hanya menatap dalam diam kepergian Bara yang menendang pintu rumah kemudian pergi begitu saja.
Ale lantas mendengkus.
Dia beranjak memindahkan sebuah kardus kotak berukuran sedang yang di dalamnya tersimpan barang-barang peninggalan sang Bunda. Kini keadaannya sudah lusuh dan Ale tidak sempat membukanya. Ah, bukan tidak sempat. Lebih tepatnya Ale tidak ingin membukanya karena ia tahu, jika barang-barang tersebut hanya berisi kenangan yang bisa membuat rindu dan lukanya kian membesar.
.
Halaman 2
Hoodie putih
.
Bulan purnama memunculkan sedikit cahayanya lewat awan pada malam ini. Udaranya juga terasa semakin dingin ketika Ale membuka pintu.
Gadis itu mengeratkan jaket hitamnya dan melangkah keluar. Melirik sekitar jalan yang sangat sepi. Hanya satu rumah kecil miliknya dengan dinding pembatas rumah besar setinggi dua meter di depannya.
Samar-samar, Ale mendengar suara langkah kaki mendekat. Menoleh ke asal suara dan terpaku menatap Bara yang pulang dengan kondisi mabuk parah.
"Anak sialan! Gue kalah judi bangsat! Arghh!!" teriak Bara sembari mengacak rambutnya kasar.
"Ini semua gara-gara lo!!" Langkah lebarnya semakin mendekat. Ale mundur selangkah. Pria tua itu menyeringai. "Anak pembawa sial!"
Plak!
Pipinya memanas. Rambutnya pun ditarik kasar dengan satu lengan yang tak henti menampar wajahnya.
Selalu seperti ini.
Bara melampiaskan kekesalannya pada Ale yang selalu diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serangkai Luka
Teen FictionBukan rahasia umum lagi, jika hubungan antara Ale dan Ayahnya tidak terjalin dengan baik. Teriakan amarah Bara atau diamnya Ale sudah menjadi buah bibir tetangga sekitar. Bara, si tukang mabuk yang memiliki temperamen kasar dan pengangguran adalah b...