Before Chap ~
“Mau lo apa sih?!”
“Saya akan dengar jawaban kamu.” Jaemin berusaha memperlihatkan wajah meyakinkannya.
“Lo pikir gua percaya?”
“Saya akan pergi menjauh jika jawaban kamu menolak.”
“Okay, gua jawab. Dan setelahnya gua harap lo bisa menerima.”
Jaemin mengangguk. “Pasti Renjun.”
“Jawaban gua adalah menerima ungkapan perasaan lo.”
Senyum Jaemin terlihat hadir. Itu berarti—
Continue ~
√√√
“Tapi itu dulu, sekarang berbeda. Gua menolak semua atensi yang pernah lo kasih. Kepercayaan gua dulu sudah lo abaikan begitu saja dan itu merubah segalanya. Jadi sampai sini lo tahu kan apa yang seharusnya dilakukan.” Renjun benar-benar pergi. Meninggalkan Jaemin yang hanya menatap kosong.
Sedih? Tentu saja.
“ARGH!” Jaemin mengusak surainya frustasi. Matanya tersirat kesedihan yang begitu dalam. Hatinya sakit saat kata demi kata itu terlontar dengan pandangan penuh kebencian.
Mungkin ini memang sebuah balasan akibat sifat pengecutnya ditempo lalu. Jaemin ingin menangis, tapi rasanya tak ada air yang menetes satu pun.
“Saya benar-benar tidak ada kesempatan lagi, usaha kedua sudah lenyap.” Jaemin memojokkan punggungnya di dinding, perlahan merosot jatuh terduduk dengan kepala menunduk. “Renjun, saya telah berbohong, saya tidak bisa pergi menjauh dari kamu, tak apa jika saya diberi banyak kata-kata kasar.”
“Tapi saya sudah mengatakannya, kamu pasti akan semakin benci jika saya terus berusaha.” Jaemin hanya melamun, pikiran tentang masa lalu terputar. Potongan yang menjadi bagian favoritnya sebelum Renjun memilih untuk benar-benar menjauh.
Jaemin tersenyum manis saat melihat Renjun berlarian masuk ke dalam lapangan basket yang sepi, mengingat ini adalah jam pulang sekolah. Kebanyakan para murid telah berlomba-lomba untuk pulang ke rumah.
“Jangan berlari.” Jaemin memeringati, namun tak didengar, Renjun malah semakin cepat dan menubrukkan tubuhnya. “Beruntung kamu ringan.”
Renjun mencebik, tubuhnya tidak seringan itu, dia cukup tahu kalau Jaemin memang tidak mudah terhuyung.
Jaemin tertawa pelan, tangannya terulur untuk mengusap surai Renjun yang sedang mendongak. Maklum karena perbedaan tinggi badan.
“Kenapa kamu lari-lari?”
“Gua mau saja sih, engga ada alasan pasti.” Renjun menarik tubuhnya. “Lo masih latihan?”
“Iya, saya harus menyiapkan untuk lomba minggu depan.”
Renjun ber “oh” ria. “Gua tadi sempat beli mineral.” Merogoh ranselnya dan mengambil botol plastik untuk diberikan.
“Kamu tetap suka membagikan mineral ya.”
“Dulu waktu SMP, sekarang kan engga.”
“Iya.” Jaemin membuka segel mineral lalu meneguknya.
Renjun menatap dalam pemandangan Jaemin yang selalu memesona jika sedang minum, apalagi jika dalam jarak dekat. Jakunnya bergerak seiring suara tegukan merambati telinga.
“Segar sekali, terimakasih ya.” Jaemin mengusap bibirnya sisa tetesan air. “Ayo saya antar kamu pulang.”
“Memang latihan lo sudah selesai?”
“Bisa dilanjut besok, kamu lebih penting.” Jaemin berlari kecil ke arah tasnya lalu kembali mendekat pada Renjun. Diraihnya tangan mungil itu yang akan selalu pas dalam genggaman.
“Jaemin, apa lo akan terus menunggu jawaban dari gua?” tanya Renjun di pertengahan menyusuri lorong.
Tidak langsung dijawab. Jaemin terlihat berpikir.
“Kalau lo engga─”
“Saya akan menunggu, entah sampai kapan kamu ingin menjawab.” Jaemin tersenyum lembut.
“Tapi kenapa disaat gua mau menjawab, lo selalu mengalihkan?”
Jaemin dibuat terdiam seribu bahasa. Sudah setahun dia selalu melakukan apa yang dikatakan Renjun barusan. Dan itu membuat Renjun sebal, dia mempercepat langkahnya.
“Renjun, maaf, saya takut kamu menolak.”
Jaemin menyusul, dia kembali menggenggam tangan Renjun yang malah memberhentikan jalan.
“Lo bisa lepasin tangan gua engga?”
“Jangan seperti ini Renjun, saya tidak bisa melihat kamu marah.”
Helaan nafas pelan mengalun. “Gua hanya butuh waktu sendiri.”
“Tidak Renjun, langit hampir gelap. Ayo saya antar.”
Renjun hanya terdiam selama perjalan pulang dengan membonceng Jaemin. Tangannya diletakkan diatas pahanya, sama sekali tidak ada niatan untuk menenggerkannya diperut Jaemin.
“Hujan akan datang, saya akan menambah kecepatan, kamu pegangan ya.”
Renjun ingin membantah, tapi memang benar. Rintik hujan terasa membasahi pipi dan tangannya reflek memeluk erat perut Jaemin saat laju motor menambah.
“Saya pamit pulang, ya.”
“Mampir dulu.”
“Tidak perlu repot-repot Renjun.”
“Masuk atau besok jangan dekati gua lagi.”
“Kalau kamu memaksa saya bisa apa.”
ToBeContinue
KAMU SEDANG MEMBACA
Usaha Kedua Harus Berhasil [JaemRen]✔
Fanfic[Follow me before read] Ini adalah cerita tentang bagaimana Jaemin melakukan usaha keduanya yang harus berhasil untuk mendapatkan jawaban "iya" dari Renjun. Sayang seribu sayang, Renjun sudah tidak ada niat lagi untuk menjawab karena Jaemin dulu sel...