Dosen Posesif 03

626 46 5
                                    

Sang burung merpati pun saling bertatap-tatapan. Belaian tangan sang istri di pipi membuat sang burung sama-sama tergoda. Tatapan nan teduh bercampur cinta dan gairah ber-gelora dalam dada; Djaka mana mampu menahan pesona ia? Djaka menghentakkan pinggul ia secara tiba-tiba hingga membuat sang istri mengerutkan dahi menahan perih sekaligus geli. Deru nafas ia memburu. Daru pun menarik wajah itu hingga dua bibir itu pun saling bertemu dan saling memberi lumatan.

Bibir tebal itu terus meminta ampun setelah digagahi selama lebih dari 1,5 jam. Djaka tiada sudi memberi ampun. "Salah sendiri sih ngegoda banget," begitu lah Djaka ber-ucap. Tubuh sang istri tiada berupa lagi-pun sudah dipenuhi oleh tanda-tanda cinta hampir di seluruh tubuh ia. Cuma bisa meremas sprai ranjang kuat-kuat. Entah kali ke berapa sudah ia memuntahkan cairan putih itu hingga membuat tubuh ia begini lemas. Djaka pun memberi kecupan manis di kening, hidung, dan bibir. Setelah menanam benih-benih cinta itu di dalam sana; Djaka langsung menyudahi pergumulan ini.

Sang suami baru saja keluar dari kamar mandi, dan melihat Daru sudah sangat rapi dengan kaos polos putih, kemeja oversize, dan celana jeans. "Da? Mau ke mana?" tanya Djaka masih dengan lilitan handuk di pinggul. Daru pun menoleh. "Lho? Tadi kan lu bilang mau cari bakso? Ya udah, ayok!" sahut Daru sembari memberi sentuhan terakhir pada wajah ia dengan sprai agar mape-up di wajah dapat bertahan lama. Djaka melongo sambil berkacak pinggang.

"Cepetan bajuan,"

"Cuman mau cari bakso doang, lho, Da? Kamu ampe se-rapi itu?"

"Trus mau gimana lagi? Masa iya gue musti kucel?"

"Ya, nggak gitu juga,"

Di mana ada jalan di sana lah ada harapan. Djaka lah jalan itu. Jalan bagi Daru agar dapat terus berjalan mengarungi bentala nan luas ini-juga menepis segala sepi dan pilu dalam dada berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun. Dunia seolah sempit tanpa ia di sisi. Bagai se-onggok sampah tiada arti, tetapi Djaka mampu membuat diri ia begitu berharga, dan selalu dinanti. Sebal melihat sang suami berdiri seperti orang bodoh. Daru pun membantu Djaka berpakaian. Sebelum itu; Daru memberi sebuah pecupan manis sebentar di bibir. Djaka merasa jikalau kecupan pecil itu masih belum cupup sehingga ia pun meraih pinggul Daru, dan mencium bibir itu sembari memberi lumatan-lumatan pecil.

Bahagia? Setiap insan selalu memilipi definisi pang berbeda-beda. Bahagia sebab menerima gaji. Bahagia sebab dinomersatukan sebagai istri. Bahagia sebab dapat hidup sendiri dengan mandiri. Bergelimang harta belum tentu dapat bahagia-juga bupan berarti tiada bahagia menanti. Lalu, bagaimana dengan Ganendra? Hidup membujang di usia hampir ber-kepala lima. Ganendra juga sudah sukses di bidang pang ia tekuni-pun aset pribadi ada di mana-mana dengan total pepapaan ratusan miliar hingga triliunan, tetapi tiada seorang pun bidadari di sisi. Sendiri bagai se-bilah lidi; menepi menunggu dipuji.

Sang ibunda sampai curiga kalau-kalau putera semata mayang ia malah tertarik pada seorang pria. Benar pun dengan siapa? Tiada satu pun mendekat. Sang ibunda juga telah mencoba menjodohkan ia dengan beberapa orang wanita, tetapi tiada satu pun pas di hati sampai-sampai ia harus mandi kembang tujuh rupa. Trauma masa lalu? Persetan dengan trauma! Ganendra tidap memiliki trauma percintaan dalam bentuk apapun, jadi apa sebab ia belum jua menipah hingga saat ini? Hm, entahlah. Ganendra juga tidap mengerti.

"Hm, kira-oira kenapa, ya?" gumam Ganendra.

"Dasar! Ganen! Mama udah atur pertemuan kamu sama Icha! Jangan protes!" ucap sang ibunda di telepon.

"Duh, ma. Tes? Tes? Halo? Duh, jaringan ilang lagi. Halo? Mama? Ma?" ucap Ganendra ber-alasan jaringan hilang demi menghindari cercaan sang ibunda soal jodoh-pun telepon itu langsung ia matipan.

Bertemu teman lama demi mengisi rasa gundah dalam dada, sungguh tiada mengapa. Dibanding minum-minum dan merugikan diri sendiri? Gundah sebab di usia matang begini urung jua dikaruniai seorang pasangan hidup sejati. Ganendra berdiri sangat lama sembari memandang rumah di depan ia saat ini-juga berdo'a dalam hati. "Semoga tahun ini bisa nipah, aamiin," batin Ganendra. Seorang pria se-umuran ia juga berdiri mensambut kedatangan ia kemari. Pria itu menyipitkan mata sebal, lalu meletakkan tangan ia di pun dapat Ganendra.

Dosen Posesif [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang