Dosen Posesif 04

519 40 14
                                    

Sinar rembulan tiada ber-dusta. Dia rela menebar seluruh pijar nan terang benderang demi ratusan juta hingga miliaran insan di tiap lini bumi. Tanpa pamrih apalagi mengeluh; memberi dengan cinta; menjaga dengan rindu. Semua ber-satu hingga timbul lah sebuah rasa ber-nama jatuh cinta pada pandangan pertama. Benar? Salah? Dua mata bisa buta, tetapi hati lebih tajam dari mata pisau setelah ditempa. Insan di bumi memiliki batas dalam mengenali isi hati sendiri. Perlu termin nan panjang agar dapat mengetahui se-berapa besar dan tinggi; pohon ber-nama jatuh cinta itu tumbuh.

Tiada sesal berarti—pun amarah sudah sia-sia dinanti. Diiming-imingi hadiah fantastis membuat amarah dalam dada bagai disapu oleh angin. Firman telah menduga jikalau Ganendra ber-dusta soal mobil, tetapi setelah melihat bukti transksi se-besar ratusan juta itu membuat mata hati ia terbuka sangat lebar. Cuma minta dipijit saja dihadiahi satu unit mobil? Uh, bagaimana jikalau lebih dari itu? Firman ber-anggapan jikalau Ganendra mungkin saja berkenan memberi ia satu unit rumah baru.

“The real materialistis hehehe,“ batin Firman mengatai diri sendiri.

Begitu ringan tangan ia mengambil panggangan mulai dari daging sapi hingga seafood untuk sang dosen. Secuil perhatian ini sengaja ia beri, sebab Ganendra telah sudi memberi lebih dari ini. Ganendra mengerling, dan cuma bisa tersenyum melihat perlakuan khusus Firman pada diri ia. “Buat papa mana, Fir~“ ucap Sumitro protes. Sedari tadi, ia melihat jikalau Firman cuma memberi hasil barbeque-an pada Ganendra saja. Firman pun mengambilkan beberapa ekor udang untuk Sumitro di piring.

Tenggelam dalam tiap cerita lama antara ia dan Sumitro membuat ia tanpa sadar meletakkan tangan ia di belakang pinggul Firman. Hal itu sampai-sampai membuat Firman menoleh pada Ganendra. Lama-lama tangan itu benar-benar melingpar di pinggul Firman. Benar. Firman dan Ganendra duduk ber-sebelahan. Firman mendadak jadi gugup tanpa sebab. Bagaimana bisa ia protes pada sang dosen jikalau sang dosen saja tengah sibuk ber-cerita dengan sang papa? Duh, batin Firman.

Tangan itu malah meremas perut ia pelan seperti sedang meremas bantal saja. Ganendra sedang berpikir jikalau itu adalah sebuah mainan. Firman merasa geli. Sentuhan dari luar itu malah menjalar hingga perut—yang di mana Ganendra menepuk-nepukan tangan ia pelan di permukaan perut Firman. Firman merasa risih hingga ia pun menepis tangan itu pelan-pelan. Ganendra menoleh, lalu meminta maaf. “Maaf,“ gumam Ganendra. Firman membalas permintaan maaf itu dengan deheman saja. Ganendra juga tidak benar-benar menepis tangan ia dari sana, dan malah melingkarkan tangan ia lagi di pinggul Firman tatkala terlalu asik ber-cengkrama.

“Lu masih kontekan gitu, nggak? Sama mantan lu dulu?“

“Siapa? Shinta?“

“Siapa lagi,“

“Paling sama suami dia aja, sih. Secara rekan bisnis juga. Gila aja gue chattan ato teleponan sama orang—yang udah ber-suami. Bisa dicap pebinor gue ntar,“

“Siapa tau lu punya bakat jadi pebinor,“

“Bangsat lu, anjir,“

Firman tertegun melihat dua orang dewasa saling bercanda bagai anak abg saja. “Udah tua, tapi ngomong bahasa gaul,“ gumam Firman, tetapi masih mampu didengar oleh telinga Ganendra dan Sumitro. “Jangan salah, Fir. Ini tuh ilmu dasar biar apa? Biar apet muda!“ ucap Sumitro.

Setelah usai barbeque-an; Firman segera menuju kamar ia diikuti oleh Ganendra di belakang. Firman pun langsung menghempaskan badan ia di atas ranjang, dan membiarkan Ganendra yang menutup pintu kamar. Firman sempat mengerling saat Ganendra melepas baju, dan juga menoleh pada ia. Firman pun langsung memutar badan menghadap dinding. Sungguh masih jelas di ingatan ia bagaimana tangan Ganendra tadi melingkar di pinggul ia. Beberapa kali menepis tangan itu—pun tiada berhasil, dan terus-menerus seperti itu lagi. Firman sebal.

Dosen Posesif [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang