06. Threatened

9.2K 885 307
                                    

WARNING!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

WARNING!

Jihan memang lebih suka berada di luar ketimbang harus terus mendekam di rumahnya yang setiap harinya nyaris selalu mendengar keributan yang dibuat sang ayah. Namun jika di luar rumah yang dimaksud adalah di kediaman Jungkook, itu sama saja Jihan masih tidak merasa tenang.

Yang tersisa di tubuhnya hanya kemeja sekolah yang kancingnya tidak terpasang dengan benar dan sepasang kaus kaki yang masih membalut di kedua kaki Jihan yang nampak bergetar. Rok sekolah dan ranselnya berserakan acak di atas lantai kamar Jungkook.

Saat ini gadis itu diberi sebuah imbalan oleh kekasihnya. Dengan posisi berdiri menghadap dinding, "Kau tahu hal apa yang paling aku benci?" Jungkook yang berada di belakang Jihan itu mendengus melihat kekasihnya merintih menerima tekanan kasarnya. "Kebohongan. Dan kau melakukan itu!"

"H-hentikan!" Jihan merosotkan kedua tangannya yang menumpu pada dinding kamar Jungkook ketika merasakan miliknya dihujam terlalu dalam. Namun ditahan oleh Jungkook dengan menarik pinggulnya kian ke belakang. "Kumohon hentikan ..."

"Hentikan? Kau menyuruh aku berhenti sedangkan milikmu sebasah ini?" Tangan Jungkook merayap ke bawah, tepat ke milik Jihan yang masih dipenuhi oleh miliknya. "Jangan munafik Jihan, tubuhmu berkata sebaliknya."

Jihan menggeleng, menangis sekeras mungkin walau tahu itu hanyalah percuma. Ia menunduk ke bawah, melihat kakinya yang masih berbalut kaus kaki itu bergetar, pertengahan pahanya terlihat mengkilap ditutupi cairan likat dan itu membuat Jihan meringis, merasa dirinya menjijikan melakukan ini.

"Kau beralasan pulang terlambat karena diam di sekolah bersama temanmu, tapi lihat kenyataannya kau ke mana, ha?" Jungkook menghentak pinggangnya hingga Jihan berteriak.

"Akh!" Jihan menyesali perkataannya sebelum ini pada Jungkook. Dan kekasihnya sangat tidak menoleransi kebohongan apalagi itu Jihan yang melakukannya.

Tak kuat menahan, Jihan sampai terlebih dahulu. Jungkook langsung menuntun Jihan untuk berbaring di atas ranjang, namun gadis itu menggeleng pelan dan mempertahankan posisinya menjengking membelakanginya Jungkook.

"B-biarkan ..." Jihan menarik ingusnya usai mengatakan itu. "Lakukan seperti ini."

Jungkook tertawa mengejek, "Haha ... kau tidak ingin melihatku?" Jungkook menunduk dan berbisik di celah telinga Jihan. Dan gadis itu memejamkan matanya erat ketika mendengar pertanyaan yang lebih seperti menyudutkannya itu. "Kim Jihan mulai berani sekarang. Baiklah, jika itu yang kau mau."

Di kamar itu hanya terdengar suara rintihan Jihan dibarengi suara kulit yang beradu. Sudah tidak perlu ditanya lagi seberapa basahnya wajah Jihan saat ini menangis menahan rasa sakit yang ia terima. Tubuh atasnya kian merosot ke bawah, sedangkan pinggulnya kian ditarik oleh Jungkook berlawan arah dengan gerakannya.

Rambutnya yang tergerai sudah berantakan, kemeja yang kancingnya sudah terlepas acak. Dan wajah memerah terlalu banyak menangis.

"Kau benar-benar tidak tahu diri. Bisa-bisanya berbohong untuk bertemu dengan laki-laki lain? Kau—"

"Aku tidak melakukan itu!" Jihan memotong ucapan Jungkook, ia semakin menundukkan kepalanya di tumpukan bantal yang tidak rapi itu sembari menangis. "Aku hanya membantunya ..."

Mendengar Jihan berani menjawab disertai nada bentakan, Jungkook kian merasa sedang ditantangi. "Hebat! Kau semakin membangkang dan berani memotong perkataanku."

"Ngh!" Jihan meremat kencang seprai ranjangnya ketika merasakan kemurkaan Jungkook di miliknya yang ia hujam. Sakit sekali.

Hidung Jihan sampai tersumbat ingus karena terlalu kebanyakan menangis. Saat mengingat setiap kali ia melakukan kesalahan meskipun itu kecil sekalipun, ia selalu mendapat perlakuan seperti ini oleh Jungkook. Jihan langsung terdiam, kenapa ia tidak pernah bisa melawan? Kenapa ia harus tunduk terus menerus hingga ia berakhir dirundung seperti ini?

Ia lelah dengan hidupnya yang tidak memiliki hak untuk menolak atau pun menentang. Serasa hidup dan mati Jihan ditentukan oleh orang lain yang berkuasa. Dan itu adalah Jungkook dan keluarganya.

Jihan benci mengakui bahwa ia lemah dan tak mampu melawan, dari dulu menahan amarahnya ketika harus menurut dengan apa yang Jungkook katakan, dengan apa yang Jungkook mau. Begitupun orang tuanya juga merasa buta untuk melihat apa yang Jihan alami. Jihan merasa ... dirinya dijual pada keluarga Jungkook.

Memang hidupnya berkecukupan, namun dengan semua yang ia dapat dan ia makan sehari-hari, Jihan harus rela diperlakukan lancang seperti ini.

"Hng" Mata basah Jihan membola merasakan Jungkook menekannya terlalu dalam saat laki-laki itu sampai.  Berharap semoga tidak akan ada hal yang tidak Jihan inginkan terjadi. Meskipun nanti Jungkook akan bertanggung jawab, belum tentu Jihan bahagia. Karena sumber kesedihan dalam hidupnya salah satunya adalah laki-laki itu sendiri. Ia ingin lepas dari Jungkook.

"Kau menikmati ini, 'kan? Suka saat aku memenuhimu sebanyak mungkin?" Jungkook melepas miliknya, lalu menatap punggung Jihan yang bergetar.

Tak mendengar jawaban, Jungkook berdecak dan menarik lengan Jihan supaya gadis itu telentang dan menghadapnya. "Kenapa kau tidak ingin melihatku? Jangan berpura-pura tidak menikmati ini."

Bibir Jihan bergetar, mengumpulkan keberaniannya di depan Jungkook. "Mari kita putus ..." Jihan tersengal mengatakannya, "Akhiri ini, aku sudah tidak kuat bersamamu ..."

Mata Jungkook menatap nyalang, ia semakin keras meremat pinggang Jihan. "Beraninya kau mengatakan itu!?"

"Kenapa aku tidak berani!?" Jihan bangun dari posisinya dan menatap Jungkook dengan pandangan tak bisa diprediksi, antara melawan takut. Tangannya juga bergetar seraya menangis. "Aku punya hak untuk hidupku, aku bebas memutuskan sesuatu tanpa harus memikirkan pendapatmu!"

Jungkook terkejut tak percaya dengan apa yang Jihan katakan padanya ini. Rahangnya mengetat mendengar kekasihnya berteriak keras di depannya.

"Aku lelah seperti ini Jungkook, aku tidak bisa terus hidup seperti ini ..." Jihan merunduk, "Aku tidak bisa, biarkan aku pergi ..."

Jungkook mendengar Jihan terisak, ia mendekati gadis itu lalu menangkup wajahnya dengan pelan sembari merapikan rambutnya. "Sekadar mengingatkan, kau tidak bisa lepas dariku,  Sayang." Jungkook mencium pucuk bibir Jihan yang masih bergetar itu, "Karena jika kau mencoba lari, kau mendapat banyak masalah. Kau lihat di jendela kamarku?"

Jihan menoleh pelan dan semakin menguatkan tangisnya saat melihat ada sebuah kamera menempel di sana sedari tadi.

"Kau tidak ingin video kita diketahui oleh semua orang, 'kan?" Jungkook mengecup kembali sudut bibir Jihan dan sempat mengusap pipinya yang basah terkena air mata, "Apa karena laki-laki tadi kau jadi terhasut? Haruskah aku melakukan sesuatu padanya?"

Jihan menggeleng, ketakutannya mulai datang saat Jungkook dengan berani menyebut Taehyung. Ia tidak ingin menjadi penyebab buruk laki-laki yang baru ia temui itu. Tidak ingin Taehyung berada dalam bahaya karenanya.

"Tidak ... jangan menyalahkannya." Jihan meremat lengan Jungkook, memohon untuk tidak melakukan hal aneh. "Ini semua memang keinginanku, salahkan aku ..."

"Kau tidak pernah mengerti, seberapa takutnya aku mendengar kau mengatakan hal tadi." Jungkook memeluk Jihan, "Sadarlah Jihan, rumahmu hanya aku. Kau tidak akan bisa pergi. Kau pikir keluargamu peduli denganmu? Mereka bahkan menjualmu padaku."

Tak sanggup untuk berkata lagi, Jihan hanya bisa menangis meratapi apa yang ia alami sekarang. Apa yang Jungkook katakan benar, mereka menjual Jihan, mereka tidak pernah mau mengerti dan membiarkan Jungkook memperlakukan Jihan seenak hati.

"Jangan menangisi nasibmu, Sayang." Jungkook merebahkan Jihan kembali dan membisikkan sesuatu, "Kau hidup memang untuk seperti ini."

__________

Ry🍏

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CameraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang