Malik, aktivis pelajar di sekolahku. Usianya akan menginjak delapan belas tahun ini, namun dia aktif dalam pergerakan pemuda bersama organisasi-organisasi kemanusiaan. Malik dikenal oleh kalangan muda di kotaku, karena perlawanannya yang berani, bersuara lantang menantang ketidakadilan negeri ini. Malik dikenal dengan julukan 'Simba', karena tubuhnya yang kecil namun keberaniannya tak perlu diragukan.
Telah lama aku membaca tiap puisi-puisi yang dia tulis, berisikan curahan amarah kepada para petinggi berdasi yang kerap kali melakukan kecurangan. Puisinya ditulis dengan tajam dan berani. Tak jarang tulisannya dimuat koran nasional. Aksi-aksinya pun ditayangkan media massa, seringkali menarik perhatian para pengkhianat bangsa yang duduk di kursi pemerintahan. Pernah juga Malik menerima tuntutan dan ancaman dari buzzer-buzzer sosial media.
'Anak muda zaman sekarang tak tahu sopan santun! Mau jadi apa saat dewasa? Pemberontak kah?'
'Tahu apa lo bocah? Mending diam daripada dituntut UU ITE!'
Semua ujaran kebencian yang Malik terima tak membuat langkahnya mundur sedikit pun. Malah Malik semakin menantang mereka dengan karya-karya tulisnya. Malik gencar meluncurkan serangan hanya bermodal pena dan kertas putih yang disobek dari bindernya.
Aku selalu mengagumi tulisan-tulisan Malik. Bisa dibilang, aku ini salah satu penggemar yang tergila-gila karena pesona Malik terlalu kuat. Malik tak menyajikan penampilan 'mahal', walau rumor yang tersebar mengatakan bahwa Malik berasal dari keluarga pengusaha kaya raya di negeri ini. Kekayaan orang tuanya mencapai angka puluhan miliar. Namun Malik terlihat sangat sederhana. Dia hanya membawa tas selempang kain yang telah dipakai sejak awal masuk SMA. Sepatunya pun kets lokal hitam polos, namun tetap tampak bersih karena melihat kepribadian Malik yang sangat rapi, sepertinya dia rajin mencuci sepatunya. Gaya Malik sangat klasik.
Telah lama aku memperhatikan Malik, sejak dia memublikasikan puisi pertamanya berjudul 'Perlawanan' di mading sekolah. Tapi aku tak pernah punya kesempatan untuk ngobrol dengan dia. Rasanya, aku pun terlalu malu jika harus bicara berdua dengan Malik.
Namun di hari itu, sepertinya semesta sedang bercanda. Ia mempertemukanku dengan lelaki kebanggaan sekolah, di saat yang tak pernah aku duga sebelumnya. Tapi karena pertemuan kami, aku bersyukur dapat mengenal sosok Malik dan kisah hidupnya yang tak pernah diketahui orang sebelumnya.
Kala itu, sepulang sekolah, aku bersama temanku berencana untuk pergi ke Lentera, salah satu kedai kopi yang juga menyediakan buku bacaan terbaik di Indonesia. Banyak karya penulis ternama mulai dari tahun '50-an hingga novel remaja populer tahun ini. Aku sedang menunggu Naya di bangku depan ruang OSIS, katanya dia ada urusan sebentar bersama pengurus OSIS. Aku sempatkan waktu untuk membaca Negeri Para Bedebah karya Tere Liye, karena Malik merekomendasikan novel itu di cuitannya minggu kemarin. Aku jadi langsung tertarik membeli novel tersebut dan membacanya. Untuk penggemar romansa sepertiku, novel ini benar-benar baru, pembahasannya cukup berat dan membuat aku selalu berpikir di setiap episode. Tak heran Malik cerdas, bacaan yang ia rekomendasikan bukan kaleng-kaleng.
"Nanti kabarin aku lagi ya, Nay, untuk revisi proposalnya."
Seketika aku menegang. Suara berat itu menyadarkanku yang tengah tenggelam dalam bacaanku. Aku menoleh ke asal suara. Malik berdiri di sebelah kiriku, dia sedang berbicara dengan Naya.
"Pasti, Mal. Jangan khawatir, semua beres deh malam ini," jawab Naya, dia mengacungkan dua jempolnya.
Malik hanya mengangguk saja.
Seakan tahu jika sedang diperhatikan, Malik menoleh ke arahku. Aku yang sedang terpaku memandangnya, tertangkap basah.
'Sial, kharisma Malik sangat sulit ditepis.'
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengakuan
Short StorySosok Malik, seorang aktivis muda yang usianya baru saja tujuh belas tahun. Malik menjadi idola muda di kalangan masyarakat karena aksi-aksi berani yang telah ia lakukan. Telah lama aku menyukai dirinya, mengikuti seluruh gerakan kemanusiaan dan mem...