BAB LIMA

494 79 7
                                    

Selamat hari raya Idul Adha bagi umat Muslim seluruh dunia.

Daging qurbannya bikin sate nggak?

Selamat membaca! ☺

***

Dua minggu lagi Gibran berulang tahun dan aku tengah dilema karena pesan yang masuk dari Mas Abraham dua jam lalu. Lelaki itu meminta izin untuk mengadakan pesta untuk putra kami. Bukan aku tidak mau memeriahkan ulang tahun Gibran, hanya saja rasanya terlalu mustahil. Dulu saja setiap ada barang baru yang dibelikan Mas Abraham untukku dan Gibran, Ibunya dan Mbak Dyah pasti akan langsung menerorku dengan berbagai tuduhan; salah satunya adalah memaksa Mas Abraham menuruti permintaanku karena belum pernah memiliki beberapa barang mewah tersebut. Demi apa pun yang paling mahal di dunia ini, meski jarang mematuhi ajaran agama, aku selalu mengingat pesan Ibu untuk tidak meminta-minta hal yang tidak begitu penting meski pada suami sendiri.

Pesan-maaf saja-laknat itu membuatku tidak fokus saat melayani pelanggan. Bukan tidak ingin memberikan momen yang bagus untuk Gibran, hanya saja aku lebih khawatir akan perlakuan keluarga Mas Abraham kepadanya nanti. Lebih aku saja yang mendapat perlakuan tidak baik, putraku jangan ikut-ikutan merasakannya. Dia masih terlalu kecil untuk diperlakuan tidak adil.

"Tunggu, ditambah sama cokelat aja satu, Kak." Seorang pelanggan buru-buru mengambil sebatang cokelat mahal di rak depan meja kasir. "Jadinya berapa?"

Kuterima cokelat tersebut dengan fokus yang masih bercabang, lalu memindainya. "Totalnya jadi tiga ratus lima belas ribu rupiah, Kak." Uang seratus ribu sebanyak empat lembar langsung kumasukkan ke dalam laci dan mengambil kembaliannya dengan gesit. "Terima kasih sudah berbelanja di Bintang Swalayan."

Begitu perempuan tadi berlalu, aku kembali duduk dan membuang pandang ke ponsel yang kembali menampilkan pesan permohonan dari Mas Abraham. Lagi-lagi aku memilih untuk mengabaikannya. Masih ada satu jam lagi sampai waktu kerjaku habis. Nanti sesampainya di rumah akan kumintai pendapat Ibu. Lebih baik begitu daripada diomeli lagi karena gegabah dalam mengambil keputusan.

Pelanggan lain kembali berdatangan. Kusimpan ponsel dan kembali berdiri dengan senyum ramah yang tentu saja dibuat-buat. Namun, begitu melihat siapa yang akan membayar belanjaan, senyumku lenyap begitu saja.

"Habis jadi janda, kamu cuma bisa diterima kerja di sini, toh. Maklum, sih, SMA saja nggak tamat."

Kedua tanganku mengepal mendengar perkataan Bu Sonya, mantan ibu mertuaku. Mulut pedasnya selalu membuatku ingin menyumpalkan kaus kaki busuk ke sana.

"Tapi, ya, cocoklah sama orang kelas bawah kayak kamu. Sok-sokan mau jadi menantu orang kaya, pakai cara menggoda anak saya pula. Untung saja Abraham mau mendengarkan kata-kata saya dan lekas bertaubat." Bu Sonya menyampirkan tasnya ke pundak, lalu mengedik pada dua kotak susu untuk balita. "Cepat totalin. Bisa-bisa alergi 'orang miskin' saya kumat karena ketemu kamu."

Tarik napas, lepaskan. Kuulangi beberapa kali sampai bisa mengendalikan diri dan segera memindai kotak susu balita tersebut. Tanpa banyak kata, kuarahkan barcode pembayaran nontunai agar bisa dipindai melalui smartphone milik Bu Sonya. Perempuan tua-yang sangat banyak gaya-itu melengos pergi setelahnya, membuatku langsung menghela napas lega bak baru saja melihat setan jahanam.

Cakra-yang aku tahu mengintip dari balik rak kacamata hias-mendekati meja kasir. "Mantan mertua lu, ya? Nggak ngotak banget mulutnya."

Aku mengangkat bahu sebagai jawaban. Tidak ingin berkomentar apa pun.

"Sebagai anak baik yang sering nemenin nyokap nonton sinetron, kayaknya gue tahu kenapa Nenek Lampir tadi nggak suka banget sama lo." Cakra kembali bersuara, sedikit lebih pelan karena swalayan agak ramai. "Hal biasa itu, Gis. Meski kita tinggal di Indonesia, untuk urusan begituan masih samalah kayak di India yang selalu mandang kasta."

WHOLEHEARTEDLYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang