(3/3)

46 13 6
                                    

iii. lune et un enfant

"maafkan saya, emma."

gadis yang terduduk di depan saya ini mengernyit, memiringkan kepalanya, menatap saya bingung.

"kamu melakukan sesuatu padaku, nona bulan?"

saya tersenyum, menatap manik yang merefleksikan cahaya bulan di belakang saya.

"soal permohonanmu, emma, kamu pasti akan mendapatkannya." kukatakan hal itu dengan sungguh-sungguh.

"kita punya banyak kesamaan, emma. saya juga menyukai bulan, saya tahu apa yang kamu rasakan, saya paham betul rasanya jadi kamu. untuk itu, jika terjadi sesuatu-suatu hari nanti-kamu harus tahu kalau kamu tak sendiri."

"suatu hari nanti? apa yang akan terjadi suatu hari nanti?"

"banyak, banyak yang akan terjadi. saya harap kamu bisa melewatinya, ya?"

emma berdiri, menangkup wajah saya dalam tangan-tangan kecil itu. ia memberi saya tatapan nanar, mengusap benih sialan yang tumpah dari pelupuk mata.

"maaf ...."

emma mendekap saya erat. bagaimana bisa saya tak menangis?

"maaf, karena saya, kamu kesusahan," saya berbisik.

"pasti sulit rasanya karena jadi saya, emma. saya minta maaf. tolong maafkan saya, ya?"














saat itu, saat saya masih menjadi seorang emma kecil, saya tak tahu apa maksud yang dikatakan luna. saya mengangguk karena saya bisa merasakan kesedihannya. saat itu, saya sungguh tak mengerti.

seseorang tiba-tiba datang mengaku telah membuat janji dengan saya, kemudian menangis dalam dekapan saya yang saat itu hanyalah bocah berumur tujuh tahun tahun.

luna memberikan beberapa kunci; kunci kamar, kunci pintu utama. katanya, saya akan membutuhkannya nanti.

saya tak bisa pungkri betapa senangnya semesta menampar wajah saya terus-terusan. ayah saya meninggal karena kecelakaan setelah mabuk-mabukan dengan salah satu wanita simpanannya. ibu saya yang baru saja mengenal teknologi, ternyata juga sudah ikut-ikutan berselingkuh-bentuk pembalasan dendamnya pada sang suami, bahkan di hari sebelum kecelakaan maut itu terjadi. mereka tak akan segan bicara hal tak senonoh di depan saya lewat telepon. sedangkan nenek? oh ya tuhan, semakin tua umurnya, semakin menjengkelkan pula ia.

kunci itu adalah jalan keluar. saya memilih kabur, saat itulah saya menjadi luna, dan memilih untuk tak kembali sebelum waktunya.









"emma, setiap hari itu adalah anugrah."

tangisan saya sudah reda, saya kini bergantian menatap emma dengan sepenuh hati, "di dalam diri saya, ada seorang anak yang terluka. suatu saat, di dalam dirimu, juga akan ada seorang anak kecil yang terluka. emma, saya mohon, tetaplah hidup untuk anak itu."

saya menutupnya dengan senyum, "seperti yang saya lakukan sekarang."

dan, di sinilah saya, menjadi luna untuk diri saya sendiri.

"untuk semua orang yang yang telah melukai diri saya-dan diri saya sendiri, saya minta maaf. tolong maafkan saya, emma."

dan berjanji untuk kembali mengunjungi sosok emma jika waktunya tiba nanti. []

END
Inspired by ;


© SUNFLUOUS, 2022


a/n: sudah lama mendekap di draft, daripada basi mungkin lebih baik di keluarkan. agak cringe tapi gapapa (semua work-ku begitu lagian) ;)))

moonchildTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang