KS 3: Aku Berhak Untuk menolak!

11 5 6
                                    


Aku celingak-celinguk saat melihat banyak mobil mewah terparkir rapih di halaman rumah. Satu, dua, dan tiga dari lima mobil yang terparkir di sini aku sangat mengenal tiga dari yang lainnya. Mobil sport warna kuning itu sudah pasti itu punya kakak ku Deo. Sedan hitam itu punya kak Rafa. Dan sedan putih itu punya Papi. Aku menutup pintu mobilku, jika di hitung dari jumlah mobil berarti tamu yang datang lumayan banyak. Aku melirik jam tangan yang melingkar manis di lengan sebelah kiri ku. Mami bilang tamunya bakal datang jam 8 tapi ini baru jam 7.

Perlahan, aku mulai menyeret kaki ku masuk kedalam rumah. Woahh, aku bersorak kagum. Baru sampai pintu utama pun suara tawa mereka sudah terdengar jelas.

Ah, jadi ragu mau masuk...

Tapi, tak urung aku tetap masuk kedalam, mengenyahkan rasa tak nyaman itu jauh-jauh.

“Nah, ini anaknya udah pulang. Sini, Nay duduk sebelah Mami.” suara Mami mengejutkan ku yang berjalan mengendap menuju tangga yang akan mengantarku ke kamar di lantai dua. Aku garuk-garuk tak gatal, lalu memutar badan dengan tampang cengengesan tak jelas.

Mataku mengejap beberapa kali sembari melangkah mendekat. Ku kira tamu dari mana ternyata keluarga kak Rafa.

Ini kali pertama ku melihat keluarga kak Rafa secara lengkap, ada kakak perempuannya, dan dua orang paruh baya yang aku yakin pasti orang tua-nya.

Kali ini aku benar-benar mengernyit heran. Aku tak mengerti suasana seperti apa ini. Di atas meja ada beberapa hantaran yang pernah ku lihat di film jika seseorang akan di lamar. Kak Rafa rapih dengan tuxedo berwarna putih senada dengan sang Ayah. Sedangkan kedua wanita lainnya  memakai dress berwarna mocca.

Apa iya kak Deo di lamar kakaknya kak Rafa?

"Jadi ini, Nay. Rafa kesini dengan niat baik mau lamar kamu." 

Aku cengengesan, manabok tangan Mami pelan, “Mami bisa aja bercandanya.”

“Mami gak bercanda!”

Pasokan udara di sekitar menipis, nafas ku tercekat mendengar pernyataan yang penuh tekanan dari Mami, “Aku... Gak mau!” tekan ku tak kalah tegas

“Kenapa, Nay?” Tanya kak Rafa.

“Apanya kenapa? Jelas karena aku mau kuliah!”

“Bukankan nikah tidak menganggu kuliah?” Tanya Mama kak Rafa.

“Memang,” aku mengangguk, membenarkan apa yang di katakannya. “Tapi aku tetap gak mau ni---”

“Naya!” tegur Papi.

“Apa, Pih? Naya gak mau nikah. Naya masih terlalu muda!”

“NAYA!”

“APA?!” Jika Papi bisa menaikkan nada suaranya, maka aku juga bisa. Kali ini untuk pertama kalinya aku akan mencoba memilih jalan yang akan ku tempuh.

***

Aku berhenti menusuk-nusuk tanah halaman belakang Naura, beralih mengusap pisau lipat pemberian kak Deo tiga tahun lalu dengan sebuah kain. Kejadian beberapa jam lalu masih terus terngiang di kepala ku. 

Keributan setelah keluarga kak Rafa pulang dengan jawaban pasrah dari ku tadi masih berseliweran dan membuat otak ku tak bisa berfikir jernih.

Pandangan ku lurus kedepan di mana Mami duduk di hadapan ku. Prasangka buruk dan fikiran negatif menemaniku.

Aku.... Jadi berfikir kalo aku adalah beban di keluarga ini. Aku juga berfikir dengannya aku menikah maka beban mereka sudah tak ada.

Haha.... Aku benci pikiran ku.

“Mi... Aku gak mau nikah. Aku masih terlalu muda, Mi..”

“Niat Rafa itu baik. Kamu gak boleh nolak,” katanya, lalu beranjak ingin meninggalkan ku.

Air mata yang sedari aku tahan kini meluruh tanpa ku suruh, “Bahkan... untuk sebuah pernikahan pun aku gak bisa memilih. Mi, aku udah dewasa, aku ingin memilih jalan ku sendiri.” lirihku. Mami menghentikan langkah, berbalik, menatap pada ku penuh.

“Gak ada alasan untuk menolak, Naya. Rafa laki-laki yang bertanggung jawab. Karirnya bagus, dewasa, dan ganteng.”

“Yang jalanin aku! Yang ngerasain bahagia atau tidaknya kelak juga aku, Mi! Jadi aku berhak untuk menolak lamaran itu!” tekan ku tak kalah sinis. Untuk kali ini aku harus memperjuangkan pendapatku.

“Hidup bersama Rafa tidak akan membuatmu tersiksa. Masa depan mu terjamin! Hidup mu berkecukupan, tidak akan membuatmu kekurangan uang. Dia juga akan memberi kamu apa yang Papi dan Mami kasih ke kamu selama ini.”

Untuk kali ini, aku membenci pendapat Mami. Aku tak menyetujuinya. Mana bisa masa depan ku terjamin di saat cita-cita ku hanya menjadi mimpi belaka?

Aku terkekeh kecil, “Bahagia gak bisa di ukur dengan uang! Menikah juga harus mempunyai kesiapan mental dan aku belum siap!” Aku menggebrak meja. Menyalurkan emosi ku yang sudah memuncak. Mengabaikan keterkejutan Mami aku pun lantas berdiri.

“NAYA!” Suara bentakan dari kak Deo terdengar di ruangan ini.

Aku terperanjat kaget. Tapi, untuk kali ini aku tak takut, ini demi masa depan ku.

“Apa?!” aku ikut membentak. “Lo juga sama! Kalian semua sama! Kalian gak pernah mau dengerin pendapat gue. Kalian selalu setir hidup gue. Ini itu ini itu tanpa mau tau gue suka atau enggak. Kalian gak pernah nanya yang gue inginkan, yang kalian tau gue harus menuruti apa yang kalian katakan!” dalam satu tarikan nafas kalimat itu keluar dari mulut ku.

“Nay."

Aku sedikit terjingkrak saat sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku mendongak.

“Belum mau cerita?” tanyanya.

Aku menggeleng. 

Naura terkekeh pelan, ikut berjongkok di sebelah ku, “Itu.... Orang itu masih suka ngikutin lo?” Tanyanya lagi. Kali ini sambil melirik pisau lipat yang ku genggam.

Aku menggeleng lalu mengangguk.

“Yang mana yang bener, sih?”

“Satu bulan belakangan gue gak ngerasa ada yang ngikutin.” ungkap ku. 

“Meskipun begitu lo jangan lengah, ya? Tetap hati-hati.”

“Iya.”

“Hidup seperti buronan memang susah ya, broo..”  candanya.

Aku tertawa.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Kita Sama!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang