Wajah familiar itu terus mendekat, rambut abu-abu membuat raut wajahnya tak terlihat, takut dan panik nafas lelaki itu tercekat, tak satu aksi pun ia buat, sampai akhirnya dari mulut si gadis terucap sebuah kalimat.
"Ama, beruntung kamu baik-baik saja," angin menerjang rambut dan mengungkap ekspresi ceria penuh semangat.
"Ampun! Aku masih mau hidup!" teriak Musta dengan dahsyat.
"Musta-ro, kamu kenapa?" tanya Rosa, namun lelaki itu hanya diam seolah mulutnya tersumbat.
"Ama, pipimu Musta-ro, maaf-maaf!" oceh gadis itu sembari menggaruk rambut panjangnya yang tak terikat. Ia yang masih ketakutan mulai mundur ke belakang merambat-rambat.
"Tolong, jangan bunuh aku, Rosa. Maaf kalo aku ninggalin dirimu!" sembari bergeser pelan kebelakang dengan lambat, tangan kanannya melambai ke kiri kanan seolah berkata "jangan" sebagai isyarat.
Gadis itu seketika diam tanpa bicara dan berjalan ke belakang Musta yang masih menggeliat, dengan satu anak panah dan busurnya ia membidik ke arah lorong raksasa itu dan berkata padanya "Musta-ro, lihat."
Anak panah melesat, masuk ke dalam lorong gelap tanpa kilau dan kilat, namun disana matanya takjub dengan sangat, api entah dari mana mencuat, mengejar dimana anak panah itu yang bahkan belum mendarat sampai akhirnya api itu tiba dan semuanya terbakar habis dilumat.
"Semua yang masuk Roquefort dari sini, akan menerima takdir itu, Musta-ro."
"Dirimu bisa cukup bilang sesuatu, apa menurutmu yang barusan itu perlu hah!" dorongan energi bergejolak tiba-tiba muncul entah dari mana, mulutnya seketika membentak Rosa
"Maafkan aku, tapi menurutmu jika aku bilang baik-baik dan dirimu melangkah ke arahku, apa yang akan terjadi, Musta-ro?"
Menatap Rosa, ia pun akhirnya diam tak menjawab, malah pandangannya berpindah ke bawah mulutnya pun tak mampu berbahasa, menyelaraskan posisinya dengan gadis itu duduk di hadapannya dengan mantap, memandang ia yang sempat putus asa, Rosa mengusap pipi dan mata lelaki itu yang sudah sembab.
"Maaf ya, Rosa." Gadis itu tak menjawab, hanya tersenyum.
Tak berapa lama suasana hening musnah dengan suara perut Musta yang berdentum, Rosa hanya tertawa kecil dan bertanya "Sudah makan, Mustaro?" lelaki itu hanya meringis dan menjawab "Belum", kuis kedua pun gadis itu lontarkan pada Musta bertanya mengenai makanan favoritnya dan lelaki itu menjelaskan rasa dan bentuknya yang tak lain dan bukan adalah 'Dimsum', meski gadis itu memberi respon bahwa ia sama sekali tak mengerti lagi-lagi ia hanya tertawa riang dengan tatapan kagum.
Kemah kecil-kecilan pun Rosa siapkan, balok bening seukuran nampan ia keluarkan dari ransel serta tak lupa menaruh semua bahan, sementara dia yang mulai lapar menatap benda yang mayoritas warna biru dengan wajah heran, namun pikiran itu tak ia hiraukan sekarang isi lambungnya tengah meronta minta makan.
Menyala warna merah dari balok bening, apa yang sebelumnya biru berubah kuning keemasan, "Ama, Mustaro, kenapa kamu suka Dimsum?" tanya Rosa mencoba memecah hening, "Karena aku gak bisa buat, tiap kali buat pasti belepotan." jawabnya pelan diikuti dengan senyuman.Siaplah makanan itu tersaji diatas alat masaknya tersaji tanpa piring, dengan hasil irisan saus kuning diatas daging, disisi lain Rosa sejenak memukul-mukul sesuatu dalam mangkok kecil dengan suara cukup bising, menunggu gadis itu menyelesaikan semuanya dengan bibir yang kering.
"Dan-daran-dan-dan-DAN-daraaaan~" Rosa bernyanyi kecil sembari menaruh mangkok berisi cairan biru keunguan, disebelah masakannya keduanya bersanding.
"Pa-dam-param-pam-para-para-pam-pam-param-pam~" Musta meneruskan, ia mendekat dan duduk bersama Rosa yang berada di samping.
Tak banyak pusing dan pening, satu wadah makan dan minum untuk berdua tak lagi penting, menghabiskan waktu makan bersama tanpa sendok dan garpu keduanya menikmati indahnya kata 'Sharing'.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sankarea!
Fiction généraleSeorang pemuda bernama Ibrahim Mustafa menginginkan kehidupan di dunia lain, suatu saat keinginannya terkabul. Namun selanjutnya, apa yang akan terjadi?