Cantik. Begitu kata yang selalu keluar dari lelaki berbadan tegap itu. Iya, ia memang seorang lelaki. Dengan nyali yang begitu kecil.
Lagi-lagi, dipertemukan dengan lelaki yang keberaniannya terkalahkan dengan besarnya rasa jatuh cinta. Akan tetapi, bukan itu yang ingin kisah ini bagikan.
Di sebuah persimpangan jalan, Emely dan Candra baru saja berpikir akan segera berpisah. Tidak, hanya di jalan ini saja.
"Can, nanti kalau udah sampai toko roti. Langsung ambil pesananku, ya? Awas kalau kamu malah diem aja!"
"Iya, Ly. Cerewet banget, sih."
Bagaimana tidak, untuk kesekian kalinya Emely menitipkan roti kesukaannya kepada Candra selalu saja tak pernah sesuai pesanannya.
"Kamu, nih, lagi ngapain, sih kalau mau mau ambil pesananku tuh selalu telat? Aku, kan, kadang jadi nggak kebagian roti yang aku mau, Can," cerca Emely disela diamnya Candra.
Di persimpangan ini, seharusnya mereka segera berjalan masing-masing. Kembali dengan realita yang melelahkan.
"Ya, gitu. Udah sanah, ditungguin tuh kamu. Semangat, ya?"
Setelah mengucapkan kalimat kekuatan Candra berjalan melewati jalan satu arah dari sebelah kanan. Menyusuri jalanan hingga sampai di tempat tujuannya. Tempat dari segala harapannya.
"Kak? Sorry, telat. Bang Adit belum datang, 'kan?"
"Untungnya belum. Lo, tuh, kalau udah tahu suka telat makanya jangan minta shift siang, Can. Malem aja malem."
Candra sedikit tertawa mendengar keluhan dari teman rekan kerjanya. Ya, lelaki itu bekerja di sebuah toko roti.
"Kalau malem waktunya nggak cukup, Kak."
"Halah, nggak cukup. Iya, kan mau pacaran."
Seperti sudah mengenal dekat. Lelaki yang diduga bernama Aris itu segera membersihkan diri untuk digantikan oleh Candra.
"Titip, ya. Tungguin yang shift malem dulu kalau mau pergi." Candra menjawab dengan acungan jempol bertanda paham.
Cakrawala kala itu tak terlalu menyengat, cocok untuk bersantai sebab teduhnya mega begitu mengerti insan di bumi. Tak menginginkan mentari lebih mendominan.
Lelaki itu tengah membereskan beberapa meja yang sekiranya telah selesai oleh para pelanggan. Langkahnya mendekati tempat penyimpanan roti-roti yang berjejeran, senyumnya merekah saat satu roti yang ia harapkan keberadaannya masih berada di tempatnya.
Ketika lengannya menggapai ternyata ada orang lain yang berusaha mendapatkannya juga.
"Ah, maaf, Kakak mau ambil juga, ya? Ambil aja, gapapa, kok." Suara kecilnya sangat sopan terdengar. Membuat Candra menundukkan pandangan agar dapat melihat pemilik suara lembut tersebut.
"Eh, Kakak yang gapapa. Nih, mau beli ini, kan? Buat kamu aja." Lagi-lagi lengan Candra terulur untuk memberikan apa yang seharusnya ia janjikan, kepada pemilik lainnya.
"Beneran? Makasih banyak, ya, Kak. Ibu suka banget sama roti ini, jadi aku mau beliin buat Ibu." Lengkungan gadis kecil itu terukir begitu saja. Manis. Sangat sulit untuk menolak tak sama-sama mengembangkan senyumannya.
"Yaudah, yuk. Biar Kakak bawa ke kasir dulu, ya?"
Entah mengapa, tiap kali dirinya menginginkan sesuatu yang ia janjikan selalu saja. Selalu ada yang merebutnya lebih dulu. Entah dengan peristiwa baik atau pun buruk. Candra sudah merasakan keduanya.
"Maaf, ya, Emely. Keinginanmu tak bisa aku capai lagi."
Hanya sebuah potongan roti dan janji. Mengapa harus ada di antara Candra.
Padahal, isi hati Candra tak selamanya dipenuhi kata sabar dan rela.
***
Strawberry malam itu adalah rasa paling menyenangkan bagi Emely. Gadis itu masih berusaha menghabiskan potongan ice cream yang tadi sudah dipisah menjadi dua untuk diberikan kepada Candra. Begitu pun Candra.
"Udah, lah. Lagian kamu nggak sekali dua kali suka nggak jadi kasih rotinya, kok."
Perkataan Emely malam itu lagi-lagi membuat Candra murung tak tentu rasa.
"Justru itu. Aku selalu nggak bisa kasih apa yang aku janjikan untuk orang-orang di sekitar aku. Dan itu menyiksakan bagi aku, Ly."
Deeptalk? Mungkin bisa disebut seperti itu untuk malam penuh bintang dan perasaan.
Candra selalu merasa seperti ini. Selalu merasa dirinya tak pernah bisa menggapai apa yang ia inginkan atau yang orang lain harapkan. Sekali pun itu hal kecil, seperti roti tempo hari. Dan Emely, selalu menjadi orang pertama yang berada di samping Candra jika sudah begini.
"Karena itu, Can. Gini, mau sampai kapan kamu terus terbayang dengan ekspetasi kamu sendiri? Harapan yang isinya ingin kamu selalu ada bahkan bisa untuk orang lain atau pun diri kamu sendiri. Manusia nggak ada yang bisa penuhi keinginannya seumur hidup, Can." Emely membalikkan diri untuk menghadap pada Candra yang tatapannya masih ia tundukkan. Memang, tak pernah ada yang baik-baik saja jika berhadapan dengan perasaan.
"Can, perihal janji yang selalu kamu ungkapkan untuk orang-orang atau diri sendiri itu nggak akan semuanya bisa kamu kabulkan. Pasti ada yang gagal. Kamu janji ke orang tua kamu untuk bisa kerja di perkantoran, kamu janji ke adikmu untuk belikan dia tiket jalan-jalan ke Jogja sama kamu, kamu janji ke temen-temen kamu untuk kosongin jadwal agar bisa ikut manggung, kamu janji ke aku untuk selalu beri aku roti kesukaan aku setelah jam kerja kamu selesai, kamu janji ke diri sendiri agar selalu ada untuk orang lain, nggak semua berjalan lancar, 'kan?"
Lelaki berkaus biru tua itu memandang kepada Emely yang sedang memiringkan kepalanya agar dapat melihat Candra lebih jelas. Senyum manisnya pun tak kalah jelas terlihat oleh Candra.
"Untuk jadi seseorang yang baik itu nggak selamanya harus mengertikan orang lain, kok. Kamu bisa buat diri kamu bangga atas apa pun yang sudah kamu capai juga adalah cara untuk menjadi baik. Kalau satu tak tercapai, masih ada berjuta harap yang bisa kamu pilih. Jadi, jangan terlalu sedih jika satu hal gagal untuk kamu genggam. Karena masih banyak kepingan rasa yang harus kamu tuntaskan dengan baik, ya?"
Tuntutan akan sempurna memang selalu terbayang oleh Candra. Apalagi mengingat dirinya yang begitu lemah akan sebuah kegagalan. Akan tetapi, bersama gadis di sampingnya ini ia berhasil membuat rasa buruk itu sedikit demi sedikit terkikis begitu saja di hatinya.
Jika dikatakan lelah, pasti. Untuk dunia yang tak pernah berjalan dengan baik Candra atau pun Emely sama-sama letih.
Namun, begitu baiknya sang pencipta menurunkan mereka untuk saling menguatkan. Lebih tepatnya, untuk saling memberikan kekuatan menghadapi semesta yang begitu melelahkan.
"Can, aku tahu. Nggak mudah untuk terus berjalan berdampingan dengan masalah. Apalagi masalahnya dari semesta. Tapi kamu perlu tahu. Di sini, ada aku. Ada aku yang siap jadi sandaran kamu. Tenang aja, aku masih di sini sama kamu. Jadi, selagi aku ada di sini, jangan pernah kamu lupain bahwa setiap rintangan pasti ada jalannya, ya?"
Apakah ini waktunya untuk Candra membalas senyuman terbaik Emely untuknya?
Hari itu, Candra kembali berterima kasih kepada dirinya sendiri. Karena sudah bertahan untuk hidup dan mempertahankan Emely untuk hidupnya.
Tentu saja, Emely menjadi salah satu alasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Bawah Semesta [ ✔ ]
Historia CortaPerihal dunia yang tak pernah sempurna dan cerita singkatnya. Berdamai dengan keadaan bukanlah hal yang bisa dijalankan begitu mudah. Bagaimana terpaan badai menjadi penghalang diri untuk berjalan lebih jauh. Sakit dan sabar menjadi obat sementara...