BAB 5 Goresan Luka

9 2 0
                                    

Rama—kakak Sinta—masuk ke ruang kelas di mana mereka berdiri. Dia menjauhkan tangan Sinta dari cengkeraman Reno lalu melayangkan tinju keras ke wajah lelaki itu.

"Kakak, jangan!" teriak Sinta yang sia-sia.

Reno terjatuh karena belum mempersiapkan diri dari serangan Rama. Pukulan keras itu pun melukai hidung dan bibirnya. Dia memegang bagian wajah yang terasa sakit tersebut.

Belum puas, Rama, alumni anggota Resimen mahasiswa (Menwa) tersebut kembali menyerang. Beruntung Denis memisahkannya dari Reno. Lelaki itu bisa babak belur berhadapan dengan kakak Sinta pada saat itu.

Sinta menangis melihat kejadian brutal di depan mata. Reva pun mendekapnya agar dia merasa lebih tenang.

"Rama, sudah! Pergilah! Bawa Sinta pulang. Kamu gak kasihan sama Sinta, harus melihat semua ini?" Denis menunjuk Reno yang masih kesakitan di lantai.

Napas Rama memburu. "Dengar Reno, jangan pernah mendekati Sinta apa lagi sampai menyakitinya, kecuali kalau kamu ingin kondisimu lebih parah dari ini."

Rama membawa Sinta keluar dari sana. Reva pun bergegas mengambil kotak P3K di sekretariat dan memberikan pada Denis. Dia mengobati sahabatnya itu saat sudah duduk di kursi.

Reno mendengkus. "Dia pikir dengan membuat aku seperti ini, aku akan menuruti perintahnya. Jangan mimpi!" Denis menekan bagian wajah Reno yang sakit. "Akh!"

"Sakit gak?" Dennis mengulas senyum.

"Sakit, dodol!" Reno menepis tangan Denis.

"Digituin aja udah sakit, apa lagi harus melawan Rama. Bisa hancur, nih tulang." Denis menonjok lengan Reno.

"Denis! Aku lagi sakit malah kamu tambahin."

"Makanya jangan asal ngomong," celetuk Denis.

"Aku serius, Den. Kali ini aku gak akan ngelepasin Sinta."

"Terserah kamu! Lain kali juga, aku gak akan nolongin."

Dalam sedih, Reva melengkung senyum menyaksikan keakraban Reno dan suaminya. Persahabatan itu sudah terjalin semenjak baru masuk kuliah, hingga kini. Mereka saling support dan tak ada yang bisa menghancurkan hubungan tersebut.

***

"Haruskah tadi Kakak memukul Reno?" tanya Sinta menatap Rama yang sedang fokus menyetir.

Tak ada jawaban dari Rama. Wajahnya masih kesal setelah menghadiahi Reno bogeman mentah yang mengakibatkan luka di hidung dan bibir mantan kekasih Sinta tersebut.

"Kenapa Kakak selalu menggunakan kekerasan? Tak bisakah Kakak menggunakan bahasa yang baik?"

Rama masih membisu dengan rahang yang mengeras. Dia memegang setir kuat-kuat. Kakak Sinta itu terkenal dengan keberaniannya di organisasi Menwa. Tak suka berkata-kata atau pun berargumen. Jika sudah jelas duduk perkaranya, kepalan tangan melayang walaupun lawan belum memasang kuda-kuda.

"Kak Rama!" Panggil Sinta pada Rama yang tampak mengabaikan perkataannya.

"Sin, kamu masih membela bajingan itu? tanya Rama melirik Sinta. "Oh, harusnya aku melakukan hal yang lebih padanya. Tadi itu baru sekedar pemanasan. Andai saja Denis tak ada di sana."

"Kakak! jangan pernah ngelakuin apa pun lagi pada Reno. Kali ini biarkan Sinta menyelesaikan masalah Sinta sendiri. Sinta mohon, Kak." Sinta menyatukan kedua tangannya.

Rama berdecak kesal karena selalu saja menjadi lemah bila Sinta menunjukkan wajah sendu. Dia pun memutar MP3 di audio mobil agar dapat menunjukkan kekesalan pada perempuan itu. Lagu Utopia-benci yang rilis delapan tahun lalu itu pun menjadi pilihannya.

Perempuan di Masa LaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang