Delapan

30.4K 2.8K 76
                                    

Part Delapan

"Apa lo pernah doa biar lo bisa lepas dari hasrat lo yang berlebihan itu, Alana?"

Pertanyaan Ruby tadi sebelum dirinya berangkat kembali ke Jakarta. Pertanyaan yang ia jawaba dengan gelengan tegas.

"Gue ngerasa ngga ada hak lagi untuk minta jalan keluar sama pencipta gue. Gue tuh ngga pernah menjalankan perintahnya, dan malah asyik-asyik ngerjain larangannya. Gue ngga solat, apalagi ngaji. Kok kayaknya ngga tau malu banget, ya? Kalau tiba-tiba gue doa untuk meminta sesuatu."

Jangankan berdoa. Melewati masjid saja Alana akan menunduk dalam. Pasalnya ia terlalu malu menunjukkan wajah di depan rumah Sang Pencipta.

"Sebenarnya Allah ngga pernah melarang hambaNya untuk berdoa meminta sesuatu ke Dia, kok. Allah ngga kayak kita yang picik. Dijahatin dikit udah sibuk mikirin balas dendam. Ngga gitu. Jadi stop berpikir lo ngga layak untuk ini dan itu. Hak kita di dunia ini sama. Tapi gimana kita menggunakan hak itu ya tergantung kita. Tapi sekarang lo minta hal yang paling kecil aja dulu, okey? Minta selamat sampai tujuan. Bye."

Duduk di kursi pesawat kelas bisnis, Alana tersenyum mengingat ucapan Ruby.

Berdoa meminta keselamatan. Itu sebenarnya bukan doa kecil. Tapi mungkin memang yang paling mudah untuk diucapkan.

Menengadahkan tangan, Alana lalu terpejam, melafalkan doa dalam hati. Ya Allah, lindungi hamba.

Membuka mata, Alana langsung menoleh ke samping dan seketika terhenyak melihat mahluk Tuhan yang paling tampan duduk di sampingnya.

Jadi ini jawaban untuk doa gue?

Merasa diperhatikan, pria yang tampil begitu modis dengan celana pendek, kaos berwarna kuning dan sandal slip on berwarna putih itu menoleh dan dengan ramah memberi senyum manis pada Alana. "Hai. Mau ke Jakarta juga?"

Oh ya. Tentu.

Membalas senyuman pria di sampingnya, Alana mengangguk, berlagak malu-malu.

Drrrt!

Alana merasakan ponsel di tangannya bergetar. Segera membalik benda itu untuk melihat layar yang sudah bersinar menampilkan notifikasi pesan, Alana meringis kala membaca pesan yang ternyata datang dari Gema.

Gema 🖕 : kamu pulang hari ini?

Dia dukun, ya? Tau banget orang mau pulang.

Alana : belum. Masih di pesta nikah sodara.

Sebenarnya ini hanya alasan Alana saja, karena nyatanya tak ada acara pernikahan siapapun di keluarganya. Dia pulang terlambat hanya karena sang ibu meminta ia menetap lebih lama. Tapi akhirnya hari ini ia pulang, namun sengaja tak mengabari Gema.

Gema 🖕 : Oke. Jaga pandangan.

Hah!

Alana mengembuskan napas kuat.

Mengapa Gema selalu memberi peringatan di saat yang tak tepat, sih?

Menoleh lagi pria di sampingnya yang juga ikut menoleh dan memberikan senyuman lagi, Alana lantas mematikan ponsel, tanpa membalas pesan Gema meski rasa bersalah entah mengapa bercokol di hati.

Aneh, kan? Ada hubungan apa antara dirinya dan Gema. Hanya hubungan simbiosis mutualisme, tapi dia harus merasa bersalah tiap kali mengagumi pria lain selain Gema.

"Ke Linggau jalan-jalan atau...." Menggantung ucapannya, pria itu menanti jawaban Alana yang tampil sopan dengan baju berlengan panjang, dan celana panjang pula.

DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang