Sembilan

30.7K 2.7K 79
                                    

Seperti ulat saja Alana melekat di tubuh Gema yang duduk di kursi meja makan sambil menyantap hidangan yang Alana bawakan dari kampung halaman wanita itu.

Duduk melingkari pinggul Gema di atas pangkuan pria itu, masih tanpa apapun melekat di tubuh. Alana memeluk dengan kepala bersandar di pundak Gema yang tak peduli sentuhan-sentuhan lidah Alana di lehernya.

Terpejam saat merasakan tetes cuka jatuh di punggungnya, Alana mendesah kala jemari Gema mengusapnya dengan lembut. "Jadi kenapa bohong?" Pria itu bertanya setelah hampir setengah porsi hidangan ia lahap.

Mengedikan bahu, Alana menjawab; "Kejutan." Tanpa ekspresi antusias ataupun nada semangat saat mengatakannya namun malah berhasil membuat Gema terkekeh.

"Dan kamu tau dari mana aku pulang?"

Untuk pertanyaan Alana ini Gema menggeleng. "Cuma tebak-tebakan aja."

"Yakin? Kamu ngga naruh pelacak di tubuhku atau ngirim mata-mata untuk nyelidikin aku?" Mata Alana menyipit menatap Gema. Ucapannya tadi seolah menggambarkan betapa ia penting dalam hidup Gema yang hanya membalas tatapannya dengan alis bertaut.

"Aku ngga perlu ngelakuin itu. Kan kita sudah punya ikatan telepati."

Bibir Alana menganga seolah ia tengah takjub dengan ucapan Gema.

"Buktinya talinya masih terpaut," bisik pria itu yang tak perlu Alana tanya, wanita itu sudah tahu maksudnya.

"Sudah lepas!" balas Alana yang segera turun untuk membuktikan ucapannya. Ia tunjuk benda kebanggaan Gema yang sedang tertidur sekarang. "Ya, kan?" Berbalik sambil mengibaskan rambut. "Aku mau man--"

"Aku bilangkan terpaut, bukan masuk," jawab Gema yang lantas ikut berdiri. "Ayo mandi bareng!" Langsung menghampiri Alana, pria itu menarik tubuh Alana yang segerta terpekik saat dalam sekejap tubuhnya sudah berada dalam gendongan Gema ala bridal style.

"Ah ... Gema!" Alana tertawa karena bibir Gema menciumi telinga yang tertutup helai rambutnya. "Apa kamu lebih kurus karena aku tinggal pergi?" Sambil tertawa karena geli, Alana bertanya.

"Heem." Mengangkat wajah dan mulai bergerak menuju kamar mandi, Gema mengangguk. "Kehilangan berat nol koma nol nol nol satu kilogram."

"Uuuh ... Nanti aku pergi, aku buat kamu kehilangan sepuluh kilo."

Diturunkan di depan pintu kamar mandi, Alana dikurung oleh tangan Gema yang keduanya bersandar di daun pintu. Menelengkan kepala, alis pria itu bertaut. "Kamu berencana mau pergi?"

Alana hanya tersenyum tanpa menjawab.

"Kalau begitu aku harus mulai memikirkan siapa yang bisa menggantikan kamu."

Bibir atas Alana berkedut mendengar jawaban Gema yang tak sama sekali bisa membuat hatinya berbunga. "Harusnya kamu menahan aku."

"Untuk apa menahan seseorang yang tidak mau bertahan?" Sepasang alis Gema menukik, seolah memberi tantangan untuk Alana yang kemudian berdecak.

"Kamu mau cari penggantiku?" Alana mendekatkan wajah ke arah telinga Gema yang memiliki tubuh hampir sama tinggi dengannya.

Bukan karena Gema pendek, tapi memang Alana yang cukup tinggi. Ketika berdiri berjajar, puncak kepala Alana mencapai alis tebal Gema.

"Kamu mau cari di mana?" Wanita itu berbisik dengan nada sensual. "Memang ada yang lebih agresif dari aku?"

"Ah ... sial!" Gema mengumpat namun senyumnya terukir berbanding terbalik dengan kata kasar yang ia ucapkan barusan. "Aku pikir ngga ada."

"Jadi?"

"Jadi aku akan ikat kaki kamu biar kamu ngga bisa ninggalin aku."

Sontak tawanya berderai lembut, Alana mencubit pelan puncak dada Gema yang mengacung. "Oke! Aku tawanan kamu selamanya."

DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang