🌻🌻🌻
Sudah sekitar lima menit kami berlima duduk diam di meja kantin. Iya berlima, aku, Khanza, Inarah, Inayah, dan cowok yang tadi menyenggolku. Setelah tragedi Piring pecah, Inarah tidak membiarkannya pergi. Dia memaksa cowok itu untuk ikut duduk bersama kami berempat, katanya sih cowok itu mau dia sidang untuk ganti rugi.
Sudah aku katakan sejak awal kan? Kalau Inarah itu memiliki sifat yang humble dan anaknya sangat random. Ya seperti inilah contohnya, ganti rugi yang seharusnya mudah malah dipersulit dengan sidang introgasi. Memang ada-ada saja kelakuan Inarah yang tidak bisa ditebak.
"Sorry.." setelah lama terhanyut dalam hening, akhirnya cowok itu bersuara.
Aku mendongak dan menatap cowok itu, "Kenapa bilang sorry mulu sih? Kan lo nggak sengaja." kataku.
"Gue nggak tau mau bilang apa."
Inarah menepuk dahinya sambil memasang wajah lelah, "Sumpah! Baru kali ini gue ketemu orang kayak lo."
"Nama lo siapa?" tanya Khanza.
Cowok itu membuka sedikit almamater di sebelah kirinya, dan terlihat name tag berwarna merah, yang artinya kami berlima memiliki tingkatan yang sama. Mahasiswa baru. Dan di name tag itu tercetak dua suku kata. Gabrian Gamaliel.
Inarah mengangguk-anggukkan kepalanya setelah mengetahui nama cowok itu. "Oke, Gabrian.."
"Gama, panggil gue Gama."
Inarah merotasikan kedua bola matanya lalu kembali menatap Gama dengan intens, "Oke, Gama. Lo anak jurusan mana?"
Aku yang mendengar pertanyaan Inarah langsung mengernyitkan alis, "Ngapain nanya jurusan?"
"Ya biar gampang ganti ruginya, nggak cukup kalau cuma nama aja. Gimana kalau dia pakai nama samaran?" kata Inarah tanpa berpaling dari Gama.
"Gue bukan penipu." ujar Gama dengan nada yang tenang, berusaha tidak tersulut emosi. Tapi terlihat jelas dari tatapan matanya jika dia sedang menahan sesuatu.
"Yang bilang lo penipu siapa sih? Kan gue cuma berandai doang." balas Inarah agak ngegas karena kesal.
Aku dan dan Inayah hanya diam menyaksikan perdebatan mereka berdua. Tidak tau harus berbuat apa, mau melerai tapi takut malah aku yang kena semprot.
"Ganti rugi lo! Udah jatuhin makanan Divya, dan lagi pecahin piringnya mbak kantin." ujar Inarah dalam mode berapi-api.
Gama hanya melirik Inarah sebentar lalu kembali menatap ke depan sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Sepertinya dia merasa kesal karena sikap Inarah yang tidak menunjukkan itikad baik kepadanya.
"Heh ganti rugi.." sekali lagi Inarah kembali mendesak Gama tanpa rasa gentar.
Gama berdecak, "Berapa?"
Khanza yang sudah lelah mendengar perdebatan antara Inarah dan Gama yang tidak ada ujungnya akhirnya langsung to the point, "Lo ganti rugi sekarang aja biar nggak di kejar rentenir. Bayar cepat, 30 ribu."
Setelah Khanza mengatakan itu, Gama segera merogoh saku celananya dan mengeluarkan dompetnya. Dia mengambil uang berwarna biru lalu meletakkannya di atas meja kantin, "Nggak usah kembalian, gue cabut.." lalu Gama pergi meninggalkan kantin dengan terburu-buru.
Inarah menatap kepergian Gama dengan pandangan tidak percaya, mungkin baru pertama kali bertemu dengan orang yang sifatnya seperti itu. Belum selesai pembicaraan, sudah ditinggal pergi.
"Sial, dikira kita ngemis apa? Nggak usah kembalian.." ujar Inarah kesal sambil menatap uang berwarna biru yang teronggok di atas meja kantin.
"Udah Nar, nggak usah di perpanjang lagi. Yang penting kan dia udah ganti rugi." kataku menenangkan Inarah yang sepertinya sedang emosi akibat ulah Gama.
Belum reda emosi Inarah, bell tanda istirahat selesai berbunyi. Inayah yang sejak tadi diam langsung mengajak kami untuk segera kembali ke kelas. Maklum mahasiswi baru, harus masuk kelas tepat waktu karena baru beradaptasi dengan dosen mata kuliah. Kita tidak tau bagaimana watak dan sistem yang akan dosen itu buat. Makanya, daripada mencari masalah, lebih baik mencegahnya kan?
🌻🌻🌻
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories
Teen FictionNamaku Divya, lebih lengkapnya Nadivya Deeana. Anak pertama dari tiga bersaudara, yang digadang-gadang kelak akan menjadi tulang punggung keluarga menggantikan posisi Ayah. Hidupku sederhana. Bisa kuliah, punya tempat tinggal, dan makan saja sudah...