Ghost

1 0 0
                                    

Awalnya, aku hendak memanggil taksi dan pulang ke rumah tanpa harus berinteraksi dengan makhluk hidup lainnya lagi. Tetapi, tante Lia menelepon saat aku sedang menunggu kedatangan taksi di depan gerbang lapangan dan kebetulan Vincent berpamitan kepadaku namun tentu saja suara Vincent terdengar olehnya. Tante Lia mendesakku untuk pulang bersamanya daripada naik taksi dan aku tidak bisa menolak.

Aku menghampiri Vincent yang sedang menyalakan mesin mobil Honda Civic-nya (ya, sepertinya murid sekolahku selalu punya mobil yang berada sedikit di atas level menengah) kemudian mengetuk jendela mobilnya. Vincent memberikanku tatapan kemenangan sementara aku mencoba untuk membuka pintu yang masih dikunci.

Setelah berlomba saling tatap, akhirnya dia membuka pintu mobil lalu aku menjatuhkan diri di jok sebelahnya.

"Siap-siap nyalain GPS." ucapku sambil bersedekap tanpa menatapnya sekalipun.

Tidak ada suara yang terdengar dari kami kecuali suara mesin yang menderu mulus sampai ponselku berdering.

Oh tidak, jangan sekarang.

"Bri, kamu lagi di mana?" tanya ibu di sambungan telepon.

Aku beringsut ke dekat jendela dan menutupi mulutku dengan siku. "Ke rumah ayah, kan malam ini giliran ayah. Bu, nanti aku telepon lagi." bisikku sambil melirik Vincent yang sedang menatapku bingung.

"Kamu pulang ke rumah ibu aja sekarang. Nggak usah ke rumah ayah. Naik apa kamu ke sini?"

"Numpang temen, makanya nanti aku telepon balik, Bu." Aku memotong sambungan ibu sebelum ia berkata lebih lanjut. Aku tau hal itu akan mempengaruhiku di masa yang akan datang.

Aku memasukkan ponselku ke tas kembali lalu menyandarkan diriku ke jok dan menghela napas.

"Jadi...," Ia terlihat ragu sesaat. "Kita pulang ke rumah ayah atau ibumu sekarang?"

"Kamu nggak perlu tau. Nyetir aja sesuai alamat yang aku kasi di GPS."

Untungnya Vincent menurutiku dan tidak bertanya apa-apa lagi sampai kami tiba di rumah ayah. Pintu gerbang terbuka otomatis, aku melambai singkat kepada penjaga rumah yang sedang menekan tombol gerbang kemudian Vincent memberhentikan mobilnya di depan pintu utama.


Tante Lia muncul di ambang pintu - tersenyum.

"Bri, kamu nggak pamit sama temenmu?" ucapnya setelah aku turun dari mobil.

Aku menghela napas pasrah lalu menoleh. "Vin, duluan ya." ucapku datar.

Vincent mengangkat tangannya dan tersenyum maklum. Kakiku baru saja menginjak rumah ketika aku mendengar tante Lia menyuruhnya untuk masuk rumah dan jantungku berhenti seketika. Aku membalikkan badan dan melihat Vincent turun dari mobil - digandeng tante Lia.

"Um, tan? Vincent sibuk -"

Tante Lia tidak menghiraukan perkataanku dan menggiringnya masuk ke dalam rumah. Aku menutup pintu pasrah lalu menyusul mereka ke meja makan. Tante Lia mengeluarkan ayam panggang dan kentang dari oven sementara Vincent terduduk menatapku dan aku kembali menatapnya.

"Aku nggak bisa nolak." bisiknya saat aku duduk di sebelahnya.

Aku mendengus. "Emangnya susah banget ya untuk bilang kalo kamu juga mau pulang ke rumah dan dicariin ortumu?"

"Kayaknya kamu juga nggak bisa bujuk ibumu untuk biarin aku pulang?"

"Tante Lia bukan ibuku."

Tatapan Vincent yang sebelumnya tajam melembut. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata lalu menunduk sambil menelan ludahnya.

Aku mengambil nasi yang baru saja disajikan Tante Lia, membiarkan Vincent yang masih terbungkam.


Ayah pulang di tengah-tengah makan malam yang berlangsung tanpa adanya kata-kata yang keluar dari mulutku jika tidak terpaksa.

Tante Lia dan ayah memimpin percakapan yang kebanyakan tentang Vincent dan ia menjawabnya dengan sopan. Sesekali, aku menangkapnya sedang melirikku tetapi kali ini tatapannya lebih lembut daripada sebelumnya.

Tante Lia mengeluarkan es krim dari freezer kemudian menyajikan kami semangkuk besar es krim neapolitan di hadapan kami.

Aku menyuapkan sesendok ke mulutku sementara ayah masih berbicara tentang klien-nya kepada Vincent yang terus berlangsung selama makan malam ini. Vincent pasrah menganggukkan kepalanya dan tersenyum sambil menyuapkan es krim ke dalam mulutnya.

Suara pintu terbuka membuat kami menoleh. Aku dapat mendengar suara ketukan heels di lantai samar-samar, kemudian suara itu makin keras, dan akhirnya berhenti di ambang pintu ruang makan. Tentu saja, ibu berdiri di sana.

"Brielle, kita pulang sekarang." ucapnya dengan rahang mengeras.

Aku masih terdiam, tidak tau bagaimana harus merespon. Tatapanku menyusuri ayah yang bangkit dari kursinya sementara Tante Lia menutup pintu kulkas lalu berdiri di sebelahnya dengan tampak khawatir.

"Bukannya sekarang giliranku?" tanya ayah.

Ibu mendengus lalu berjalan mendekat. "Dia kan anakku juga. Dan aku mau dia di rumahku sekarang."

Ayah langsung menyipitkan matanya. "Kamu mabuk lagi ya?"

Perkataan ayah mempercepat napas ibu dan langkahnya. Ibu menarik lenganku dan aku dapat mencium aroma alkohol darinya.

"Bu, nanti malem Brielle pulang kalo emang ibu mau aku pulang. Kenapa ibu nggak temenin Thomas aja sekarang?" kataku sambil menahan lenganku yang ditarik ibu.

Vincent menatap kami berdua horror dan duduk terpatung, jarinya masih memegang sendok es krim. Anak yang malang.

Ayah melangkah mengitari meja - mendekati kami. "Siapa Thomas? Bule yang kamu pungut dari hotel lagi?"

"Emangnya kenapa? Emang kamu peduli? Kehidupan percintaanku itu bukan urusanmu!" balas ibu yang masih memegang lenganku. "Kamu aja udah nikah lagi, terus aku nggak boleh punya cowok lagi gitu?"

Ayah tertawa heran. "Dari dulu kamu selalu berperilaku kayak anak kecil."

"Jadi orang tu ngaca!" sahut ibu, menarik lenganku makin keras.

Ketika aku merasakan air mataku mulai mengalir dan dadaku terasa sesak, aku memutuskan untuk melepaskan lenganku dari ibu dan meluncur menaiki tangga kemudian menutup - lebih tepatnya membanting sampai jendela rumah bergetar. Aku hanya ingin menghilangkan diriku dari realita sehingga aku menimbun diriku di dalam selimut dan menenggelamkan diriku dalam kegelapan sampai suasana terdengar sunyi.

Aku membuka mataku dan melihat jam dinding menunjukkan pukul 10.03. Ternyata aku terlelap selama 3 jam terakhir dan tidak menyadari bahwa air mataku membuat kelopak dan pipiku bengkak seperti bantal sampai aku memandang refleksiku pada cermin saat mencuci wajahku di kamar mandi.

Ketika aku menenangkan diri dengan meneguk segelas air yang syukurnya tersedia di atas kabinetku, aku teringat oleh ibu. Aku tidak ingin meninggalkannya seperti itu. Bagaimanapun juga, like it or not, mereka masih orang tua yang aku sayangi. Aku memutuskan untuk mengirimkan ibu pesan selamat malam sebelum aku melanjutkan tidurku dan kembali ke rumah ibu esok pagi.

Namun, ketika aku masih sibuk mengetik, aku mendengar semacam suara ketukan dari sliding door kaca menuju balkon kamarku.


By The River Thames [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang