BAB 1

38 7 0
                                    

Senyum mengembang kala kedua kakiku menapak kembali di bumi pertiwi. Delapan tahun sudah kutinggalkan negeri nan subur dan kaya ini. Menjadi tulang punggung pengganti, demi kehidupan keluarga yang lebih baik di masa depan nanti, bersama anak dan suami. Aku menjadi tenaga kerja wanita ke negeri Arab Saudi.

Kutatap bangunan megah yang ramai pengunjung dari berbagai penjuru kota. Pikiranku melayang ke masa sewindu yang lalu di tempat yang sama. Ibu—orang tua tunggalku—dan Mas Adit yang menggendong  anak semata wayangku, Adam.  Mereka melepas kepergianku dengan senyum yang dihiasi air mata. Sungguh pemandangan yang tidak akan pernah terlupa.

Aku mengayun langkah di tengah lalu lalang keramaian orang. Setelah selesai mengikuti prosedur keimigrasian, aku melangkahkan kaki ke Area Pengambilan Bagasi. Mengambil koper besar warna hitam yang penuh berisi barang dan buah tangan. Sambil mendorong kotak jumbo itu, kini waktunya melanjutkan mengurusi masalah kepabeanan.

Semua sudah selesai, kini kakiku melangkah ke  area penjemputan. Di sana aku akan segera bertemu dengan suami, ibu, dan anakku, batinku.

“Rahma. Nduk, Ibu di sini!”

Aku mendengar suara wanita yang tidak asing tersimpan di dalam memori bawah sadarku. Langkahku terhenti. Aku menajamkan pendengaran untuk mengetahui asal suara yang timbul tenggelam di antara ramainya suasana. Namun, belum juga menemukan sosok yang kucari. Aku menepi dan memutar badan pelan-pelan. Memindai setiap wanita yang kuduga menjadi pemilik suara.

“Ibu!”

Aku lekas berlari meninggalkan koper besarku menuju seorang wanita berbaju biru. Baju yang dulu juga dipakainya ketika mengantarku ke sini. Aku memeluknya penuh haru. Ibu pun juga tak berbeda denganku.

“Mas Adit dan Adam mana?” Aku menoleh ke sana ke mari mencari dua sosok lagi yang kuharap hadir menemani Ibu. Namun, mereka tak jua kutemui.

“Bu?”

“Anakmu nggak enak badan, Rahma. Jadi suamimu nggak bisa ikut menjemput.”

“Sakit? Sakit apa, Bu? Tapi kenapa Mas Adit nggak ngasih kabar?” tanyaku beruntun kepada wanita di depanku itu.

Tanpa menjawab, Ibu lekas menarik pelan tanganku. Wanita paruh baya itu mengajak aku untuk segera masuk ke mobil jemputan di parkiran. Kakiku mengikuti langkahnya setelah mengambil koper besarku.

Kini aku dan Ibu sudah berada di atas mobil jemputan. Mobil angkutan pedesaan milik Pak Warji, tetangga sebelah rumah.

“Aku pamit, ya, Mas. Tolong jaga Adam anak kita, dan juga orang tuaku, Ibu.”

“Iya, Rahma. Kamu tenang saja. Mereka dalam tanggung jawabku. Kamu di sana baik-baik, ya.” Aku mengangguk tanpa menatapnya.

Tanganku sibuk membelai bayi laki-laki yang ada di gendongan Ibu. Adam namanya. Usianya baru enam bulan. Namun, keadaan ekonomi rumah tangga yang berumur dua tahun kujalani memaksaku harus berpisah dengan anak semata wayangku itu. Mas Adit bangkrut dari usahanya, meninggalkan banyak hutang yang harus segera dilunasi.

“Sudah, nggak usah sedih, Rahma. Aku izinkan kamu pergi. Kalau bukan kamu, berharap pada siapa lagi? Saudaramu nggak ada yang mau bantu, kan?”

“Nggak bisakah kita mulai usaha lagi saja, Mas. Aku nggak tega ninggalin Adam.” Aku mencoba menawar meskipun sudah tahu jawabannya. Mas Adam bergeming. Suara pemberitahuan dari ruang informasi memaksaku melangkah menuju ruang tunggu.

“Rahma, gimana perjalananmu tadi?” Pertanyaan Ibu membuat pikirku tersadar kembali dari lamunan.

“Alhamdulillah lancar, Bu. Cuma, pas transit, pesawat sempat mengalami penundaan keberangkatan beberapa kali karena cuaca yang kurang mendukung.”  Ibu menyimak ceritaku dengan seksama. Hingga wanita yang duduk di sampingku itu  beberapa kali terlihat menguap. Dan Ibu pun akhirnya terlelap.  Tak lama dari itu, aku pun akhirnya menyusul Ibu.

Entah berapa jam  perjalanan kami tempuh. Hingga aku merasakan mobil berjalan melambat dan akhirnya berhenti sempurna di depan sebuah bangunan rumah bercat biru muda.

Mataku mengerjap beberapa kali. Ingin memastikan bahwa rumah itu adalah rumah Ibu yang dulu. Ya, benar. Itu adalah rumah tempat aku dibesarkan.

Masih seperti waktu kutinggalkan. Mana renovasi seperti yang dibilang Mas Adit? batinku.

“Sudah sampai, Nduk.” Pak Warji melihatku melalui kaca spion dalam.

“Inggih, Pak.” Aku menatap Ibu yang masih terlelap. Rasanya tidak tega untuk membangunkannya. Aku memutuskan untuk turun terlebih dahulu. Membantu Pak Warji mengeluarkan barang bawaanku dan beberapa kantung oleh-oleh yang kubeli di kota dari bagasi. Setelah semua barang keluar, aku melongok Ibu kembali.

“Bu, kita sudah sampai rumah.” Aku menggoyangkan bahunya pelan. Entah habis melakukan aktivitas apa, sehingga Ibu tertidur lelap seperti itu.

“Oh, sudah sampe, Nduk?” tanyanya sembari melihat sekeliling. Aku tersenyum dan mengangguk. Ibu lekas bangkit dan turun dari mobil. Setelah membayar ongkos angkutan kepada Pak Warji, Ibu membuka kunci pintu ruang tamu dan masuk ke dalam rumah.

“Bu, Mas  Adit dan Adam mana? Kata—“ Belum selesai pertanyaanku pada Ibu, terdengar deru mobil memasuki halaman rumah.

“Siapa?” pikirku.

Aku Benci Kamu, Mbak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang