“Emang Ibu mau kena denda?” tanya wanita cantik itu setengah berbisik tetapi masih terdengar olehku.
"Loh?" Sontak Ibu matanya membulat dan menatap penuh tanya kepada Mbak Maya. “Iya, Nduk?* Lagi-lagi wanita dengan kaus warna putih itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, "Aturannya memang gitu, Bu.” Tampak raut kecewa di wajah yang sudah tidak muda lagi itu. Aku tahu karena apa.
“Ya, sudah. Biar nggak mubadzir, bekal makanannya aku kasihkan ke orang saja, ya, Bu,” tanyaku yang mendapat sebuah anggukan. Raut semringah langsung kembali terbit di wajah ibuku.
Aku meminjam kontak mobil kepada Mbak Maya. Lalu berjalan ke arah parkiran sendirian. Niat hati ingin langsung memberikan semua bekal makanan itu kepada orang yang mau. Namun, mengingat ini jam makan siang dan perutku juga sudah minta diisi, sebelum kukasihkan, aku menikmati satu porsi dari bekal itu. Alhamdulillah, setelah delapan tahun lamanya di perantauan, akhirnya aku bisa menikmati kembali menu makanan favorit yang sengaja dimasak Ibu untukku.
Oseng daun dan bunga pepaya yang ditaburi teri nasi, balado terong, balado tongkol, dan tak lupa sambal terasi buatan Ibu yang terasa khas di lidahku. Aku ambil satu porsi nasi, lalu kulengkapi dengan semua jenis lauk yang sudah lama baru kunikmati kembali. Namun, ketika sedang memasukkan suapan pertama ke mulut, aku melihat pemandangan yang membuatku jengah seketika.
Sepasang lelaki dan wanita sedang berasyik masyuk di dalam mobil yang terparkir tepat di sampingku. Selang beberapa menit, mobil terbuka dan dua orang insan laki-laki dan wanita berambut blonde yang dikuncir tinggi keluar mobil dan berjalan bergandengan mesra.
Tunggu! Sepertinya aku kenal sama wanita itu. Aku lekas menyimpan piring makanan yang hendak aku nikmati. Lalu mencari losisi yang lebih pas untuk melihatnya dengan jelas. Seolah Allah mengetahui keinginanku, hingga membuat wanita itu menoleh ke belakang entah mencari apa.
Ya, Allah. Benar, itu Mbak Maya. Sama siapa dia? Berjalan bergandengan tangan sangat mesra dengan seorang lelaki yang tidak muda lagi, tapi tetap terlihat sangat tampan dan menawan. Beragam prasangka bermunculan di dalam dada. Hingga pikiran jahatku keluar tanpa dapat kucegah.
Apa mungkin Mbakku jadi simpanan Om-om kaya atau lelaki hidung belang yang sedang puber kedua? Aku lekas menghapus pikiran liarku dengan istighfar.
Aku menunda rencana menikmati makan siang. Aku keluar dari mobil dan mengikuti arah pergerakan Mbak Maya dan lelaki itu.
Mereka menuju sebuah mall yang tak jauh dari arah parkiran. Aku segera mengarahkan kamera ponselku ketika ada kesempatan untuk mengambil gambar keduanya dalam jarak yang cukup dekat
Sejenak aku mengecek gambar yang baru saja kuambil. Lalu berlanjut melihat chat Whatsapp dari Mas Adit. Suamiku menanyakan kabar perjalananku berwisata bersama keluarga. Ia juga menceritakan jika Adam meminta jalan-jalan ke mall untuk beli baju.
Seketika ada yang terasa nyeri di dalam dada. Mengingat tadi pagi Mas Adit mengatakan Adam tak mau ikut denganku. Katanya anak umur delapan tahun itu akan menemaninya menunggu ibunya di rumah sakit. Namun, kenyataannya sekarang Adam malah minta jalan-jalan ke mall. Ada apa sebenarnya?
Terfokus pada chat dari suamiku, membuat aku agak lama melihat ponsel. Dan ketika aku mendongak mencari sepasang wanita dan lelaki yang kuikuti tadi, ternyata sudah menghilang dari penglihatamku. Kemana mereka? Beberapa saat aku mencarinya. Setelah tak ketemu kuputuskan untuk segera kembali ke mobil.
Usai menyelesaikan makan dengan berteman prasangka, kini bekal makanan yang masih banyak itu aku berikan pada tukang becak yang ada di sekitar lokasi wisata itu. Aku memang harus berjalan agak jauh dan keluar kompleks wisata untuk itu. Namun, setelah aku menceritakan masalahnya kepada petugas penjaga tiket, alhamdulillah akhirnya diizinkan.
***
Beberapa kali Mas Dani menelepon untuk mengecek keberadaanku. Ia khawatir aku tersesat. Aku menceritakan semua kejadian yang kualami kecuali apa yang aku lihat dan masih menjadi tanda tanya besar bagiku. Tentang Mbak Maya. Kini aku mengayun langkah kembali ke musala.
Usai semua salat, kami sekeluarga memulai jalan-jalan, menikmati semua wahana permainan yang sangat seru dan menyenangkan. Melihat riangnya kedua putra Mas Dani, tetiba aku teringat pada anak semata wayangku, Adam. Hal itu memaksaku untuk membuka ponsel kembali, menatap foto anak laki-laki berumur 8 tahun itu di sana.
Andai sekarang kamu ada di sini, Nak. Pasti akan sangat senang bermain sama anak Mas Dani batinku. Air mataku tak terasa membasahi pipi.
“Kita cari makan siang, yuk, Mbak," ajak Dinia, adik bungsuku. Lekas kuseka sudut mataku dengan jariku. Lalu mengangguk mengiyakan ajakannya.
"Ayo."
"Asiiik!" Dengan riang, dua keponakan mungilku itu berlari kecil mengikuti langkahku dan Dinia.
Sebuah restoran siap saji lokal menjadi pilihan. Restoran dengan nuansa warna merah dan kuning itu menyediakan menu yang banyak disukai kaum milenial pada umumnya, ada, ayam tepung krispi, sup, spaghetti, kentang goreng, aneka burger, nugget, dan perkedel kentang dengan citarasa yang istimewa.
Setelah memesan menu sesuai selera masing-masing, tak lupa Dinia memesan minuman dan es krim cokelat vanila. Butuh waktu yang cukup lama untuk mendapatkan pelayanannya. Karena antrean pembelinya mengular panjang.
Setelah mengantre cukup lama, pesanan datang. Dua orang pramusaji mengantarkan menu yang sudah dipesan. Aku lekas mengambil segelas jus jeruk pesananku dan membawanya ke luar. Aku ingin menikmati orange juice-ku sambil melihat pemandangan alam di luar.
Bruk!
“Maaf.”
“Oh, iya. Nggak apa-apa.” Aku lekas mengelap kerudung bagian depanku yang basah akibat minuman yang kubawa ditabrak seseorang.
Fokus pada usaha mengeringkan kerudung instanku, secara tidak sadar justru tangan kiriku menyerahkan segelas minuman pesananku kkepada lelaki di depanku itu.
“Eh, maaf. Makasih, Mas," ucapku tanpa menatapnya. Aku mengambil kembali gelas minumku dari tangan lelaki di depanku itu, lalu melanjutkan langkah cepatku ke luar.
“Mbak?”