BAB 7

8 1 0
                                    

Semburat warna putih dan jingga berpadu indah di kaki langit sebelah barat. Kabut putih pegunungan pun mulai terlihat melayang turun menambah eloknya pemandangan di kota berpenduduk lebih dari 210 ribu jiwa ini. Hijau pegunungan Arjuno dan Panderman pun melengkapi sempurnanya lukisan alam karya Sang Maha Pencipta.

Beberapa menit lagi gelap akan segera menelan senja yang indah temaram. Lampu-lampu di tepi jalan perkotaan mulai dinyalakan. Pun di tempat wisata yang tengah aku kunjungi ini.

Kota wisata yang terkenal sebagai penghasil buah apel hijau, Manalagi, dan Anna ini terletak di ketinggian 680-1700 meter di atas permukaan laut menyebabkan udaranya sangat dingin. Dan akan semakin dingin dengan bertambahnya pekat malam.

Umumnya, tempat wisata hanya buka hingga pukul empat sore. Namun, di taman yang menyajikan suasana petualangan seperti di film The Jurassic Park itu, mulai menerima pengunjung dari jam 11.00-20.00 . Dan ketika menjelang malam seperti ini, suasana terlihat tambah ramai dan ceria. Suara setiap wahana permainan terdengar lebih jelas, dan efek lampu yang gemerlap mengikkuti irama tampak menyilaukan dan indah untuk dinikmati.

Ponselku bergetar. Aku mengusap layar yang bertuliskan nama Mbak Maya.

“Iya, Mbak?” Suara kakakku yang cantik itu tenggelam di antara dentuman keras musik dan suara teriakan pengunjung di beberapa wahana permainan.

“Nggak jelas, Mbak. Ada apa?” tanyaku setengah berteriak. Mbak Maya memutus sambungan telepon. Beberapa detik kemudian ponselku bergetar kembali menandakan ada chat pesan masuk.

[Kamu di mana?]

[Ini di wahana lima zaman, Mbak.] Aku sertakan foto lokasi yang sedang kami kunjumgi.

[Jam setengah delapan kutunggu di mobil, ya. Kita segera chek-in hotel.] Aku menjawab chat Mbak Maya dengan sebuah stiker bertuliskan ‘oke’.

Usai mengirim pesan terakhir ke Mbak Maya, aku melihat jam digital yang ada di ponselku. Lalu kukatakan ke Mas Dani dan Dinia, bahwa waktu berkeliling tinggal satu jam lagi.

Sejak kepergiannya siang tadi, Mbak Maya belum kembali lagi bersama rombongan keluarga. Ada pekerjaan katanya. Hanya sesekali waktu wanita berumur tiga tahun lebih tua dari aku itu mengirim pesan chat kepadaku dan atau Mas Dani.

“Setengah jam lagi kita ke mobil, ya.," ucap Mas Dani sembari menggendong anak keduanya.

“Ibu mau sekarang ke mobilnya? Barangkali sudah capek." Aku menawari wanita yang kini mengenakan jaket rajut dan syal  karena dinginnya hawa malam. Namun, Ibu tersenyum sembari menggeleng.

“Kan baru saja istirahat sama Lusi, Nduk.”  Ya, memang. Perjalanan mengelilingi tempat wisata seluas delapan hektar ini membutuhkan stamina yang fit.Karena kelelahan, Ibu dan Mbak Lusi beberapa kali berhenti di tempat istirahat yang disediakan pihak pengelola yang tersebar di beberapa titik lokasi.

Ponselku berdering. Nama Mbak Maya kembali mwnghiasi layarnya. Kugeser tombol hijau.

[Dah pada sampe mobil, belum?]

“Belum, Mbak. Ini lagi jalan dari wahana Infinite World. Mau duduk-duduk sebentar kata Mas Dani. Soalnya dua kecilnya suka ngelihat kelap-kelip lampu yang beraneka warna dan suara-suara yang saling menggelegar berahutan, itu lho, Mbak.”

[Belum? Lima belas menit lagi, ya.] Belum sempat aku menjawabnya, sambungan telepon sudah diputuskan. Kusimpan ponselku, lalu menyampaiakan pesan Mbak Maya ke Mas Dani. Lelaki yang tidak bergitu tinggi itu melirik sekilas jam yang ada di tangan kirinya, lalu mengangguk.

Sejak Mbak Maya tidak bergabung dalam rombongan keluarga siang tadi, aku lebih sering jalan sendiri. Ibu berdua dengan Mbak Lusi.  Sedangkan Dinia membersamai Mas Dani yang mengasuh kedua bocah ciliknya. Merasakan kaki yang lelah karena hampir seharian berjalan, tetiba aku terbersit untuk lebih dulu berjalan ke arah mobil di parkiran. Rasanya ingin segera mengistirahatkan kaki dan badan sejenak di sana.

Setelah sampai di mobil, lagi-lagi aku melihat Mbak Maya bersama lelaki tadi. Kali ini mbakku itu dengan model dandanan yang berbeda. Gaun merah sepanjang lutut dengan bagian bawah model klok berbentuk A dan lengan rempel yang dihiasi renda warna senada. Rambut diurai dengan jepit berbentuk pita. Di bawah terpaaan cahaya temaram malam, Mbak Maya tampak sangat anggun dan cantik jelita.

Setelah mengantar lelaki yang digandengnya mesra itu, Mbak Maya segera menuju mobil tempat aku berada. Wanita itu belum menyadari jika aku sudah lebih dahulu daripadanya..Karena mobil masih gelap dan sepi, Mbak Maya terlihat menelepon seseorang. Namun, ia sangat terlihat kaget ketika lampu temgah mobil aku nyalakan. Kakak keduaku itu lekas membuka pintu mobil yang hanya berjarak lima langkah dari tempatnya berdiri. Sebelum tangannya membuka pintu, aku membukanya terlebih dahulu.

"Kamu?"

"Iya, Mbak. Kaget, ya?" Aku tertawa kecil mencairkan suasana tegang yang terlihat dari raut wajahnya. Mbak Maya masih terpaku dengan kehadiranku yang tiidak diharapkannya.

"Mbak? Halo." Aku melambaikan tanganku di depan wajahnya.

"Eh, heeh. I-iya?"

"Siapa dia, Mbak?"

"Yang mana?"

"Cih, pura-pura nggak tau? Laki-laki yang barusan jalan sama Mbak Maya," sahutku sembari mengarahkan dagu ke arah mobil yang sudah mulai bergerak meninggalkan pelataran parkir itu.

"Oh ... itu? Teman."

"Teman tapi, kok--" Aku menghentikan bicara ketika melihat rombongan keluargaku sudah mulai mendekat ke mobil. Namun, pada saat yang sama, pandanganku tertuju pada sosok lelaki tinggi berwajah arab yang berjalan di belakang Mas Dani sambil menatap tajam ke arahku.

Siapa dia? batinku.







Aku Benci Kamu, Mbak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang