BAB 10

14 1 0
                                    


"Selamat pagi. Maaf, dengan Mbak Rahma Aulia?"

"Benar. Iya?" Aku memandang heran seorang pelayan hotel yang berdiri di depanku.

"Ini ada titipan, Mbak. Mohon diterima." Setelah meletakkan sebuah kotak kecil di meja makan, lelaki muda itu lekas beranjak pergi.

"Terima kasih, Mas," jawab Dinia.

Aku yang masih terpaku dengan kejadian yang tak lazim itu segera tersadar oleh suara deheman adikku.

"Cieee ... titipan dari siapa niiih?" ujarnya menggodaku.

"ih, mana kutahu. Ambil sana, gih." Aku bangkit dan beranjak pergi. Melangkah cepat kembali ke kamar hotel. Namun, kamar sudah kosong. Mbak Maya sudah keluar lagi. Mbak Maya yang mempunyai kunci serep kamar, membuat ia keluar masuk kamar dengan leluasa.

"Nih, Mbak Rahma. Main tinggal aja. Dikasih orang, tuh, dihargai." Dinia yang baru saja sampai di  kamar kembali bersama Ibu menyerahkan sebuah kotak berwarna biru. 

"Berisik!"

"Lho, Maya ke mana lagi, to? Pagi-pagi dah ngilang lagi saja." Ibu yang baru masuk kamar mengomel menanggapi Mbak Maya yang sudah pergi lagi. Untuk meyakinkan, aku mengecek sandal dan sepatunya. Lalu juga  ke kamar mandi, barangkali sedang ada di sana.

"Iya.. Kemana lagi, sih."

Aku lekas menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Ponsel yang kupegang bergetar. Segera kubuka pesan chat yang masuk di sana.

[Dik, jadi pulang kapan? Hari ini aku belum bisa pulang, ya. Ini lagi ngantar charteran ke Blitar.] Pesan masuk dari Mas Adit disertai foto jalan tol.

[Belum tahu, Mas. Mbak Maya masih di luar.] Pesanku langsung centang biru, tapi tidak ada balasan lagi.

[Aku pingin ngobrol sama Adam, bisa nggak sih, Mas? Beberapa kali nelpon, kok, nggak diangkat. Nge-chat juga nggak pernah dibalas.] Kali ini pesanku hanya centang satu. Aku menghela napas berat. Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa rangkaian peristiwa membuatku curiga.

Astaghfirullahal'adhim .... Aku mengusap wajahku dan lekas bangkit dari pembaringan. Aku menenangkan hati dengan melihat-lihat pemandangan di depan kamar hotel. Mataku mengarah pada pegunungan yang menjulang tinggi.

Terbiasa dengan rumah yang terletak di daerah dekat pantai, membuatku merasa nyaman dengan pemandangan yang berbeda. Pikiranku berkelana ke masa kecil. Dulu, keluargaku juga tinggal di daerah dekat pegunungan. Namun, setelah Ayah meninggalkan kami, Ibu memutuskan untuk kembali ke desa kelahirannya. Bertahan hidup dengan bermodalkan sebuah rumah sederhana dan sepetak tanah warisan orang tuanya.

Sebuah keributan kecil di pelataran parkir menarik perhatianku. Aku melangkah cepat kebuat lamunanku buyar. Entah apa yang terjadi, tetapi terdengar adu mulut antara seorang wanita muda yang tengah hamil dengan seorang wanita paruh baya. Namun, dua wanita itu pun kembali masuk ke dalam mobilnya masing-masing setelah beberapa orang melerainya. Tak lama dari itu, mobil putih yang mirip dengan yang dibeli Mas Adit itu meninggalkan palataran parkir hotel.

Pandanganku terkumci kala aku melihat Mbak Maya. Lagi-lagi bersama dengan lelaki itu. Lelaki paruh baya, tetapi tetap terlihat tampan dan gagah di usianya yang tidak lagi muda. Mbak Maya bergelayut manja di lengannya. Mereka berjalan bersama saling tertawa bahagia. Bahkan sesekali lelaki itu mencubit hidung kakakku yang cantik itu.

"Ante Lahma lagi apa?" Aku lekas menoleh ke asal suara. Bocah kecil dengan baju berwarna pink dengan motif Hello Kitty itu mendongak menatapku.

"Eh, ....... Sini!"

"Ibu sudah sarapan, Rahma?" Mas Dani menyapa dengan sebuah tanya.

"Sudah, Mas. Tadi sepulang jalan-jalan pagi  langsung ke tempat prasmanan." Mas Dani, Mbak Lusi, dan kedua bocah ciliknya pergi ke tempat sarapan mengikuti arahanku.

"Oh, iya. Tadi Maya bilang kalo kita akan pulang jam dua belas siang. Siap-siap, ya." Mas Dani menghentikan langkah dan memutar badan menghadapku.

"Iya, Mas."

Setengah berlari aku menuju tempat kulihat Mbak Maya dan lelaki itu. Namun, tak kujumpai lagi keberadaan dua orang itu. Entah ke mana, sulit bagiku untuk mengetahui. Hotel ini begitu luas dan banyak orang di dalamnya.

Aku masuk ke kamar kembali. Membereskan segala sesuatunya, agar ketika Mbak Maya datang, semua tinggal angkat.

***

"Maaf, ya, Bu. Nggak jadi ke kebun kurma. Waktunya nggak cukup. Aku harus segara kembali ke Jakarta. Pekerjaan di sini sudah selesai."

"Owalah, Nduk. Sudah diajak jalan-jalan kemarin sama nginep di hotel wae sudah terima kasih banget. Semoga pekerjaanmu tambah lancar, ya, Nduk Maya."

"Aamiin," sahutku. Mbak Maya hanya tersenyum sembari terus fokus mengemudi.

"Sebenarnya kamu itu bekerja apa to, Nduk? Kok kayak e pekerjaanmu itu nggak kenal waktu. Pagi, siang, sore, bahkan malam juga. Istirahat cuma beberapa jam, eh sudah ngilang lagi." Mbak Maya terkekeh mendengar pertanyaan Ibu.

"Doakan saja lancar semua, Bu."

"A--"

"Ya, nggak bisa gitu, Mbak. Ibu kan ingin tahu Mbak Maya itu kerja di mana dan apa pekerjaannya. Kalo masalah mendoakan kelancaran kerja Mbak itu masalah gampang. Tapi, kerja apa dulu? Ya, apa iya, kalo kerjanya nggak bener kita doakan lancar juga?"

"Hush! Kamu ngomong apa to, Rahma. Sudah, sudah." Aku memutar bola mata, merasa malas mendengar pembelaan Ibu atas Mbak Maya.

Tanpa kusadari kakak keduaku itu menatapku tajam melalui spion dalam. Seolah ingin mengatakan, "Udah deh, kamu nggak usah reseh. Itu masalah pribadiku, kamu nggak perlu ikutan."

Siatuasi yang membosankan membuatku malas membuka percakapan lagi. Aku lebih suka berdiam diri, meskipun sesekali Ibu, Dinia, dan Mbak Maya mengobrol sepanjang jalan.

Aku memainkan ponsel untuk mengusir rasa jenuhku. Membuka aplikasi biru dan hijau. Sejak tiba di tanah air, aku mengaktifkan kembali akun biru lamaku. Akun yang berisi banyak pertemanan di dunia nyataku.

Aku membaca status yang lewat di berandaku, satu per satu. Tetiba mataku tertuju pada akun bernama Marni Owner Sea Olshop. Aku memeriksa setiap postingannya. Beberapa kali terdapat foto seorang wanita yang hanya memperlihatkan sebagian wajahnya.

Apakah itu Marni temanku?







Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aku Benci Kamu, Mbak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang