Pianissimo

12 2 0
                                    

Nama ku Bulan, dan kamu adalah Bintang. Bersama, kita telah menjalani hubungan suka sama suka.

1 tahun telah berlalu semenjak pertama kalinya aku menyatakan perasaan ku kepada mu. Masih ku ingat dengan jelas wajah mu yang tak karuan mendengar pengakuan ku saat itu.

"Hmm, ok ok aja sih gw mah," jawab mu bingung, tidak tau harus menjawab apa.

Kini kau meninggalkan ku. Membiarkan ku sendirian, berada di posisi yang mendoakan. Masih ku ingat kata terakhir yang keluar dari mulut kecil mu.

"Gw mau pisang."

Aku hanya tersenyum mendengar kata bodoh itu.

Nama ku Bulan, dan kamu adalah Bintang. Pertama kalinya kita bertemu di sekolah menengah atas Wira Permata. Itu terjadi 2 tahun lalu ketika kita berpapasan di ruang guru.

Saat itu kamu baru saja membuat masalah dan dipanggil oleh Pak Hendra-guru bahasa yang terkenal killer. Kamu dengan santainya mengenakan Hoodie hitam di tengah lautan guru, padahal kamu tau kalau itu dilarang. Guru-guru itu pun tak sungkan untuk melempar tatapan kebencian kepada mu. Tapi kamu tetap tidak menggubris nya.

Aku baru saja menyelesaikan kepentingan ku di ruang guru dan segera pamit. Tapi ketika sedang berjalan keluar, kamu menahan ku.

"Kalau aku ditemenin dia, gak papa kan?" tanya mu pada Pak Hendra. Saat itu kau memegang tangan ku kuat. Sangat kuat. Aku merintih.

Tapi genggaman itu tak bertahan lama. Sekali lagi aku tersadar kalau kamu sudah tak akan pernah lagi bisa menggenggam tangan ku. Aku pun tidak akan pernah bisa lagi membalas genggaman tangan mu.

Kita berdua di tahan di ruang musik. Pak Hendra meminta ku untuk tidak membiarkan mu kabur.

"Andai aku bisa melakukannya, kamu masih berada di hadapan ku saat ini."

Sementara aku memperhatikan gerak-gerik mu, kamu hanya terdiam, memandangiku balik. Kamu tidak pernah berhenti menatap ku dengan muka heran. Netra mu terus saja terarah pada ku seolah baru saja melihat mahluk luar angkasa.

"Gw Bintang. Nama lu siapa?" tutur mu memulai obrolan.

Aku diam. Saat itu aku percaya kalau bertemu dengan mu adalah sebuah kesialan. Andai saja kau tidak menarik lengan ku, aku mungkin sudah bisa bersantai di rumah bersama kasur ku yang empuk.

"Lu dari kelas mana? Kok bisa lu nyasar ke ruang guru? Lu enggak disetrap kayak gw kan?" Kamu tak erak untuk berbicara. Seolah-olah kamu adalah pabrik kata yang terus menerus memproduksi kalimat setiap harinya.

Aku menyandarkan tangan ku pada sebuah piano tua, membuat mu berhenti berbicara. Nampaknya kamu tertarik dengan alat musik disebelah ku.

"Boleh gw mainin gak?" tanya mu meminta izin.

Aku mengalihkan pandangan ke grand piano berwarna hitam keabuan-karena ditutupi debu-tempat aku menyandarkan tangan. Sebuah ide timbul dari kepala ku yang biasanya kosong.

Aku tersenyum. "Lu boleh mainin piano ini. Tapi selesain dulu tugas lu."

Aku tau itu adalah perkataan yang kekanakan dan naif. Aku yakin kamu berpikir, "ngapain juga gw harus ngerjain soal demi main piano itu."

Tetapi aku salah. Kamu segera duduk di sebuah kursi kayu di ujung ruangan. Pulpen di tanganmu menari-nari di atas panggung bernama buku tulis. Suara goresannya terdengar jelas di ruangan yang sunyi. Dengan tangkas kamu mengganti satu buku tulis dengan buku tulis lainnya. Mengerjakan banyak tugas yang berbeda dalam satu waktu.

"Gw udah selesai, nih. Coba cek," kata mu seraya menyodorkan sebuah buku kepada ku.

Aku meraih buku itu. Tangan ku masih bergetar, tidak percaya. Kamu menulisnya dengan sempurna. Semua pertanyaan sudah dijawab dengan tepat. Aku bisa mengetahuinya karena tugas ini lah yang membuat ku berada di ruang guru tadi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 01, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DawaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang