Prolog

22 1 0
                                    


Surabaya, January 2016

 Di kehidupan pertamanya dia yakin bahwa dia adalah sebuah tumbuhan beracun yang melukai banyak orang dan yang membunuh banyak kehidupan. Termasuk beberapa binatang yang kelaparan dan terpaksa memakan dirinya. Lalu dia kemudian hidup kembali sebagai seekor kelinci di hutan. Kelinci putih kecil yang membuat susah para pemburu karena tak pernah mengalah meskipun seorang manusia kelaparan memerlukan dagingnya. Namun kemudian, meski enggan berkorban untuk manusia kelaparan, pada akhirnya hewan buas lain menerkamnya.

Lalu dia kemudian hidup lagi, ketiga kalinya dan menjadi seekor elang pemangsa. Dia membunuh banyak tikus yang meresahkan pertanian manusia. Namun tidak jarang dia juga mengambil sebagian hewan ternak sehingga membuat manusia murka. Dia masih hidup dengan sifat yang sama. Hingga pada kehidupan terakhirnya atau lebih tepatnya kesempatan terakhirnya, dia menjadi manusia. Manusia yang lahir membawa sifat baru namun juga mempertahankan sifat lama yang tidak memiliki belas kasihan dan enggan berkorban. Tapi benarkah?

"Jadi inikah yang kamu inginkan?" Jonathan menatap lembaran dokumen yang Eleanor sodorkan di atas meja. Lalu beralih mencari tatapan mata Eleanor. Kali ini entah kenapa Eleanor justru memilih menundukkan pandangan matanya. "Wedding Agreement?"

Jonathan memejamkan mata sejenak. Melepaskan diri dari kontak mata yang tak bersambut. Wanita di hadapannya terlihat sangat kaku, tidak tersentuh dan penuh arogansi, terlebih dengan pakaian kerja yang masih dikenakannya. Namun begitu Jonathan mengamati kembali wajah itu, sosok mungil dengan sorotan mata polos yang justru menyambutnya. Seakan dalam diri wanita itu terdapat dua jiwa yang saling bertolak-belakang. Manipulatif, begitulah kesannya.

"Bukan..." jawab Eleanor singkat, tanpa emosi. "Ini hanya perjanjian Pra-nikah."

Suaranya yang tenang, seperti tidak memiliki kekhawatiran apapun. Padahal dia sedang mengingkari dirinya sendiri. Eleanor duduk disana dengan mencengkram buku-buku jarinya. Dia pun sengaja menghindari tatapan mata Jonathan agar pembicaraan itu cepat selesai.

"Mengapa harus ada perjanjian pra-nikah? Apakah kamu sudah memikirkan kalau kita berdua tidak akan cocok untuk hidup bersama?" sama-sama dirambati emosi, Jonathan pun tidak bisa menahan diri untuk tidak mengucapkannya. Perjanjian seperti itu memang lumrah, terutama untuk mereka yang takut akan kehilangan harta gono-gini.

Tanpa Jonathan sadari, tangan Eleanor yang berada di atas pangkuannya kembali mencengkram kuat. Namun kali ini Eleanor mengangkat kepalanya hingga sorotan matanya tidak beralih sedetikpun dari wajah Jonathan.

"Mungkin..." sahut Eleanor ambigu.

Jonathan menghembuskan nafas berat. Memperbaiki posisi duduknya seperti posisi negosiasi yang sesungguhnya. Jika mengingat apa yang telah terjadi setahun terakhir, rasanya dia tidak percaya akan duduk di sofa itu berhadapan dengan wanita itu untuk membicarakan pernikahan. "Apakah menurutmu pernikahan ini hanya sebuah permainan?" tanyanya.

Untuk pertama kalinya pupil mata Eleanor tampak melebar. Pertanyaan yang diajukan padanya terasa mengantam jantungnya. Dilihatnya sekali lagi pria itu masih menatapnya dengan sorotan mata yang sama. Seolah dia sudah menemukan jalan untuk keluar dari jeratan itu.

"Jika seperti itu seharusnya aku tidak perlu menyetujui pernikahan ini sejak awal." Tanpa menunggu jawaban Eleanor, Jonathan mengambil kesimpulan sendiri. "Aku akan melakukan apapun untuk membalas budi, tapi tidak dengan bermain-main dengan pernikahan. Jika kamu ingin aku menyerahkan perusahaanku sebagai bentuk balas budiku, aku akan berusaha melepasnya dengan syarat tertentu."

Jonathan kembali sudah memutuskan untuk menghadapi Eleanor dan itu berarti dia sedang mempertaruhkan segalanya. "Aku memiliki banyak harapan dalam hidupku. Jadi tidak masalah kalau harus mengorbankan perusahan untuk mewujudkan harapan itu, karena aku bisa memulainya kembali dari awal. Dan apa kamu tahu harapan terbesarku? Aku hanya ingin mempunyai sebuah keluarga bahagia seperti kedua orang tuaku. Jadi aku tidak ingin main-main dengan pernikahan."

Karena tidak kunjung mendengar tanggapan Eleanor, Jonathan merasa ingin segera mengakhiri pembicaraan menyiksa itu. Karena itu tanpa menunggu waktu, dia segera beranjak dari tempat duduknya. Ada banyak alasan mengapa Jonathan harus mengatakan semua itu. Salah satu alasannya adalah karena dia tidak ingin menyesal untuk kesekiankalinya. Dan alasan terakhir adalah karena Allena, dia masih memikirkan wanita itu.

Namun baru selangkah, Eleanor justru menahannya, "Tunggu! Perjanjian ini juga untuk membebaskanmu..." ujarnya. Tahu bahwa Jonathan hendak melepaskan diri, Eleanor pun segera bertindak cepat. Jonathan tidak tahu bahwa Eleanor mengetahui segala hal lebih dari apa yang diketahuinya. Termasuk hal yang terjadi di apartmen Jonathan.

Jonathan berbalik. Menatap wajah Eleanor dari posisi berdiri. Kelopak matanya memanas setelah dia mengucapkan kata-kata tentang harapannya. Namun di depan Eleanor, dia mencoba menahan. Sebaliknya dari posisinya sekarang Jonathan bisa melihat kedua tangan Eleanor tang tersembunyi di balik meja itu. Buku-buku jari Eleanor tampak memutih, kontras dengan ekspresi yang tenang dan mengintimidasi yang coba ditampilkannya.

"Aku sudah tahu semua yang terjadi diantara kalian dan kamu masih mencintai wanita itu, kekasih yang kamu pertahankan selama lebih dari sepuluh tahun." Ujar Eleanor penuh penekanan, terutama pada kalimat terakhir. "Karena itu aku akan membebaskanmu untuk kembali padanya."

Diam. Jonathan membeku di tempatnya karena perkataan Eleanor. Dia butuh beberapa saat untuk mencerna kata-kata itu. Kata-kata yang sebenarnya terasa menghinanya.  "Bagaimana kamu tahu aku akan kembali padanya atau tidak?" tanya Jonathan tanpa emosi.

"Apakah aku salah?" tantang Eleanor dengan menampilkan kontak mata yang lebih tajam.

"Tidak... kamu mungkin tidak salah." Balas Jonathan ambigu.

Stiletto Si Wanita Penyihir (Short Ver)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang