4. Tetangga Baru

13 4 2
                                    


"Waalaikummusalam, Pak. Saya udah di depan rumah nih, Pak. Oke siap, Pak." Sambungan telepon diputus. Pria itu meletakkan kembali handphone-nya ke dalam saku celana.

Selang beberapa menit, sebuah motor hitam berhenti dan memarkirkan motornya di depan pagar rumah. Seorang bapak berkumis datang dan menghampiri pria muda.

"Pak Endang ya?"

"Iya, ini siapa namanya Rian, eh Riza?" ucap Bapak itu.

"Riaz, Pak," jawab pria berhoodie. Ia mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

"Oho, maaf, maaf, sering lupa saya kalau nama orang tuh, hehe. Maaf lagi ini yah, jadi kamu duluan yang sampai," ucapnya sambil nyengir.

"Gak apa-apa, Pak, santei. Saya sekalian nyobain jogging di daerah sini dari pagi."

"Oiya atuh, hayulah kita lihat ke dalam," kata bapak berkumis. Ia merogoh saku kemejanya, mengambil sebuah kunci rumah.

Riaz dan Pak Endang melangkah bersama memasuki rumah itu. Rumah yang tampak kecil dari luar ini bila dilihat langsung ke dalamnya justru cukup-cukup saja bagi Riaz. Sebab, tak akan ada banyak barang yang ia bawa nanti.

"Nah, gini dalamnya. Di sini walaupun kecil yah per ruangannya tapi gak engap. Cukuplah untuk tinggal sendiri mah. Eh ini tinggal di sini sendiri apa sama keluarga?" tanya Pak Endang.

"Saya sendiri, Pak. Paling ya orang tua sesekalilah berkunjung," jawab Riaz sambil mengulum senyum.

Benar ucap Pak Endang, meski rumahnya kecil, ruangannya tidak luas-luas amat, tetapi tampaknya cukup nyaman. Di dalam rumah ini, terdapat dua kamar tidur, satu kamar mandi, serta ada ruang tamu juga dapur. Hawa dan udara dingin di daerah ini membantu membuat adem suasana rumah.

"Pak, saya mau lihat halaman belakangnya, Pak."

Mereka berdua berjalan menghampiri pintu kayu yang mengarah ke halaman belakang. Melewati area dapur yang masih kosong. Pak Endang lalu membuka slot pintu.

"Nah, ini halaman belakangnya, gak seluas halaman depan, tapi cukuplah untuk jemur-jemur mah. Kan kalo laki-laki jarang yah ganti baju, cukup satu baju aja selama seminggu," ucap Pak Endang diiringi tawa khas bapak-bapak.

Riaz yang berdiri di sebelahnya menahan tawa, menjaga image. "Saya...gak sampe segitunya juga sih, Pak," katanya sambil nyengir.

Halaman belakang rumah ini adalah lahan kosong memanjang. Di sudutnya ada tanaman jambu biji merah yang sedang berbuah. Meskipun buahnya kecil-kecil, tetapi rasanya manis menyegarkan. Itu adalah pohon jambu yang ditanam oleh Pak Endang sewaktu masih tinggal di sana.

"Hm, bisalah ini, saya rencana mau buat semacam kebun mini gitulah Pak di belakang ini," ujar Riaz.

"Kenapa gak di depan aja, lebih leluasa?"

"Di depan juga maunya juga saya tanami macam-macam, Pak," jawabnya penuh semangat.

"Oo iya iya, dulu istri saya juga kalau berkebun yah barengan sama tetangga sebelah," terang Pak Endang. Ia menunjuk tembok pembatas dengan tetangga sebelah rumah.

Ternyata, di antara dinding batu bata itu ada pintu penghubung antara rumahnya dan rumah sebelah.

Pintu kayu berwarna cokelat yang sudah memudar itu berada di tengah, sedikit tertutupi oleh rimbunnya tanaman menjalar. Jika dibuka, itu akan menjadi jalan menuju halaman belakang tetangga Riaz, yang tidak lain adalah Azura, si gadis berambut sebahu.

Riaz tampak terkejut, baru kali ini ia tahu ada pintu penghubung seperti di depannya.

"Memangnya boleh, Pak, masuk ke sana? Kan rumah orang," tanya Riaz

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Memangnya boleh, Pak, masuk ke sana? Kan rumah orang," tanya Riaz.

"Dulu boleh, sekarang ga tahu juga ya. Saya udah lama pindah dari sini, pintunya juga udah ga pernah dibuka lagi. Kalau berani mah izin aja ke si Eneng," jawab Pak Endang sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Riaz mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sedang berpikir. Apa gadis yang tadi pagi dilihatnya itu adalah tetangganya? Mengapa ia terlihat menyedihkan? Hampir saja Riaz menganggap rumah itu rumah kosong tanpa penghuni, karena tampilannya sangat mendukung.

Pak Endang lalu membuyarkan pikiran Riaz. "Jadi kapan mau pindahannya?"

"Eh," ucap Riaz kaget.
"Rencananya besok, Pak. Biar bisa langsung saya tempati rumahnya."

"Siap, ini kunci rumahnya sekarang sama kamu ya, semoga betah di sini," ujar Pak Endang seraya pamit pulang meninggalkan Riaz seorang diri. Ia masih berkeliling melihat isi rumah, memikirkan tata letak barang.

***

Azura masih meringkuk berselimutkan mukena. Selepas menunaikan salat isya, ia memang langsung menghamburkan diri ke ranjang kecilnya.

Jam dinding baru menunjukkan pukul 20.00 WIB, tetapi lampu kamar Azura telah padam. Hanya ada lampu tidur berbentuk bulan yang menerangi kamarnya.

Gadis itu akhirnya terlelap. Lagi-lagi ia melewatkan makan malamnya. Tadi sore, ia lebih memilih meminum segelas susu sebagai pengganjal perut meski sebenarnya ia lapar juga. Dalam tidurnya, Azura masih sering memimpikan sang Ibu. Tanpa terasa air mengalir dari pelupuk matanya, terkadang hal itu membuatnya terbangun dan sulit untuk melanjutkan kembali tidurnya.


Teman BertamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang