1.

161 8 0
                                    

Hawa dingin membuatku mengeluarkan gumpalan putih setiap kali aku bernapas, membuat tubuhku semakin malas untuk beranjak dari sofa. Memang bukan sofa mahal yang sangat empuk, namun untukku sofa ini sudah lebih dari nyaman.

Ah, saljunya mulai tersapu oleh angin. Apa akan ada badai? Padahal sudah lama aku tidak mengunjungi Ibu, dan kini hampir terjebak badai. Apa seharusnya kami membeli rumah yang lebih baik? Walau rumah ini tidak buruk.

Penghangat ruangan? Kami tidak membelinya. Karena aku maupun Ibu jarang berada di rumah. Biasanya, aku tinggal di apartemen dekat universitas dan Ibu lebih sering menginap di mansion tempatnya bekerja. Hari ini aku sedang libur, aku pun ada di sini sekarang.

Bekerja sebagai model dan mengimbangi dengan kesibukan universitas. Beruntungnya, kini tengah libur musim dingin. Aku bisa sedikit beristirahat.

Melihat salju, mengingatkanku padanya. Anak laki-laki, putra tunggal dari mansion tempat Ibu bekerja. Ulang tahunnya jatuh pada bulan ini -Desember. Ia lebih muda tiga tahun dariku. Dengan rambut merah dan warna mata senada dengan surainya.

Kenapa jadi membahasnya?

"Mau tambah tehnya, Yuu?"

Aku mengangguk, sambil menyodorkan mug yang kupegang pada Ibu yang keluar dari dapur. Ia mengambil cuti selama dua hari, karena aku sedang di rumah -katanya begitu.

"Apa tak masalah, kalau Ibu mengambil cuti?" tanyaku, mengingat libur musim dingin, pasti beberapa pelayan akan mengambil cuti di saat yang sama.

"Tak masalah. Tuan Muda yang mengusulkan, tidak mungkin Ibu menolak 'kan?" jawabnya sambil menyesap teh. "Apa kamu masih ingat dengan Tuan Muda? Kalian sering bermain bersama dulu," tambahnya dengan senyum lembut.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, meminum perlahan teh yang baru ditambahkan oleh Ibu.

"Tuan Muda tumbuh menjadi sangat tampan 'loh. Ibu rasa, ia akan segera menjadi kepala keluarga dalam waktu dekat."

"Bukankah terlalu cepat? Apa Tuan Besar sakit?" tanyaku penasaran. Seharusnya usia Tuan Muda tahun ini dua puluh tahun. Bukankah terlalu cepat?

"Sejak awal, Tuan Besar sudah berencana menyerahkan semuanya pada Tuan Muda. Mungkin, beliau merasa ini sudah waktunya?"

Tidak aneh memang. Sejauh yang kuingat, Tuan Muda dibesarkan dengan ketat oleh Tuan Besar. Tepat setelah Nyonya Besar meninggal.

Ah, itu juga yang membuat Tuan Muda menjadi lebih pendiam -Ibu menceritakannya padaku, karena aku sudah tidak pernah menemui Tuan Muda lagi.

"Bagaimana kalau kamu bekerja sambilan dengan Ibu?"

Hah?

"Tuan Muda pasti tak keberatan. Sampai liburanmu berakhir saja."

Er, aku merasa tak nyaman dengan ini. Aku menggeleng pelan, menolak tawaran Ibu. Walau aku yakin kalau upahnya pasti besar, tapi aku tak bisa.

Aku tak mau bertemu dengan si Tuan Muda lagi.

"Kenapa? Hanya beberapa hari. Ada pelayan yang mengambil cuti selama liburan, Tuan Muda pasti tak keberatan jika kamu bersedia mengisi kekosongan pelayan yang cuti."

Uh, apa kuterima saja? Belum tentu Tuan Muda mengenaliku juga 'kan?
.
.
.
Seperti dugaanku, hanya kecanggungan yang ada di antara kami. Ia yang duduk di balik meja, dengan raut wajah serius mengerjakan dokumen di hadapannya. Ia berubah banyak dari ingatan terakhirku tentangnya. Terlebih, auranya terasa lebih menekan jika dibandingkan dengan saat ia masih Sekolah Dasar -saat terakhir aku menemuinya.

Ibu bilang, aku hanya perlu menjadi asistennya hari ini. Ia memiliki jadwal yang cukup padat, aku pun diminta untuk mengatur semua jadwalnya selama satu hari ini. Dan aku sudah menyelesaikan itu semua setengah jam lalu. Kini, aku hanya berdiri di hadapannya dari sisi ruangan, menatap jendela besar di balik punggungnya yang menampilkan awan kelabu.

Look At Me (Akashi Seijuurou Fanfiction) [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang