Tidak apa-apa sekarang belum ada peningkatan.
Bukan tentang terbentuknya tapi tentang proses suka, duka juga pahit manisnya perjalanan yang di lalui dalam pembentukannya.~Pengagumhujan_rya
Mata hitam bersih dari gadis ciptaan Allah memandang ke arah dua insan yang sedang berbincang-bincang, tampak seorang di antaranya memberi sebuah bingkisan pada wanita lain yang tak asing wajahnya bagi Camila.
"Camila!" Suara melengking dari perempuan bertubuh mungil di belakangnya berhasil membuat sistem sarafnya bertabrakan seketika.
"Ya Allah, bisa gak kalau manggil itu gak usah pake tenaga dalam." Camila mengosok-gosokkan telinganya.
Gadis bersuara langit itu adalah Jihan pertiwi sahabat Camila sekaligus sepupunya, mereka mulai menjadi sahabat sejak berusia lima belas tahun, bisa di bilang usia yang matang untuk saling mengerti arti sahabat. Sudah jadi kebiasaan Jihan memanggil Camila dengan volume di atas rata-rata sebab Camila tipe gadis yang cuek dan tak terlalu bergairah mengapresiasikan persahabatan mereka seperti kebanyakan orang yang ketika bertemu bestie-nya akan melakukan hal konyol yang menurut mereka mengasikkan.
"Jutek lagi," Jihan menyenggol bahu Camila yang sedang membaca buku di balkon kelas mereka. "Eh, Mil tau gak Aurel-,"
Belum sempat Jihan menyelesaikan kalimatnya, Camila dengan enteng menjawab "Enggak." Lalu masuk ke dalam kelas karena bel sudah berbunyi.
"Ih ni anak, awas loh ya." Jihan yang geram dengan perilaku Camila menyusul masuk.
Ruangan kelas dua belas IPA dua, ruangan yang cukup damai dan termasuk kelas terbaik dua setelah kelas dua belas IPA satu, namun tak seperti yang di harapkan. Belajar sambil bermain, PR bukanlah beban rumah, sistem satu untuk semua adalah semboyan, pacaran sudah biasa, tidak ada guru tak masalah, ujian bukanlah hal yang menyeramkan, remedial tidak takut dan solidaritas tanpa batas adalah jargonnya.
Kelas yang cukup berantakan untuk di banggakan, tapi guru tak pernah kecewa masuk ke ruangan berkharisma itu, Camila dan teman-teman sekelasnya tidak sepintar anak dua belas IPA satu namun tak pula sebodoh kelas akhir. Meski mereka selalu punya cerita berbeda dari kelas lain tapi mereka tak pernah membantah guru, mengecewakan guru atau mendapat nilai buruk.
"Suit, suit, suit," panggil Ghibran pada Jihan yang duduk di depan dengan Camila. Ghibran mengatakan sesuatu pada Jihan tanpa suara demi menjaga konsentrasi yang lain mengerjakan soal ujian tengah semester atau MID.
Mereka berbicara seperti Tunawicara dengan bahasa isyarat, Jihan berkali-kali menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya, ia tak paham apa yang di ucapkan Ghibran.
"Ghibran Adipati!" Jika sudah selesai dengan urusan duniamu maka laporkan pada saya, segera!" Bu Wardah membentak Ghibran yang sibuk membuat Jihan paham.
"Eh, iya. Ini sudah selesai, Buk." Ghibran mengumpulkan lembar jawabannya pada Bu Wardah. Tak heran jika Ghibran cepat menyelesaikan ujian hidupnya saat ini, karena ujian pagi ini adalah ujian mata pelajaran agama. Ghibran yang pernah mondok tiga tahun merasa soal-soal itu hanyalah kacang dua kelinci.
"Bagus, yang lain mana? Tinggal lima menit lagi."
Ucapan itu adalah ucapan sakral yang selalu membuat otak dan jantung para pelajar maraton tak karuan. Kesibukan di mulai, suara suit bersuit menjadi melodi indah sebelum pelepasan lembar jawaban mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Mau Pacaran
SpiritualCamila yang sudah di pupuk untuk teguh dalam menjaga muruah dirinya sebagai anak perempuan sesuai syariat mengalami dilema masa muda. Masalah keluarga yang menyertai proses pendewasaan juga menguncang hatinya untuk mencari tempat pulang ke dua setel...