Bukan Pertemuan

1 1 0
                                    

Jangan pernah memaksa siapapun memeluk hatimu.

Sebab cinta sama juga dengan agama.

Tak ada pakasaan di dalamnya.

~Jailuddin Rumi~

“Assalamualaikum.”
 
Camila pulang dan masuk ke rumah sederhana dari keluarga Bapak Amir dan Ibu Ismi orang tua dari Camila yang selalu sibuk dengan urusan dunia namun tetap menjadikan akhirat prioritas utama.
 
“Walaikumsalam,”  jawab Nafisah, adik perempuan Camila yang berusia delapan tahun.
 
“Eh, Umik sama Ayah di mana?” tanya camila yang tak mendapati keberadaan orang tuanya di rumah.
 
Sambil memainkan bonekanya Nafisa menggelangkan kepala tanda tak tahu dan tak mau tahu, maklumlah anak seusianya hanya tahu bermain dan bermain. Camila tersenyum lebar dan masuk ke kamar. Dia tampak bahagia saat Ayah dan Uminya sedang tak di rumah. Peluang besar baginya untuk menghadiri acara Aurel bersama Jihan.
 
Assalamualaikum, Ji. Nanti kalau mau ke rumah Aurel barengan ya.
 
Camila mengirim pesan via whatshap pada Jihan. Centang satu abu-abu menunjukkan Jihan belum membuka dunia Mayanya.

 Camilapun menyimpan ponsel pintarnya di atas meja belajar  dan merebahkan badan rampingnya untuk mengisi sedikit tenaga yang terkuras di rumah ilmu setengah harian.
 
Camila memang selau di larang orang tuanya untuk terlalu bebas berkeliaran, apa lagi mengetahui ia sedang ada pada perkumpulan yang tak penting. Bukan karena ke-dua orang tuanya balas dendam atas masa remaja mereka yang  terkekang juga. Tapi sebagai orang tua yang amat mencintai putrinya tentu tak menginginkan Camila salah pergaulan. Kata orang merawat seribu anak laki-laki lebih baik daripada merawat satu anak perempuan.
 
Bukan karena sulitnya merawat atau membesarkannya. Tapi sulitnya tanggung jawab menjaganya agar tetap terpelihara muruahnya.
 
“Dek!  Kak Camila sudah pulang?” tanya ibu yang baru saja pulang dari rumah Omah untuk mengantar bubur durian kesukaan Camila.
 
“Udah, Mik. Tadi masuk ke kamar,” jawab Nafisa masih asik dengan benda mati menyerupai beruang di tangannnya.
 
“Umi sama kak Camila mau ke butik, Nafisa kalau ikut ganti bajunya ya, sayang.” Umi menuju kamar Camila dan membuka pintunya.
 
Camila masih menggunakan seragam sekolah lengkap dengan hijab tertidur di kasur mininya. Ismi menatap putrinya yang sudah dewasa dengan penuh kehangatan, jiwa seorang ibu pasti  sangat tersentuh saat melihat buah hatinya tertidur kelelahan, meski anaknya itu sudah dewasa tapi seorang ibu akan tetap memangganggap anak yang lahir dari rahimnya seperti bayi yang polos dan butuh banyak curahan kasih sayang. Kasih sayang ibu memang tak terhingga.
 
“Mil, Camila bangun.”
 
Tiba-tiba Camila terperanjat dan siap siaga, ia kaget dengan suara yang ada di kamarnya. Camila memang tidak menyukai seseorang bebas masuk ke kamarnya, ia takut saat dia tak menggunakan hijab maka mahkotanya akan terlihat oleh orang yang tak pantas, meski ia berada di kandang teraman yaitu rumah.
 
“Ih. Umi. Ada apa Umi? Suara Umi ngagetin Mila.” Camila kesal dan duduk di pinggiran kasur sambil membuka kaus kakinya.
 
“Temenin Umi ke Toko ya.”
 
“Ha? Tapi Mil-,”
 
“Gak pakai tapi, cepat  Umi tunggu di luar.” Potong Umi dan segera ke luar kamar Camila.
 
“Ya Ilahi, Kirain bakal bisa ke rumah Aurel,” sesal Camila dalam batinnya.
 
Umi tak akan bisa di bantah jika sudang memotong perkataan, Camila harus mengalah sebab jika ia katakan akan ikut acara Aurel yang ada hanya penolakan. Penolakan adalah hal yang sangat menyakitkan yang sangat Camila tak inginkan. Sebelum tertolak lebih baik tak meminta.
 
‘Toko Ummul Khiyar’ Begitulah tulisan besar di depan ruko di pinggiran jalan kota Bandung. Toko sederhanya yang sudah berdiri saat Camila masih berusia lima tahun. Toko ini merupakan salah satu mata pencaharian keluarga mereka. Dulu Ismi mempunyai karyawan tapi kini ia sendiri yang mengelola, sebab anak-anaknya juga sudah besar hingga ia tak terlalu terkekang.
Ismi tipe ibu yang produktif, maklumlah ibu Camila ini bukan dari keluarga yang berkecukupan hingga semua hal sulit dan rasa capek tak pernah ia jadikan beban.

"Kenapa kesoren sih, Umik?” tanya Camila malas.
 
Sebenarnya toko  sudah buka pagi tadi hingga jam sepuluh, namun Ismi terpaksa tutup sejenak untuk memasak bubur pesanan Omah Camila yang sedang sakit.
 
Rumah Omah dan rumah mereka tak begitu jauh jadi mudah bagi mereka untuk melihat keadaan Omah. Omah juga punya asisten tapi ia rindu masakan putrinya.
 
“Umi kan tadi ke rumah Omah, Nak. Sekarang Omah udah mendingan, nanti malam kita ke rumah Omah ya,” tutur Ismi lembut.
 
“Alhamdulillah, oke Umi. Jadi sekarang Camila sama Nafisa ngapain?”
 
“Eumm coba kamu rapihin baju koko di sana, tadi barangnya baru masuk,” titah Umi. Camila segera mengerjakan tugas dari Umi di bantu Nafisa.
 
“Tante, Camilanya ada?” wajah Jihan tiba-tiba nongol di depan Umi, sontak Umi kaget dan melempar Jihan dengan kain di genggamannya.
 
“Astagfirullah, Jihan seharusnya kamu ucap salam bukan nyosor aja kayak bebek,” geram Ismi.
 
“Ya elah, tante gak mesti ngelempar Jihan juga, Camila ada kan, Tan? Kita mau party aniv Aurel, tante.” Jihan kecoplosan dan langsung menutup mulutnya.
 
“Apa! Gak ada. Camila gak bisa pergi.”
 
Jihan menepuk jidatnya, padahal tadi Camila sudah mengirim pesan pada Jihan untuk menjemputnya ke toko dan izin pada Umi untuk kerja kelompok. Jihan memang sulit di ajak kompromi, ia biasa jujur hingga kepolosan.

 
“Maksudnya party itu belajar kelompok tante.” Jihan memelas memohon izin dan mendapat jawaban geleng kepala dari Umi. Fatal sudah kelakuan Jihan, Umi tak akan memeberi izin. Akhirnya Camila tak bisa memenuhi undangan Aurel.
 
Jihan pergi sambil mencium tangan Ismi sembari melambaikan tangan pada Camila yang sudah memanyunkan bibir karena misi yang gagal.
 
Tak lama setelah kepergian Jihan, Ghibran datang dan langsung menyapa Ismi.
 
“Kamu lagi Ghibran, Camila gak bisa ikut, dia harus bantu Umi di sisni,” ucap Ismi.
 
“Eh Ghibran ke sisni mau nemenin sepupu tante, dia mau beli sarung, adakan, Tan?” tanya Ghibran sambil menepuk-nepuk pundak sepupunya.
 
“Ouh tante kira sama kayak Jihan. Tunggu ya.” Ismi melirik ke arah Camila dan Nafisa di pojokan. “Camila coba bawa beberapa sarung ke sini, Nak.”
 
Camila mengambil beberapa sarung dan menyuruh Nafisa yang mengantar, ia malas harus bertemu Ghibran, pasti Ghibran akan banyak bicara dan meledek ia yang tak bisa datang dan ia benci akan hal itu.
 
Brukk
 
Beberapa sarung yang di bawa Nafisa jatuh, Camila yang takut Umi marah segera membantu adiknya yang sudah mengomel-ngomel.
 
“Kan ini gara-gara kakak, ah berantakan kan jadinya.”
 
Mendengar kebisingan yang sedikit mengusik itu sepupu Ghibran menoleh ke asal suara dan tak sengaja menatap Camila dengan senyum manis.
 
Pandangan pertama.

...

🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️

Assalamualaikum
Hah
Gimana? Gak mau komen guys?
Pandangan pertama loh. Hehhe

Pantengin terus ya updatenya cerita Naul yang masih jauh dari kata layak dan manarik ini.

Jangan lupa baca Al-Qur'an
Sehat selalu.

Wassalamualaikum

Aku Mau PacaranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang