"Tidak ada yang benar-benar baik, dari rasa sakit"
.
.
.
.
.
.Pagi ini, Raina dan Ria sudah tiba di Sekolah. Tadi pagi-pagi sekali, Ria mengabari akan menjemput Raina untuk berangkat bersama. Katanya seperti ini "Ayolah, kapan lagi kita berangkat bareng. Tugas Lo cukup tunggu gue di depan rumah Lo, masuk mobil, duduk, selesai. Se-Simple itu. Lo nggak perlu bayar seperti naik bus, hemat ongkos juga bareng gue". Tidak ingin berlama-lama mempermasalahkan, Raina iyakan saja ajakan Ria. Jadilah, mereka berangkat bersama hari ini.
Jika Ria datang dengan semangat yang sangat membara seperti memenangkan sebuah undian, berbeda dengan Raina yang pagi ini terlihat lebih murung dari biasanya. Selama perjalanan pun Raina lebih banyak diam dan menatap keluar jendela dibandingkan berbincang dengan Ria.
Pikirannya melalang buana mengingat Ayahnya menghubungi drinya karena akan memasuki Ujian Tengah Semester Ganjil. Percakapan singkat antara Ia dan Ayahnya membuat dirinya begitu wanti-wanti dengan ujian kali ini.
Ria ingin bertanya apa yang mengganggu pikiran sahabatnya ini, tapi Ia lebih memilih mengurungkan niatnya. Ia pikir, ini bukanlah waktu yang pas untuk bertanya. Biar, sahabatnya saja yang memulai.
Melihat Nathan melewati mereka begitu saja tanpa menyapa, membuat Raina mengernyitkan dahinya heran, "Tumben Nathan nggak nyapa Lo, Rain" Bisik Ria. Biasanya Nathan akan menyapa mereka, meskipun tidak intens setiap hari, paling tidak menanyakan keadaan Raina. Tapi sepertinya hari ini pengecualian.
Baru saja Ria berucap demikian, kini Nathan sudah memutar balikan tubuhnya berjalan mendekat ke arah mereka. Menatap Raina sesaat, lalu membawanya pergi meninggalkan Ria yang sudah menyumpah serapahi Nathan, karena meninggalkan dirinya seorang diri.
Tiba di rooftop, Nathan melepaskan cengkraman tangannya dari lengan Raina, "Lo kenapa sekolah?" Tanyanya.
Raina menatap bingung Nathan, Ada apa dengan tetangganya ini? Tiba-tiba bertanya hal yang dia sendiri sudah tahu jawabannya. Bukankah semua orang tahu kalau datang ke Sekolah untuk belajar?
"Kak Tian hubungin gue, katanya Lo sempet mimisan. Lo hobi banget buat kita khawatir" Jelas Nathan, menjawab kebingungan Raina.
Ya, setelah insiden Raina mengalami epistaksis, Tian sempat menghubungi Nathan untuk menjaga Raina di Sekolah. Tian khawatir jika adik dari sahabatnya ini kenapa-kenapa. Apalagi, pada saat itu Raina menolak ajakannya untuk pergi ke Rumah Sakit. Awalnya Nathan menolak permintaan Tian, karena dirinya sedang perang dingin dengan Raina beberapa waktu lalu. Mendengar penuturan Tian tentang Raina yang jauh dari kata baik-baik saja, membuat Nathan mengesampingkan egonya kali ini.
"Kenapa?" Alih-alih menjawab, Raina kembali melontarkan pertanyaan yang sama seperti Nathan.
"Kenapa kamu mau tahu aku sekolah atau nggak? Kamu peduli sama aku?" Tambahnya.
"Gue nggak peduli. Gue udah bilang, Kak Tian minta gue jagain Lo" Bohong Nathan. Salah jika Ia berkata tidak peduli, Ia sangat peduli. Hanya saja, perkataan Raina barusan membuatnya jengkel. Tidak bisakah Raina paham bahwa banyak sekali yang peduli kepadanya?.
"Sekarang aku baik-baik saja. Kamu nggak perlu jagain aku seperti yang Kak Tian minta" Balas Raina enteng.
"Bisa nggak, sekali aja hargain orang yang peduli sama Lo. Jangan keras kepala"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Kebebasan
Teen FictionPernah tidak terpikir untuk memiliki ruang kebebasan? Hidup dengan alur yang ditentukan oleh diri sendiri tanpa campur tangan pihak apapun, termasuk orang tuamu sendiri. Namun, ruang kebebasan tidak berlaku untuk perempuan istimewa seperti Bintang...