Dan di sinilah Taka berada sekarang. Gerobak sayur Bu Opi yang dipenuhi oleh ibu-ibu yang sedang memilah-milah bahan masakan vegetarian tersebut. Letaknya lumayan dekat dengan penjual galon. Tetapi Taka berpikir untuk membeli lengkuas dahulu kemudian mengambil galon yang sedang diisi airnya.
Sebenarnya Taka terpaksa. Dia sudah menghubungi Mika tadi, tetapi adik perempuannya itu masih agak lama, dan meminta Taka saja yang membeli pesanan sang mama. Pasalnya mama mereka sudah mau memasak dan kalau menunggu Mika pasti akan memakan waktu lama. Gadis itu masih setia menunggu pesanan bakwannya selesai digoreng.
Taka menyuruh Mika untuk pergi ke gerobak sayur Bu Opi sembari menunggu bakwan, tetapi dia tidak mau. Katanya setelah ini dia langsung pulang saja, mau buang air.
"Halah, alasan mati."
"Ya udah, kalau abang nggak percaya."
Taka menatap datar ke jualan sayur bu Opi. Pelanggan ibu-ibu lumayan banyak, tetapi tidak sebanyak saat pagi hari. Hari ini menyebalkan sekali rasanya. Taka hanya ingin cepat pulang ke rumah.
"Bu Opi, lengkuas tuh yang mana, ya?" tanpa banyak basa-basi Taka langsung saja bertanya. Dia memang tidak terlalu akrab dengan semua bumbu dapur.
"Eh Taka, mau beli lengkuas ya. Bentar ya," Karena bu Opi sedang melayani pelanggan yang lain, dia meminta untuk bersabar.
Tiba-tiba keponakan bu Opi mendekati Taka. "Hayoloh enggak bisa bedain lengkuas sama jahe ya, Bang? Makanya sering-sering beli sayur di sini, biar terbiasa sama jenis-jenis bahan masakan. Malu dong masa mantan ketua OSIS yang berprestasi malah nggak tahu soal beginian? Cemen!" Dia memberi jempol ke bawah untuk Taka.
Karena bu Opi sedang sibuk sebentar, jadi beliau tidak memperhatikan saat keponakannya ini sedang meledek Taka. Namanya Nining. Gadis SMP itu memang suka usil, apalagi sama abang-abang remaja dengan karakter seperti Taka yang tidak sabaran.
"Ngapain? Nanti kalau udah nikah juga ada istri yang suka beli di sini." Sebenarnya Taka hanya asal bicara saja, dia tidak sejahat itu sebagai seorang suami kelak. Dia hanya berusaha untuk tidak terpancing emosi jika diledek dengan si adek ini. Apalagi dia dalam keadaan puasa, tentunya harus pintar mengontrol emosi.
"Ih jahat banget istrinya terus nanti yang disuruh. Terus Bang Takanya ngapain?"
"Yang bayarin lah." Mencoba menghindar, Taka langsung memanggil bu Opi. "Bu, udah ada lengkuasnya, belum?"
"Yang seikat lima ribu—oh iya tunggu, ada di ujung kanan tuh—oh! Ji, minta tolong kasiin lengkuas dong, tangan Ibu enggak nyampe." Bu Opi memanggil ke arah ujung kanan. Di situ ada keranjang lengkuas dan jahe, Taka melihatnya tetapi tidak bisa membedakannya.
Eh, itu Jihan?
Gadis berhijab bergo yang sedang memasukkan beberapa lengkuas ke dalam kantong plastik sangat terlihat seperti Jihan. Sedang apa gadis itu di sini? Jualan sayur juga, kah? Atau hanya membantu bu Opi dan keponakannya menjual?
"Kak Jihan nurut banget sekali disuruh," gumam keponakan bu Opi yang ikut menatap arah pandangan Taka.
Taka kembali menoleh. Matanya menyipit agak sinis. "Kok malah pelanggan lain yang layanin? Kamu ngapain? Gangguin pelanggan?"
Enggan menanggapi sindiran Taka, Nining beralih memanggil ke arah Jihan. "Ka Ji, siniin aja lengkuasnya. Yang mesen itu abang di sampingku ini."
Ekspresi kaget Jihan terlihat jelas ketika bertemu pandang dengan Taka. Cepat-cepat gadis itu menyerahkan kantong plastik berisi lengkuas. Lalu sibuk menghitung uangnya untuk membayar cabai dan tomat yang ingin dia beli.
"Bang, beli berapa?"
"Lima ribu."
Nining seketika mengernyit sambil melihat isi kantong. Dia terkekeh sebentar lalu mengeluarkan beberapa lengkuas.
"Heh, kok dikeluarin sebagian?" Nada bicara Taka terdengar tidak terima.
"Kebanyakan! Di dalam kantong ini tuh banyaknya seharga sepuluh ribu, Bang Taka cuma beli yang lima ribu. Enggak tahu deh, Kak Jihan ini terlalu murah hati atau polos, asal masukin aja lengkuasnya yang banyak, lupa enggak nanya harga berapaan."
"Dia tuh pelanggan, mana kepikiran tiba-tiba disuruh begitu."
"Iya sih, yaudah lah. Nih lengkuasnya, bayar cepet."
Taka mengeluarkan selembar uang hijau. Namun ekspresi Nining malah menjadi keruh. "Enggak ada uang kecil, Bang? Banyak banget uangnya dua puluh ribu, tapi yang mau dibayar cuma lima ribu."
"Banyak banget sih protesnya. Kayak enggak punya uang kecil aja?"
"Ada sih, tapi di dompet dekat Tante Opi tuh. Mana Tante lagi dikelilingin ibu-ibu lagi, malas manggil. Abang aja bayarnya pake uang kecil."
"Kagak ada."
Nining berdecak seraya membuang muka. "Halah cemen."
"Buru woi kembaliannya, mau pulang gua." Taka jadi geregetan sendiri. Si Nining ini agak belagu juga ya. Gaya bicara Taka yang tadinya sopan karena sering diceramahi sang mama, kini kembali ke mode garang karena emosi.
"Lah jadi sangar." Nining bergumam tanpa menoleh ke arah Taka. Karena dia tiba-tiba dipanggil Jihan yang hendak membayar.
"Tomat sama cabai beli berapa tuh, Kak?"
Jihan mengangkat kantong plastik kecilnya yang sudah terisi cabai dan tomat agar Nining bisa melihatnya dengan jelas. "Cabai sepuluh ribu, tomat lima ribu."
"Pas banget, nah uang lima belas ribunya kasi ke Bang Taka aja," katanya lalu mengambil uang tersebut dari Jihan dan memberikannya pada Taka.
"Loh kenapa?" Jihan masih belum mencerna situasi.
"Uangnya Bang Taka kebesaran. Jadi dua puluh ribu ini pas bayaran Bang Taka sama Kak Jihan ya."
Jihan mengangguk paham lalu pamit pada Nining dengan melambai. Taka juga langsung kembali ke motornya untuk pulang. Setelah melihat Jihan ternyata membuatnya kepikiran lagi. Karena mereka bertetangga dan sama-sama menunggu pengumuman SNBP, jadi setiap melihat Jihan pikiran Taka langsung mengarah ke SNBP.
Taka tidak takut jika harus menghadapi SNBT, dia hanya malas saja kalau harus ke lokasi dan berjumpa dengan soal-soal SNBT yang membuat sakit kepala. Sebelum mendaftar SNBP, sebenarnya Taka sudah mengambil keputusan sesuai kemantapan hatinya sambil mempersiapkan dirinya mempelajari materi SNBT. Di sisi lain, dia juga merasa pasti akan diterima oleh SNBP karena nilai dan beberapa sertifikat juara lombanya sangat menjanjikan. Yah, walaupun di pilihan pertama dia lintas jurusan, tetapi Taka berusaha untuk tetap berpikir optimis.
Sebenarnya Taka sangat berharap lolos di jalur prestasi ini.
Bukannya apa, harga dirinya seperti dihempas jika hasilnya tidak sesuai keinginannya. Apa kata orang jika mantan ketua OSIS SMA Garda Madya yang berprestasi panutan teman-teman sekolah juga adik kelas, apalagi dia langganan ranking 1 paralel dan eligible, juga nilai-nilainya yang tinggi dan tidak pernah turun, ternyata malah ditolak oleh SNBP?
Inilah yang membuat Taka lebih sering bermasalah dengan dirinya sendiri. Perasaan gengsi dan ego yang tinggi membuatnya selalu ingin mendapatkan hasil yang terbaik sesuai harapannya dan ekspetasi orang-orang di sekitarnya.
Bukannya dalam setiap kehidupan, ada yang namanya ujian dan kesabaran? Apakah Taka belum membuka mata untuk itu?
Jika saja Jihan tahu isi pikiran Taka yang akhir-akhir ini sering berkecamuk dan melibatkan dirinya yang tidak tahu apa-apa, dia pasti tidak tahan dan memilih untuk langsung bicara pada Taka agar pemuda itu tidak terus memusingkan hal-hal di sekitarnya yang dikira ada hubungannya dengannya. Atau membawanya langsung pada ustadz Habib. Agar beliau dapat melihat bagaimana kondisi cucunya itu sekarang dan kalau bisa diruqyah saja.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Masa Gitu?
FanfictionTentang berbagai cerita kehidupan para remaja perumahan Bumi Geria di bulan Ramadan. 2023.