Hari senin Taka baru saja selesai mencuci motor hitam besar yang biasa dia pakai berangkat sekolah. Setelah ini dia masih harus mencuci sebuah motor lagi. Motornya memang ada dua. Tetapi yang sering dipakai oleh Taka adalah yang berwarna hitam besar. Sedangkan motor satunya yang berwarna biru tua biasanya dipakai papa atau adik perempuannya. Mamanya sendiri tidak tahu mengendarai motor.
Suasana hatinya agak kesal karena sang papa yang sebelum berangkat kerja sempat menyuruhnya mencuci motor bersama Cakra, sedangkan adik bungsunya itu malah kabur entah ke mana. Mamanya cuma bilang bahwa Cakra meminta izin bermain di rumah teman dekat rumah, tetapi tidak tahu teman yang mana. Cakra mempunyai banyak teman yang juga tinggal di perumahan Bumi Geria.
Walau sekarang adalah hari senin, tetapi masih termasuk awal masuknya bulan puasa. Jadi untuk beberapa hari ke depan, sekolah diliburkan dan akan masuk kembali saat mulai memasuki pertengahan ramadhan. Itulah mengapa kedua adiknya tidak ada yang pergi sekolah. Taka sendiri tetap akan sekolah minggu depan untuk mengikuti ujian kelulusan sekolah. Cakra kabur bermain ke rumah teman, Mika bersantai di ruang tengah menonton TV, sementara Taka malah disuruh sang ayah membersihkan dua motor besar. Untung saja ayahnya berangkat kerja, kalau tidak, pasti mobil ayahnya ikut dicuci oleh Taka.
Taka mengibaskan kanebo lembab dengan kasar. Awas saja adik bungsunya itu, saat pulang nanti akan diberi pelajaran karena berani meloloskan diri saat mereka ditugaskan berdua saling membantu mencuci motor.
Walau mulut Taka tidak mengomel apapun, tetapi raut wajahnya sangat memperlihatkan betapa kesalnya dia. Padahal rencananya Taka ingin rebahan atau main game di kamarnya sebagai awal kegiatan hari-hari liburnya sekaligus mengembalikan semangatnya.
Taka refleks menoleh sedikit saat mendengar bunyi pagar terbuka di depan rumahnya. Keluarlah Jihan dengan mukena abu-abu menutupi kaus rumahannya, celana training panjang, dan sandal jepit. Lewat ekor mata, Taka melihat Jihan mencabut beberapa helai daun pandan di depan pagar rumahnya. Ibu Jihan memang pernah menyuruh suaminya untuk menanam tanaman pandan, cabai, daun jeruk, dan semacamnya di depan pagar rumah. Sengaja, agar tetangga yang lain dapat mencabut beberapa untuk kebutuhan masak, asalkan sudah meminta izin. Jika tidak? Ya sudah, itu urusannya dengan Tuhan karena berani mengambil tanaman orang tanpa izin.
Mereka tidak sengaja bertemu pandang dua detik dan Jihan segera kembali masuk ke dalam rumah. Setiap melihat Jihan, entah kenapa isi kepalanya refleks merekam setiap peristiwa-peristiwa saat mereka tidak sengaja bertemu di sembarang tempat. Dia sebenarnya agak bingung, mengapa Jihan selalu terlihat tegang? Apa wajahnya menakutkan? Tetapi setahunya belum pernah ada orang yang bilang bahwa wajahnya menakutkan. Dia selalu tampan. Begitu kata orang-orang.
Saat di sekolah, Jihan termasuk siswi yang biasa saja dan tidak pernah mendapat masalah maupun membuat banyak perhatian. Mungkin yang kenal dia sebatas teman kelas dan tetangganya, termasuk Taka. Walau mereka sangat jarang mengobrol, tetapi tidak dapat dipungkiri intensitas pertemuan mereka terbilang cukup sering.
Entahlah, Taka masih buram tentang sosok gadis remaja masjid itu.
***
"Anak bontot baru pulang. Masih ingat rumah, ya?" sindiran dari Taka sontak menarik atensi si bungsu Cakra yang baru pulang dari bermain.
Tubuh anak itu berkeringat. Baju belakangnya basah dan rambut hitamnya seperti orang habis keramas. Tepat selesai adzan ashar berkumandang, dia dan teman-temannya kompak pulang ke rumah masing. Karena jam empat sore jadwal mereka les mengaji di masjid.
Dahi Cakra berkerut menatap kakak sulungnya yang duduk santai di kursi sofa. Tetapi ekspresi pemuda itu sangat tidak enak dipandang.
"Galak banget sih, Bang."
"Kamu tadi kenapa kabur, ha? Abang sendirian nyuci dua motor. Harusnya kamu juga ikut nyuci, udah disuruh Papa tadi pagi!" Pokoknya Taka masih dendam dengan adiknya ini.
"Elah, dua doang lebay amat. Abang 'kan udah gede, gak susah dong nyuci dua motor. Aku 'kan masih SD."
Jawaban enteng Cakra seperti membuat sepasang telinga Taka berasap. Saudara segendernya ini benar-benar menyebalkan. Mana songong lagi.
"Dih bocah dikasi tahu malah belagu. Kalau Papa nyuruhnya dua orang ya dua, kagak ada pandang umur kalau di sini, ngerti gak?"
"Siapaa yang bilaang?"
"Gua, kenapa? Masalah?"
"Abaang, ngomong sama adiknya jangan kasar begitu. Pakai gua-gua lagi, emang si adek temen sekolah kamu?" omel mama yang muncul dari dapur saat mendengar perdebatan kedua putranya.
Taka mendengus malas. Kalau begini kondisinya, Cakra pasti mengambil kesempatan dengan memasang ekspresi seorang adik yang sangat tersakiti. Licik sekali dia menarik simpati mama mereka.
"Dia tuh Ma, main kabur aja pas disuruh nyuci motor. Lagian Mama kenapa gampang banget izinin dia main padahal tugasnya belum selesai?"
"Kamu ngomelin Mama?"
"Lah, enggak gitu maksud Abang, Ma."
"Bang Taka parah, masa masalah gini doang dibesar-besarin, Ma."
Taka melotot geram. "Diem lo."
"Heh, enggak boleh gitu sama saudara. Taka jangan ngomong lo-gue!" tegur mama sekali lagi.
Sebelum kedua putranya semakin memanas, lebih baik dipisahkan langsung. Wanita itu segera menyuruh Cakra untuk mandi sekaligus bersiap untuk les mengaji. Setelah Cakra sudah naik ke kamarnya, sang mama beralih pada Taka yang kini sudah asyik dengan konsol gamenya demi melupakan emosi panas pada adiknya.
"Abang pergi isi galon sekarang. Ada dua tuh yang kosong."
"Bentar, Ma. Habis ini."
"Sekarang. Atau alat game kamu disita sama Papa," ancam mama yang sukses membuat Taka tersentak. Pihak yang paling berkuasa di rumah ini jelas papa si kepala rumah tangga. Kalau berani membantah mama, papa bisa langsung turun tangan. Dan Taka paling malas berurusan dengan papanya jika tentang hukuman. Merepotkan.
Kecuali tentang nonton bola. Papa, Taka, dan Cakra satu frekuensi.
"Iya, iya. Galak amat."
"Apa?"
"Enggak. Pergi dulu, Ma. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Eh kalau ketemu Mika, bilangin Mama pesan beliin lengkuas di Bu Opi. Eh, atau kalau kamu juga bisa sekalian beliin aja. Siapa tahu Mika masih agak lama nungguin bakwan digoreng. Pokoknya pilihin yang bagus lengkuasnya."
Taka yang sudah di atas motor tersenyum hambar. Apa mamanya lupa kalau putra sulungnya ini tidak bisa membedakan antara lengkuas dan jahe?
Seketika otak encernya menjadi buntu jika dihadapkan dengan bumbu-bumbu dapur.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Masa Gitu?
أدب الهواةTentang berbagai cerita kehidupan para remaja perumahan Bumi Geria di bulan Ramadan. 2023.