Bab 7: Yield to None

78 32 117
                                    

Gemerencang bilah tombak menyibak kesunyian ruang. Lorong yang hanya diterangi oleh obor mungil dan kobaran api itu kini tidak lagi ramai karena perdebatan, melainkan pertarungan sengit untuk membuktikan siapa yang terkuat.

Saling bersahutan, Rydel dan Garth tampak ingin sekali melukai satu sama lain. Asap pembakaran yang meliuk-liuk seakan tak pernah habis mengepul. Beberapa kali umpatan lolos dari mulut Rydel, menyumpahi kebengisan sosok lawannya yang jelas sudah tidak bisa ditoleransi.

Rydel bukanlah Werewolf payah seperti apa yang telah diyakini oleh kebanyakan orang. Kendati tubuhnya lemah, dia mahir dalam hal memainkan senjata, apalagi kalau sudah berhubungan dengan bunuh-membunuh. Masa lalu yang penuh hinaan, kekerasan, dan rasa sakit menjadikannya dia yang sekarang. Berkat latihan dan tekad yang diikrarkan pada seseorang, nyawa bukan menjadi alasannya untuk menyerah pada keadaan.

Di sisi lain, Vaeril merasa fondasinya runtuh. Dia tidak kuat berdiri, apalagi membantu sahabatnya yang bertarung seorang diri. Menggunakan Pieces of Saddnes untuk menyerap penderitaan Garth mungkin bisa membuatnya luluh. Namun, bagaimana jika beban lelaki itu terlalu berat? Bagaimana kalau Vaeril malah lepas kendali dan membuat semua orang dalam bahaya? Kekuatan bawaan dari ibunya bukanlah bakat yang mudah diakali dan diprediksi. Kesalahan sekecil apa pun bisa membuat dark magic meledak, menyulap segalanya menjadi makin rumit.

Vaeril refleks menoleh kala jemari dingin menyentuh lengannya yang tak terbalut jubah. Dia dan Claryn terkejut melihat Nico yang sudah sadarkan diri. Syukurlah healer yang mereka kasih berefek cepat pada anak penuh lebam itu.

"M-maaf," ucap Nico terbata-bata, membuat Vaeril membeku karena tangannya juga ikut digenggam kuat. "Maaf karena sengaja mengajakmu ke tempat ini."

"Sengaja?" Tanpa sadar Vaeril bertanya, tetapi iris emerald Nico yang menyorot sendu sudah cukup untuk membuatnya paham.

"Jangan bergerak dulu, lukamu nanti makin parah," peringat Claryn seraya menahan Nico yang hendak bangun.

"Tapi ... Ayahku ...."

Baik Claryn maupun Vaeril, mereka tidak tahu harus berkata apa. Tanpa dijawab pun, sesuatu yang terjadi tak jauh dari tempat mereka berada sudah menunjukkan faktanya. Perkelahian tak terelakkan dan Tim Romawi tidak punya cara lagi untuk menyudahi. Bahkan, Habibie yang menjadi otak di tim itu tidak bisa melakukan apa pun. Bukannya membantu, dia justru berkeinginan untuk keluar dari sana.

"Aku tau, aku tidak tahu diri, tapi sebaiknya kalian pergi," kata Nico lalu meringis, sadar bahwa keputusannya membawa Vaeril malah makin melibatkan banyak pihak. "Dia akan berubah menjadi kejam kepada siapa pun yang menghalanginya, apalagi saat hendak membalaskan dendam pada penyihir."

"Dendam ... pada penyihir?" Vaeril menatap intens Nico dengan seribu pertanyaan di kepala.

"Di sepenjuru Hiddenland, ada sisa penyihir tanpa bakat yang masih menetap dengan cara menyamar sebagai manusia. Beberapa dari mereka sudah terbunuh di tangan ayahku. Dia selalu pulang dengan noda darah di mana-mana. Entah bagaimana caranya, karena sampai saat ini dia tidak pernah ketauan. Aku sungguh menyesal karena tidak bisa melakukan apa pun, termasuk mencegah pembakaran itu."

Mendengar penjelasan itu, Claryn, Vaeril, dan Habibie bungkam seketika. Mereka memang tidak tahu alasan apa yang membuat Nico membeberkan semua itu, tetapi yang jelas fakta tentang keberadaan penyihir di Hiddenland patut disorot. Ini bukan masalah sepele, ini menyangkut diskriminasi dan hak hidup. Vaeril diam-diam menyimpulkan bahwa mungkin Nico sedang ingin menegakkan keadilan. Meski dia masih berumur belasan tahun, gadis itu yakin bahwa dia punya sisi kemanusiaan yang luar biasa.

"Tenanglah, kami akan membantumu," tutur Claryn yang disambut anggukan oleh Vaeril. Bagaimana pun juga, mustahil bagi mereka untuk meninggalkan Nico dengan iblis haus darah seperti Garth.

"Aku ingin bertanya padamu." Habibie tiba-tiba berjongkok di sebelah Claryn, menatap lekat Nico yang juga ikut memandangnya. "Apa yang kau tau tentang terowongan ini? Kau sudah lama tinggal di sini, bukan?"


***


Rydel berhasil mempertipis ruang gerak Garth hingga membuatnya hampir terpojok. Tanpa mengacuhkan peringatan anggota Tim Romawi lainnya, dia terus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menghalau serangan Garth. Bilah bergerigi sempat membuat pinggangnya tersayat. Belum lagi nyeri pada mata kaki yang belum sembuh total. Kendati demikian, Rydel tahu apa yang harus dia lakukan. Keterbatasan tidak akan membuatnya angkat tangan.

Suara lonceng terdengar acap kali Werewolf itu mengayunkan tombaknya. Selagi fokus menyerang, dia berusaha menganalisis kekurangan Garth. Sehebat-hebatnya orang pasti masih memiliki titik lemah, bukan? Bagian inilah yang membuat Rydel bersemangat dalam pertarungan satu lawan satu.

"Lumayan juga," ujar Garth tanpa melepaskan konsentrasinya. Dia tadi sempat kewalahan menghalau serbuan Rydel yang membabi buta.

"Ini bukan apa-apa." Rydel tersenyum miring. Sudah lama dia tidak melampiaskan penderitaannya pada seseorang yang juga ahli menggunakan tombak. "Aku bisa mematahkan lehermu kapan pun aku mau."

"Oh, ya? Dengan ketahanan seperti itu?"

Tawa meremehkan dari Garth tidak membuat Rydel gentar. Justru dari sanalah dia makin termotivasi untuk segera memenggal kepalanya. Dia sadar diri bahwa pertahanannya bukanlah apa-apa jika dibandingan dengan musuhnya itu. Namun, prioritas Rydel saat ini hanyalah menang dalam waktu singkat. Healer yang dia bawa tidak akan cukup jika digunakan untuk meregenerasi stamina yang terbuang sia-sia.

"Aku akui kau cepat, tapi masalah kekuatan ...," Garth menjeda sambil menangkis serangan Rydel yang hampir mengenai lengan. "aku lebih unggul."

Rydel ber-cih, tetapi dia tidak habis akal untuk menerjang dalam sekali gerakan. "Jangan lengah!"

"Seharusnya aku yang bilang begitu!"

Balik menghantam, Rydel terempas beberapa meter saat bilah tombak Garth berhasil mematahkan ayunannya. Punggung Rydel membentur dinding bagian dalam ruangan itu, matanya bahkan turut memburam seketika. Samar-samar dia mendengar suara gerincing besi. Cairan kental berwarna merah menetes, tangannya refleks memegang hidung. Chiyo yang sejak tadi bersembunyi di saku jubah langsung menyembul, ikut panik.

Rydel mengerjap beberapa detik lantas menatap lurus ke depan. "Va-Vae! Hidungku mimisan! Kau bawa tisu, kan?"

Vaeril yang berdiri jauh di depan sana ikut mengerjap melihat kelakuan Rydel. Bodoh, bodoh sekali memang. Seseorang mungkin harus menjewer telinganya agar Werewolf itu sadar bahwa sekarang dia masih dalam bahaya.

"Bisa-bisanya kau bercanda di saat aku ingin—"

"Ea! Nggak kena, nggak kena," Rydel menjulurkan lidah setelah menunduk untuk menghindari serangan Garth, membuat pria itu dongkol sendiri. Bersamaan dengan lolosnya umpatan kasar, kini giliran Rydel yang berhasil mementalkan tongkatnya.

"Sialan!"

Rydel meregangkan otot lengan kanan, memperlebar jarak dan kembali mendekat ke Vaeril. Sepertinya dia belum sadar bahwa tidak ada bunyi lagi ketika tombaknya ditancapkan ke tanah.

"Tombakmu berat juga, ya." Rydel tertawa sembari menyeka darah yang masih mengucur dari hidung. "Tapi sayang sekali ... player-nya noob."

"Tutup mulutmu!"

"Rydel! Awas!" Claryn berteriak saat Garth hendak melemparkan sesuatu, Vaeril tersentak.

"Jangan mendekat!"

Lingkaran rune berjari-jari tiga meter muncul tepat ketika sebuah nightmaric mark terlukis di pelipis kanan Vaeril. Bayangan di sekitarnya meleleh seketika, berubah menjadi sekumpulan burung gagak yang terbang cepat ke arah Garth. Ketujuh burung dengan asap hitam keunguan itu meledak begitu batu bertuliskan rune menghantamnya. Bunyi debuman menggelegar, diikuti kerikil yang berjatuhan dari langit-langit. Bersamaan dengan itu pula, Claryn dan Rydel melompat ke belakang. Cairan panas yang memuncrat dari inti letupan itu bahkan langsung menguap begitu saja saat menyentuh tanah.

"Cairan panas yang bisa melelehkan apa pun. Aku melihat dia memakainya pada penyihir di api itu," ujar Vaeril lalu meringis karena terlalu mendadak mengeluarkan satu gelombang Nightmaric Shade. Hal itu diperparah saat bakat keduanya, Pieces of Sadness, ikut diaktifkan. Energi dari rasa sakit Nico benar-benar membuat kendalinya hampir kacau balau.

"Batu yang meledak? Dari sebuah rune?" Claryn ikut kaget. Untung saja Vaeril bertindak tepat waktu. Kalau tidak, entah apa yang terjadi pada sayapnua setelah mengenai batu itu.

"Dari mana dia mendapatkannya?"

Ketika ketiga anggota Tim Romawi masih saling pandang, Garth menggulingkan beberapa drum yang membuat bau menyengat kembali menyeruak. Garth tersenyum puas saat Rydel belum menyadari tindakannya. Setidaknya drum-drum tak berguna itu masih bisa menyelamatkannya.

"Hei, Bocah Sialan! Apa kau kehilangan sesuatu?" tanya Garth yang membuat atensi Tim Romawi teralihkan. Chiyo yang mengintip dari saku Rydel dengan cepat memelesat saat tahu lonceng tuannya ada di tangan musuh.

"Monyet yang baik." Belum sempat Chiyo meraih lonceng itu, Garth tiba-tiba mencekik lehernya. Rydel baru saja ingin berlari, tetapi Garth justru menyalakan korek dari saku celana dan melemparkannya ke tanah. Sedetik kemudian, api merembet seluas cairan bening yang menggenang di tanah.

"Selamat tinggal," ujar Garth yang membuat Rydel mengumpat. Bagaimana bisa dia mengabaikan hal sekecil itu?

"Hei, kau! Payah! Jangan kabur!" teriak Rydel. Dia dapat melihat ada sebuah pintu batu di balik api yang memblokir jalannya.

"Apa ada jalan lain?" tanya Vaeril. Mereka tampaknya masih belum sadar bahwa satu anggota lain hilang entah ke mana.

"Itu pintu rahasia, mustahil kita bisa menemukannya dalam waktu singkat."

"Aku ada ide." Rydel tiba-tiba melepas jubahnya. Sesaat kemudian, tombaknya berubah menjadi serpihan cahaya. "Kalian tetap di sini. Anak itu masih perlu diobati, kan? Jangan sampai dia mati."

"Hei, mulutnya!" Claryn spontan berseru kala Nico disinggung, tetapi dia baru sadar bahwa sepertinya Rydel punya rencana lain. "Tapi kau mau ke mana, Ryde? Jangan gila!"

"Biar aku saja yang menyusul, kau pasti kelelahan," timpal Vaeril yang membuat Rydel spontan menepuk puncak kepalanya.

"Tetap tenang, aku masih punya cukup tenaga untuk berlari."

Rioma's Red Sunset (MAPLE ACADEMY HIDDEN YEAR 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang