Opening

17 0 0
                                    

Memiliki sifat variatif menjadi ketentuan mutlak Sang Maha Kuasa. Selalu menghiasi waktu bersama jadi rutinitas bagi tiga insan yang memiliki dunia berbeda. Sejak kecil mereka terbiasa bersama, namun bagaimana jika semesta terus memaksa tuk menarik kembali ke dalam dunia masing-masing. Terdengar rumit memang kala mempertahankan suatu hubungan tanpa adanya persamaan. Hingga akhirnya terbiasa dan mengesampingkan fakta menyakitkan.

Bagi Ellery Shylla Chavere mendapatkan sapaan diiringi pujian jadi hal lumrah yang tak bernilai lagi. Memangnya ada cara lain yang bisa digunakan demi mendekati cucu tunggal pebisnis dunia persenjataan selain menggunakan topeng pencitraan. Kecuali seseorang berhoodie hitam yang tengah menundukkan kepalanya di atas lipatan tangan. Semenjak pertemuan pertama setelah lama berpisah. Ellery seperti berteman dengan orang baru. Begitu asing.

“Pagi, El,” tegur Nerissa Widati. Orang kedua yang tak termasuk list fakefriend milik Ellery.

“Pagi juga.”

“Pagi, Seva.”

“Hm.”

Gumaman dari Serena Sevastian sudah lebih dari cukup bagi Nerissa dan Ellery. Sebab normalnya dia hanya akan menganggukkan kepala atau mengangkat alis sebagai jawaban.

“Seva, kamu lembur lagi? Kamu juga El, tumben enggak kumpul bareng yang lain?”

“Mau kok cuma baru datang aja. Kalo Seva, enggak tau deh dia kenapa. Lagi pula pekerjaan dia juga kan emang di dunia malam.”

“Ya. Ya. Ya. Kan emang nanya ke Seva bukan sama kamu,” cibir Nerissa.

“Bias-“

“Berisik!” teriak Seva. “Kalian ngapain meributkan sesuatu yang bersifat retoris?”

Seva membuang napas pelan. Nada bicaranya melembut. “Jangan lupakan akreditasi sekolah ternama yang kita tempati serta keadaan keluargaku.”

Ellery paling membenci topik percakapan yang bersinggungan dengan latar belakang karena selalu melahirkan suasana canggung.

Tak hanya memicu kemarahan Seva tapi juga berimbas pada raut wajah Nerissa yang berubah jadi menyedihkan.

“E-eh girls, gimana kalo pulang sekolah kita nonton bareng di rumah Nerissa?”

“Boleh.” / “Enggak.”

“Aku gak terima penolakan ya, SEVA.” Ellery menekan kata terakhir yang ia ucapkan.

“Ck! Terus ngapain nanya? Pake embel alay pula,” hardik Serena.

“Apa? Girls? Ada yang salah?” tuntut Ellery tak kalah meninggi.

Tuk

Ellery meringis selepas menerima sentilan kecil di keningnya dari Seva. Ingin sekali dia meminta pembelaan pada Nerissa. Namun dewi fortuna tengah merundungnya. Gadis itu justru asyik berpacaran bersama buku.

Lebih baik Ellery segera pergi menemui teman-temannya di luar kelas dibanding mendengarkan khotbah di pagi hari atau menunggu singa yang terlelap. Big no. Keduanya bukan pilihan yang tepat.






-
Akhirnya dari tiga cerita yang di draf. Mis's. Mr. S yang lulus sensor:v tapi nggk menutup kemungkinan cerita ini bakal di unpublish:)

Mis's.Mr STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang