05. Lost, Found

401 83 5
                                    

Lia berguling untuk meraih ponsel di belakang bantalnya kemudian menekan tombol daya kecil di bagian samping untuk mengecek waktu. Sekarang masih awal pagi tapi rasa ngantuknya sudah benar-benar hilang. Lia tidak bisa tidur semalaman, mungkin karena jatah tidurnya ia habiskan kemarin siang.

Hal pertama yang Lia lakukan setelah bangkit dari tempat tidur adalah mencari air putih. Kombinasi cola dan piza semalam berhasil membuat tenggorokannya terasa sakit dan panas pagi ini. Sialnya, seluruh botol minum di kamarnya sudah kosong, mau tak mau dia harus turun untuk mencarinya di dapur.

"Kau mau kemana?" Yeji bergumam—entah mengigau. Suaranya terdengar aneh karena dia berkata dan menguap sekaligus.

"Mencari air minum," balasnya.

Yeji mengangguk, matanya masih memejam seperti terlalu rapat untuk bisa dibuka. "Jam berapa ini?"

"Masih pukul lima,"

"Aku akan tidur setengah jam lagi," katanya sambil menarik selimut ke atas kepalanya.

Lia melewati tubuh Chaewon yang masih terlelap di ranjang kecil berukuran single. Kemudian keluar menuju lantai bawah. Di sana masih sepi, beberapa teman cowoknya terlihat tidur saling berpelukan dan berguling di atas sofa ruang tengah. Mereka pasti langsung tertidur setelah mabuk.

Lia mengabaikan mereka dan terus melewatinya menuju dapur. Ia melihat punggung Hyunjin keluar dari pintu depan vila dari dapur. Sedikit penasaran dengan apa yang akan ia lakukan sepagi ini, Hyunjin tidak biasa bangun pagi—seperti dirinya.

Lia mengikutinya berjalan sampai ke luar vila, setelah beberapa meter, punggung Hyunjin menghilang di persimpangan.

Hyunjin tak mungkin pergi ke pantai belakang vila, tempat itu terlalu gelap karena matahari tidak terbit dari arah sana. Lia memutuskan untuk terus berjalan ke arah timur, apalagi yang bisa dicari sepagi ini kalau bukan pemandangan matahari terbit.

Entah berapa lama Lia berjalan menyusuri tepi pantai, sampai dia tiba di sebuah jalan setapak yang terbuat dari beton. Tempat itu terlihat sangat cocok digunakan untuk "mencari kematian" daripada bersantai. Suara ombak menggelegar menghantam batu-batu berbentuk serupa yang sering digunakan untuk memecah ombak. Angin kencang menubruk tubuhnya yang mungil, membuatnya hilang keseimbangan beberapa kali.

Lia berjalan menjauh dari tempat itu, dia tidak ingin terjatuh dan dituduh bunuh diri.

Udara dingin yang menusuk punggungnya mengingatkannya kalau dia keluar terburu-buru sampai tak sempat membawa baju hangat. Kepanikan mulai menyergap dirinya saat ia membalikkan badan dan sadar kalau vilanya sudah tak telihat lagi. Yang paling membuatnya berkeringat dingin adalah, ia pergi tanpa ponsel dan dompetnya.

Berapa jauh jarak yang bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih lima belas menit? Harusnya tidak sangat jauh sampai membuatnya tersesat. Hanya saja, Lia tak pandai mengingat arah dan dia pergi saat matahari belum muncul dengan sempurna, dia tidak yakin apa saja yang sudah dia lewati.

Tidak ada taksi yang lewat di sekitarnya. Tentu saja, ini bahkan belum pukul delapan.

Sebuah mobil berhenti dan membunyikan klakson di depannya. Seorang pria setengah baya menurunkan kaca mobilnya dan mengulurkan kepalanya.

"Apa kau tersesat, gadis kecil?" tanyanya dengan cengiran aneh, sepertinya dia mabuk sambil menyetir. "Masuklah, aku akan mengantarmu!"

Lia menggelengkan kepalanya. "Tidak, terimakasih. Aku tinggal di tempat ini."

"Tidak, tidak, kau tersesat, kan?"

Lia mengabaikannya dan berjalan lebih cepat. Pria itu melajukan kendaraannya dengan pelan mengikuti kecepatan langkah kakinya. Karena takut, Lia masuk ke sebuah kafe 24jam dengan deretan wafel berbagai rasa di etalasenya. Dia tidak mungkin mengikutinya ke tempat yang ramai. Dan lagi, mereka di dalam pasti punya ponsel.

Before She Even KnowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang