Satu hal yang mengusik pendengaran Louis adalah pertanyaan Amira yang sarat akan rasa cemburu. Seketika tatapannya mengernyit hingga keningnya berkerut. Apa maksud dari pertanyaan mu ini, Amira. Apa kamu ... cemburu? Pikir Louis.
Sementara Amira semakin mendengus kesal karena tidak juga mendapati jawaban dari seseorang diseberang sana. "Menemui siapa, Louis?" Tanya Amira dengan suara meninggi hingga Louis pun menjauhkan sejenak ponsel dari telinganya.
"Menemui seseorang yang sangat berarti di dalam hidup ku, Amira."
Kalimat yang baru saja menggelitik pendengarannya ini telah membuat Amira tenggelam ke dalam rasa entah apa itu namanya yang jelas hatinya menjadi tak tenang. Satu hal yang tertanam di dalam benaknya bahwa Louis sedang menemui wanita tercinta. Jadi, kau menemui kekasih mu, huh? Batin Amira sedih berpadukan dengan bibir dilipat.
Entah untuk alasan apa Amira harus bersedih yang jelas dia sendiri juga tidak tahu jawabannya. Apa mungkin Amira cemburu? Apa mungkin Amira mulai memiliki perasaan pada, Louis? Entah lah karena hanya Amira sendiri yang tahu jawabannya.
Larut ke dalam pikiran sendiri sampai - sampai tidak menyadari bahwa panggilannya dengan Louis masih tersambung. Sementara Louis langsung memutus sambungan telepon ketika tidak mendapati suara Amira.
"Mungkin saja sinyalnya lagi ga bagus." Lirih Louis bersamaan dengan itu langsung mematikan ponselnya untuk bersiap melanjutkan kembali perjalanannya ke Cambridge, Amerika Serikat.
🍁🍁🍁TANZEL GROUP
Bali, Indonesia
14.15
Semenjak kepergian Louis ke Cambridge, Amerika Serikat. Hari - hari Amira dilalui dengan penuh kehampaan. Dan entah perasaan apa yang saat ini bersarang di dalam benak Amira, yang jelas ia seringkali dibuat uring - uringan ketika tidak mendapati pesan atau panggilan telepon dari calon suami pura - puranya tersebut.
Dan sikap uring - uringan Amira ini juga bukan tanpa alasan. Hal itu disebabkan oleh Louis yang mulai berubah karena semenjak lelaki itu berada di Negaranya, dia seringkali mengabaikannya.
Satu hal yang Amira tangkap dari perubahan sikap Louis bahwa lelaki itu sedang di sibukkan oleh kekasihnya. Ya, itu sudah pasti. Louis, pasti sangat sibuk bermesraan dengan kekasihnya. Pasti mereka berdua sedang melepas rindu setelah sekian lama tidak bertemu.
Dulu saja ketika Louis masih berada di Indonesia. Amira seringkali mengabaikannya namun, sekarang. Baru sekarang lah Amira menyadari bahwa ia merindukan kehadiran Louis, merindukan sosoknya yang genit dan sedikit menyebalkan.
Tanpa disadari Amira pun tenggelam ke dalam lamunan yang dipenuhi akan bayang Louis ketika sedang mengerling genit, dan juga ketika lelaki itu dengan sengaja menselancarkan godaan. Uh, ternyata kebersamaan yang terjalin selama ini telah menumbuhkan benih - benih kerinduan, meskipun hal itu selalu Amira bantah dengan tegas.
Dan entah sudah berapa lama tenggelam ke dalam lamunan hingga tidak menyadari bahwa Yoza memperhatikannya sedari tadi. Bahkan suara langkah kaki tegas pun tidak mengusik Amira dari lamunannya sejenak. Ditatapnya wajah cantik yang sedang memejam rapat dengan tatapan dalam dan lama.
Jemari kekar terulur mengusap puncak kepala membuat sang pemilik tersentak sehingga langsung mendongakkan wajahnya. Setetika tatapannya dimanjakan dengan senyuman sang ayah, senyuman yang selalu membuatnya merasa damai. "Memikirkan apa, Amira?" Amira tersenyum bersamaan dengan itu memberitahu sang ayah bahwa tidak ada yang sedang dia pikirkan.
"Jangan bohong! Papa tahu kalau kamu ... " jeda sejenak lalu, semakin mencondongkan wajahnya ke depan beriringan dengan rangkuman hangat. "Amira, sedang memikirkan Louis kan?"
"Ih, Papa sok tahu deh. Buat apa juga Amira mikirin, Louis. Kurang kerjaan banget sih Pa."
Yoza pun menyandarkan tubuhnya pada dinding meja dengan merengkuh pundak ramping. "Dengar ya Amira, Papa ini sudah kenyang makan asam garam jadi, Papa tahu apa yang saat ini bersarang di dalam otak cantik mu ini sayang."
"Papa, harus berapa kali Amira bilang kalau Amira ini sedang tidak memikirkan, Louis. Amira, lagi mikirin kerjaan aja, Pa." Bohongnya.
Yoza menyernyit hingga keningnya berkerut. "Memangnya masalah serius apa yang terjadi di kantor?"
"Tidak ada masalah serius, Pa."
"Ya, kalau gitu tebakan Papa benar kan bahwa Putri Papa yang cantik ini sedang memikirkan, Louis."
"Ih, Papa. Harus berapa kali Amira jelaskan kalau Amira ini ga mikirin Louis tapi memikirkan tentang pekerjaan, tentang pembangunan proyek itu loh, Pa."
Yoza pun tampak sedang mengangguk - anggukkan kepalanya. "Lalu, bagaimana dengan perkembangannya?"
"Semuanya lancar, Pa?"
"Bagaiamana dengan kasus, Pak Arwiyan?"
"Semua sudah teratasi jadi, Papa tenang aja. Serahkan semuanya sama, Amira."
"Apa masih Ibu Nasya yang menggantikan, Pak Arwiyan?"
"Masih Pa, untuk sementara waktu Ibu Nasya yang menghandle semua tugas - tugas, Pak Arwiyan."
"Dengar ya, Amira. Akan lebih baik kalau Amira segera mencari pengganti Pak Arwiyan, supaya Ibu Nasya bisa fokus pada pekerjaannya."
"Papa, mencari seorang arsitek itu bukan perkara mudah. Amira, sudah memberi perintah pada Pak Nail untuk mengatur semuanya."
"Gimana kalau pakai Anak teman Papa aja?"
Amira mengernyit berpadukan dengan tatapan menelisik. "Anak teman Papa yang mana?"
"Anaknya, Om Farez. Dia seorang arsitek handal."
"Om Farez teman masa kuliah Papa itu ya?"
Yoza menjentikkan jemarinya. "Yes, tepat sekali, Amira."
"Apa belum bekerja?"
"Sejauh Papa dengar sih dia sudah bekerja di perusahaannya Pak Sumitra tapi, mengenai jabatannya di sana Papa kurang tahu sayang. Gimana kalau Papa panggil Azriel untuk bertemu dengan, Amira. Kalian bisa ngobrol - ngobrol dulu, soal diterima atau tidak itu tergantung Amira saja."
"Oh, namanya Azriel. Bagus juga namanya."
"Hm, sejauh Papa kenal. Azriel, anaknya ganteng, baik, dan juga sopan." Tapi, masih ganteng calon menantu Papa, Louis. Lanjutnya dalam hati.
"Bukan tentang itu Pa tapi skill. Hih, Papa ini ya." Geram Amira.
Yoza pun terkekeh kecil. Dia coba meyakinkan putri kesayangan bahwa Azriel seorang arsitek yang luar biasa. Namun, Amira menolak dengan tegas dengan alasan bahwa lelaki itu sudah lebih dulu bergabung ke dalam perusahaan Sumitra.
"Memangnya apa salahnya sayang kalau sebelumnya Azriel bekerja di kantor, Pak Sumitra?"
"Pa, Pak Sumitra itu Papa nya Hana, sahabat masa SMA Amira. Amira, ga mau ah di tuduh main comot karyawannya."
"Apa kamu yakin, Amira."
"Yakin Pa. Sangat yakin."
"Ya sudah, kalau itu memang sudah keputusan, Amira."
"Ih, kenapa wajah Papa kayak ga rela gitu sih?"
"Bukan ga rela, Amira sayang. Hanya saja melepas kandidat karyawan paling berbakat kan sayang aja."
"Berbakat sih boleh, Pa. Tapi itu bukan hak kita. Ingat ya, Pa. Azriel, karyawannya Pak Sumitra, Papanya sahabat Amira."
"Ya sudah, ya sudah." Berpadukan dengan usapan pada puncak kepala Amira. "Kalau gitu Papa pulang dulu ya sayang. Ingat, malam ini kita ada makan malam dengan, Opa Tanzel. Jangan pulang terlalu malam. Jangan buat Opa-mu menunggu."
🍁🍁🍁
Next chapter ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Istri Sah Bukan Istri Simpanan
RomanceSebagai seorang istri yang tidak dihargai, bertahan atau pergi? Mau tahu kelanjutan perjalanan biduk rumah tangga Amira? Langsung saja baca!!