Terpaksa

23 1 1
                                    

"Amira ... Amira ... " lirihnya berpadukan tatapan yang masih saja mengunci hingga tubuh ramping tertelan diantara pintu lift yang membawa Amira naik pada ruangan kebesarannya.

|Hari Menyebalkan!|

***
Seharusnya dimalam seperti ini Amira bersantai dirumah bermanjakan berbagai acara televisi atau membaca novel religi yang biasa dia lakukan demi membunuh waktu hingga waktu sholat malam tiba.

Namun, sayang sekali hal itu sama sekali tidak berlaku bagi Amira. Dia masih saja disini disebuah tempat yang menjadi ruangan kebesarannya. Ruangan dengan aura mencekam bagi para petinggi setiap kali dipanggil kesini. 

Disandarkannya kepalanya pada sandaran sofa dengan menengadah ke atas menatap langit - langit ruangan.

Meskipun sendirian dia tidak pernah merasa takut. Baginya tidak ada yang perlu ditakuti di Dunia ini selain ketakutannya pada Yang Maha Kuasa. Entah sudah berapa lama tenggelam ke dalam lamunan yang jelas ingatannya berpusat pada mendiang sang Mama.

Tanda dapat ditahan lagi air matanya mengalir deras ketika lembaran demi lembaran kejadian tragis itu kembali mengisi memory nya, kembali berputar - putar bagai kaset rusak. "Ma, Amira kangen sama Mama." Lirihnya berpadukan laju air mata.

Berkali - kali diusapnya bulir - bulir air mata bodoh itu yang terus saja mengaliri pipi mulus menuju muaranya yang tidak pernah mengering. Tidak ada cara lain untuk mengikis kesedihannya akhirnya Amira menenggelamkan diri ke dalam pekerjaan.

Fokusnya kini hanya pada laporan didepannya yang ternyata sudah diperiksa oleh sang ayah. Tanda tangan Tanzel menjadi bukti nyata bahwa semua pekerjaannya yang tadi tertunda sudah terselesaikan.

Terima kasih, Pa. Ucap Amira dalam hati.

Tidak ada lagi yang harus dikerjakan dia memutuskan bersantai lebih dulu sebelum memutuskan untuk kembali ke rumah. Tanpa sengaja ekor matanya menajam pada salah satu map yang menarik perhatiannya.

"Apa Papa terlewat mengecek laporan ini ya?"  Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya dia sedang sendirian. Dengan segera diraihnya map biru tersebut. Iris hitamnya membeliak sempurna. Oh, iya ini kan proyek yang mau ku bahas dengan Papa. Batin Amira sembari memasukkan map tersebut ke dalam tas kesayangan.

Tak ingin langsung pulang dia pun melenggang menuju ruangan pribadi namun langkah kakinya terhenti dengan suara bariton yang sudah tidak asing dipendengarannya. Amira mengumpat kesal. Shiiittt, untuk apalagi sih dia kesini? Dasar menyebalkan!

"Ada apalagi, hah?" Tanyanya sembari memutar tubuhnya. Akibat gerakan yang secara tiba - tiba dan kurangnya hati - hati membuat salah satu kakinya terbelit kaki satunya. Beruntung, Louis langsung bergegas menopang. Terlambat satu detik saja maka tubuh Amira langsung menyatu dengan dinginnya lantai.

"Hati - hati, Amira!'

"Lepas!" Bersamaan dengan itu mendorong dada bidang. "Jangan coba - coba cari kesempatan dalam kesempitan ya!"

Hembusan nafas lelah mengiringi deru nafas Louis menandakan bahwa sang pemilik benar - benar merasa lelah dengan sikap yang Amira tunjukkan.

"Dengar ya, Amira. Tidak ada yang mengambil keuntungan dari kejadian ini. harusnya kamu berterima kasih bukan malah memaki seperti ini. Apa ini yang diajarkan oleh keluarga mu, hah?"

"Jaga cara bicara kamu, Louis! Jangan melampaui batasan kamu! Jangan sekali - kali menghina keluarga Tanzel!"

"Hai, Nona Tanzel. Saya bicara sesuai fakta. Dan ya, kedatangan saya kesini atas permintaan langsung dari Tuan Tanzel untuk menjemput Anda."

Aku Istri Sah Bukan Istri SimpananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang