FILOSOF KUTANG GANTUNGF

19.5K 41 0
                                    

“Den … lo tahu nggak kenapa kutang itu digantung? Nggak dilipat?”

“Sebab kalau dilipat bukan kutang namanya, dan masangnya juga digantung di badan.”

“Lo salah. Kalau dilipat bukan kutang namanya. Makanya nggak ada orang yang bilang LIPAT KUTANG, pasti mereka bilang GANTUNG KUTANG.”

Deno yang sejak tadi meladeni pelesetan kosong yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan percakapan mereka sekarang ini.

“Lo masih waras kan, Ra? Kok, lo ngomongnya ngelantur gini sih? Bukanya sekarang lo mau curhat ama gua? Lo udah janji loh di sekolah tadi. Makanya gua izinin lo nginap di Kos gua.”

“Itulah yang akan gua omongin, Den. Hidup gua kayak kutang itu … GANTUNG. Semua terlihat tak pasti, nggak jelas. Dibilang anak baik-baik … bukan. Disebut pelacur … juga bukan. Pagi sepulang sekolah gua harus melayani kakak gua. Malamnya gua harus melayani ayah tiri gua. Miris kan? Itulah kenapa gua bilang hidup gua persis seperti kutang gantung itu.”

“Serius lo, Ra? Terus lo diam aja gitu? Kenapa lo nggak cerita ke nyokap lo?” Deno menatap heran dan kejut ke arah Dara yang duduk di sampingnya.

“Gua diancam, Den. Baik kak Ardi maupun ayah gua, mereka ngancem gua bakalan bunuh ibu gua kalau gua buka mulut.”

“Astaga, Dara! Mereka ngancem lo kalau buka mulut. Lah mereka sendiri, enak-enakkan buka mulut bawah lo, gila! Terus hubungannya dengan kutang yang digantung apa? Lo nggak bisa disamain dengan kutang, Ra. Lo itu ibarat kata, tanaman anggrek yang cantik, berharga.”

“Lo lupa ya?  Pernah lihat bentuk kutang nggak sih lo? Dua gelembung yang menonjol itu begitu menggoda. Dan gua yakin sejuta persen, setiap mata yang melihat dua gelembung itu langsung menerbitkan pikiran kotor alias mesum. Terlepas dari, tuh kutang terbuat dari sutera kek, sifon kek, atau apalah. Yang jelas bukan bahannya yang menggiurkan tetapi tonjolan yang dua itu yang menggiurkan. Nah … gua ibarat kata seperti itu. Gua ini dua tonjolan yang menggiurkan buat kakak dan ayah tiri gua. Terlepas gua ini anak atau saudara mereka.”

“Jadi … lo mau curhat ke gua soal lo sama dengan kutang itu yang nasibnya digantung ama ayah dan kakak tiri lo itu, Ra? Okay … gua kasih lo solusi. Dan hanya ini yang tercetus di dalam otak jenius gua.”

“Apa?”

“Turun, jangan mau digantung lagi. Lo harus dipakai sampai kiamat. Artinya, mereka harus mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. Dan kuncinya adalah di diri lo, ngerti?!” unggah Deno dengan nada suara yang sumbang.

Malam ini Dara memaksa menginap di kos-kosan milik Deno. Lelaki ganteng dan humoris. Bersama Deno, Dara merasa bahagia menjalani hari-hari sekolahnya meski di tengah impitan ekonomi keluarga. Lelaki itu kerap memberinya semangat dan tidak tanggung-tanggung memberinya bantuan. Deno termasuk pelindung bagi Dara. Siapapun yang mengganggu Dara, Deno akan memasang badan melindungi gadis itu. Tapi satu kelemahan lelaki itu … dia tulalit alias Oon.

Dara memutuskan untuk menginap di Kos-kosan Deno setelah melakukan banyak pertimbangan. Dia lelah, lelah digilir terus oleh kakak dan ayahnya. Teringat bagaimana Dara pertama kali ditiduri oleh Ardi, membuat gadis itu tak elak sering menitikkan air mata.

“Awas kalau lo berani mengadu sama ibu, gua akan bunuh ibu lo atau gua akan fitnah lo kalau lo yang pertama kali menggoda gua. Lo belum tahu, ya? Bokap gua sangat percaya dan sayang sama gua. Lo mau bokap gua nyakitin ibu lo,” ancaman Ardi setelah selesai meniduri Dara pada pagi menjelang siang itu.

Saat itu, tidak ada satu orang pun yang berada di rumah. Kecuali Dara dan Ardi. Mirna, ibu kandung Dara sedang bekerja di kantor. Herman, ayah tiri Dara bekerja di  perusahaan milik Mirna pasca menikahi perempuan itu.

Suasana sepi itu akhirnya dimanfaatkan oleh Ardi untuk menggauli Dara. Pasalnya sejak ibu kandung Dara memperkenalkan mereka waktu itu, saat itulah Ardi memiliki ketertarikan yang lain terhadap Dara. Dan sejak saat itu, Ardi mencari-cari kesempatan agar bisa menyetubuhi gadis itu.

“Kak Ardi! Lepas! Lepaskan Dara, Kak!”

“Ngengkang! Ngengkang gua bilang!” Ardi terus berusaha membukan dua kaki milik Dara yang sudah bergelatah. Kecepatan tangan Ardi beradu cepat dengan gerakan pemberontakan tubuh Dara.

Pakaian Dara sudah tidak serapi beberapa saat lalu. Sedang Ardi yang sudah mengapit tubuh Dara bergerak cepat melepaskan pakaian miliknya.

“Agh, dasar cewek bandel!” geramnya kembali pada Dara. Tidak ingin kehilangan mangsa, Ardi tak mengubris sisa baju yang sudah setengah berantakan di tubuh Dara.

Serangan fokusnya tertuju pada benda yang sudah menampakkan diri di balik rok Dara. Tidak mengulur waktu, Ardi mendaratkan serangannya. Suara erangan yang tertahan pun mulai melengking dari Dara.

“Awas kalau lo teriak!” ancamnya lagi.

Ardi cepat-cepat menyelesaikan kegiatannya pada Dara. Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Sebentar lagi Mirna akan pulang dari pasar. Dara meringkuk sambil memeluki tubuh polosnya itu. Senyum sinis menyumbang dari bibir Ardi karena lelaki itu sudah merasa puas mendapatkan tubuh Dara.

Warna bercak merak itu menempel begitu saja di atas seperai. Ardi mengusap puncak kepala Dara dan mengecupnya.

“Besok lagi, Dara sayang. Mmmuahh!” seperti tidak melakukan sebuah kesalahan, Ardi meninggalkan kamar Dara begitu saja dengan tawa senangnya.

Dara segera berlari ke dalam kamar mandi. Ia menenggelamkan diri dan merendam diri di bawah guyuran air shower. Ia berharap air-air itu bisa membersihkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Ardi pada permukaan kulitnya. Jijik, kotor, hina, malu, dan sedih bercampur menyelimuti perasaan Dara.

“Ihh! Ih! Ih!” jerit Dara mengusap kasar tubuhnya. Tak lama tangisnya menumpah lagi dalam guyuran air shower.

Dara masih tenggelam dalam ratapan hatinya. Bahkan tidak menyadai kepulangan sang ibu. Hingga suara wanita itu sudah menderu di balik pintu kamar mandi.

“Dara dara! Kamu di dalam, Nak?!” pekik Mirna mengetuk pintu kamar mandi. Dara terkesiap. Buru-buru ia membersihkan diri sembari menyahuti panggilan sang ibu.

“Eh, iya bu! Bentar! Bentar lagi Dara selesai!”  sahut Dara.

“Ya sudah. buruan mandi. Ibu belikan soto lamongan buat kamu.”

Soto lamongan, makanan kesukaan Dara dan selalu dibawakan Mirna apabila wanita itu pulang dari pasar. Tetapi sekarang, makanan itu tidak menggiurkan hati Dara. Hanya tangisan dan isakan bercampur dengan nada kebencian.

Mirna membersihkan diri di dalam kamarnya. seperti yang biasa ia lakoni. Setelah itu ia harus berjibaku di dapur untuk menyiapkan menu makan malam bagi sang suami barunya, Herman yang tak lain ayah kandung Ardi.

“Kamu kenapa lesu gitu, Ra?” suara Mirna menyapa sang putri yang berjalan ke arah meja makan untuk menyantap soto lamongan yang sudah dibelikannya.

KUTANG GANTUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang