CUKUP SUDAH

2.5K 12 0
                                    


BUGH BANG BANG

Ardi langsung melayangkan pukulan pada wajah ayahnya. Entah atas dasar apa Ardi merasa benci dan marah begitu mendengar jika ayahnya pun terlibat menyetubuhi Dara.

“Apa-apaan kau ini Ardi?! Datang-datang main pukul saja. Aku ini ayah kamu. Apa begini cara kamu bersikap terhadap orang tua?! Hah! Dasar anak durhaka!” cerca Herman.

“Ardi nggak nyangka jika ayah sebejat ini! Kenapa ayah tega meniduri Dara, Yah?! Kenapa?!” Herman langsung membeku mendengar Ardi sudah mengetahu perbuatannya pada Dara. Hati lelaki itu pun langsung merutuk di dalam sana.

“Dasar anak kurang ajar! Berani-beraninya mengadu.” Gerutu Herman menyeka darah kecil di sudut bibirnya.

“Apa ini kelakuan ayah, hah?! Ardi kecewa! Jangan sentuh Dara! Dara itu milik Ardi! Hanya Ardi yang berhak berbuat apa saja pada gadis itu.” teriak Ardi menunjuk pada Herman.

Herman langsung mematung luar biasa melihat tingkah anaknya yang begitu marah saat mengetahui jika Ardi ternyata menaruh simpati pada Dara. Ia juga terkejut karena baru mengetahui jika ternyata selama ini Ardi pun menyukai Dara. Tapi entah itu rasa suka yang tulus atau apalah. Tapi saat ini faktanya bukan hanya sendirian dia yang menikmati tubuh gadis itu tetapi Ardi juga.

Herman menggalau. Antara mengikuti nafsunya atau mengalah saja. Karena yang akan dihadapinya adalah anaknya sendiri.

Di sisi lain, mata Deno melebar sangat sempurna ketika mendengar pengakuan dari Dara. Sepulang sekolah, Dara memutuskan untuk ikut pulang ke rumah Deno. Ibu Deno, Marjah. Sangat suka jika Dara datang mengunjunginya.

“Duh neng Dara. Tambah cantik saja. Geulis pisan euuhh.”

“Udahlah Mak. Anak gadis orang jangan diuyel-uyel. Kasihan.” Timpal Deno yang langsung masuk ke kamarnya dan mengganti pakaian. Dara sudah terbiasa mendatangi rumah Deno. Marja pun serasa memiliki anak perempuan sendiri terhapada Dara.

Lihat begitu Dara datang, Marjah langsung menyiapkan camilan terenak dan makanan favoritnya. Inilah yang membuat Dara merasa betah di rumah yang berukuran enam kali enam meter itu. kecil tapi penuh kehangatan kasih sayang yang tulus.

“Ra, kita ngomong di teras samping yuk,” ajak Deno membawakan piring berisi jajan camilan dan minuman teh hangat untuk Dara. Marjah segera kembali ke dapur. Ia tahu jika kedua anak muda itu sedang bercengkerama di tempat favorit  mereka.

“Deno nasib gue kayak kutang gantung. Dibilang pelacur … bukan. Di bilang anak baik-baik, tapi gue digilir kakak sama ayah gue di dalam kamar.”

“Hah? Serius lo!”

“Emang kapan gue bercanda sama lo, Den.”

Mata Deno masih melotot. Ia tidak percaya dengan apa yang didengar dari sahabatnya itu.

“Terus lo diam aja gitu?”

“Gue diancam. Kalau buka mulut nyawa nyokap gue jadi taruhannya. Gue nggak tega lihat nyokap gue sedih terus, kasihan. Dia udah tua. Saatnya dia bahagia.”

“Dan lo menderita gini, gtu? Gila!” geram Deno menggeleng tak percaya.

“Terus gue mesti apa, Den? Apa yang bisa gue lakukan? Gue perempuan.”

“Terus kenapa kalau lo perempuan, Neng?” celetuk Marjah. Rupanya diam-diam sifat kepo Marjah menyeruak dan menuntun telinganya untuk menguping. Ia sama dengan Deno sangat terkejut dengan pengakuan Dara.

“Emak?” lirih Deno.

“Bibi Marjah?” lirih Dara. Wanita dengan pakaian dasternya itu melangkah mendekati Dara. Dipeluknya gadis itu dan menitikkan air matanya. Marjah tersentuh dengan kemalangan yang menimpa dara belasan tahun itu. Masih terlalu dini bagi sosok Dara untuk menelan pahit kehidupan yang teramat kejam padanya.

“Gue nggak nyangka idup lo semenderita ini, Neng? Apa bu Mirna kagak tahu prihal perbuatan suami dan anak tirinya itu?”

“Dia nggak tahu karena nggak ada yang memberitahunya, Bi Marjah. Apalagi saya.” Dara menunduk.

“Terus kenapa lo masih bertahan neng? Kalau lo nggak tega memberitahu ibu lo, pan paling nggak lo bisa balas sendiri gitu, Neng?”

“Gimana caranya, Bi?”

Marjah terlihat berpikir. Ia menunjuk sisi bibirnya seraya menatap fokus ke bawah. Tapi Deno malah meledek sang ibu.

“Euumm, Mak. Kalau kagak tahu mendingan gak usah ikut campur deh. Ntar sala-salah Dara tersesat lagi,” ucap Deno melimpir sang emak.

“Ye, ini juga lagi mikir Deno. Kasihan neng Dara, ditindas begitu.” Timpal wanita berumur empat puluh tahun itu.

“Aha!” Marjah bersorak sendiri. Dara dan Deno langsung terkejut mendengar jerita wanita itu.

“Emak! Bikin kaget aja!” pekik Deno kesal.

“Emak ada ide,” unggah Marjah.

“Bagaimana neng Dara menikah saja dengan Deno?” mata Deno dan Dara langsung melebar sangat sempurna mendengar gagasan tergila dari wanita polo situ. Jangankan mau jatuh cinta, berpikir untuk mencintai Dara lebih dari apapun saja Deno ogah. Lantas bagaimana dia akan menikahinya. Bagi Deno, Dara adalah sosok sahabat yang ia kagumi dan sayangi. Hanya itu. begitu juga dengan Dara yang selalu menganggap Deno sebagai sahabat terbaiknya.

“Mak, mendingan mak masuk ke dalam gih. Lama-lama nih, saraf emak langsung error kalau di sini, sono! Sono!” Deno menarik tubuh Marjah dan memaksa wanita itu meninggalkan mereka. Marjah merasa tersingkir, namun hal biasa ketika mendapati anaknya malu-malu kucing.

“Eiihh, anak emak malu-malu kucing, sama emak aja malu, kaseepp,” goda Marjah.

“Duh, nih, emak-emak, bukannya adem malam tambah paraf sintingnya. Dah mendingan cabut mak, cabut. Cabut. Banyak-banyak sholawat badar mak,” seloroh Deno.

“E, e, e, ello tuh, ya, emak lo lo usir juga. Dasar anak Zaman sekarang, susah ngaturnya,” omel Marjah lagi.

Seperginya Marjah, Deno kembali pada Dara. Gadis itu tampak melebarkan senyumnya melihat tingkah ibu dan anak tersebut.

“Terus sekarang rencana lo apa, Ra?”

“Entahlah, gue belum kepikiran,” ucap Dara menggeleng seraya menarik udara sebanyak mungkin.

Hari itu, Dara memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Ia heran melihat isi rumahnya. Tampak sepi dan tak ada terdengar suara orang pun di sana.

“Ibu! Bu! Ibu! Dara pulang!” teriaknya memanggil-manggil nama ibunya. Mirna segera mengusap wajahnya. Ia baru saja terjaga dari tidur lenanya. Sayup-seyup ia mendengar suara Dara yang sudah terdengar mendekat dari luar.

“Iya, Ibu di kamar, nak” jawabnya. Wajah Dara langsung muncul ketika suara jawaban dari sang ibu terdengar. Didekatinya wanita itu sejenak mengamati.

“Ibu abis nangis ya? Ibu kenapa? Katakan ibu. Apa ayah Herman pulang dan memarahi ibu? Ayo bilang Dara. Bu.”

“Nggak. Ibu nggak kenapa-napa. Ibu ketiduran aja tadi. Habis masak, ibu kecapean terus istirahat.” Alasan Mirna. Dara masih tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh wanita itu. Bagaimana pun ia menutup wajah sembabnya, tetap saja, wajah itu tak bisa disembunyikan.

“Tapi muka ibu semabab, Bu. Jujur deh,” desak Dara.

“Ibu kangen alamarhum ayah kamu. Kangen banget.” Dara langsung mengalungkan kedua tangannya. Rasa sedih menyapa hati kedua wanita beda usia itu. terlebih Dara yang sangat tersiska setelah kepergian sang ayah. Tak ada lagi pahlawan yang bisa melindungi dia dari kebejatan ayah dan anak itu.

DUBRAKK

Keduanya terkejut mendengar suara pintu yang terbuka keras dari luar.

KUTANG GANTUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang