Sejak pertengkarannya dengan Ardi, Herman membuang diri ke minuman keras. Anehnya, seharusnya penikmat seks seperti dia bukankah seharunya melampiaskan kemarahannya pada deretan kekasih gelapnya itu? tetapi kali ini berbeda, ia malah lari pada minuman keras itu.
"Ya Allah! Mas Herman?" pekik Mirna yang menutup mulut tak percayanya. Ia terkejut ini baru pertama kalinya ia melihat Herman mabuk. Rasa takut akan sosok Herman yang serupa dengan Farhan pun menyapa dinding hati Mirna.
"Ra, ibu takut," lirih Mirna dengan suara gemetarnya. Dara sangat memahami, takut yang dimaksudkan sang ibu tentulah bukan takut terhadap orang mabuk, melainkan sisi lain Herman yang menyerupai Farhan.
"Hei ... hei gadis-gadis cantik! mari sini! Sama mas sini," racau Herman dengan nyegir gelinya. Dara menyenggol lengan Mirna, meminta wanita itu untuk menopang tubuh lunglai Herman yang terlihat gontai.
Mirna segera beranjak dan memapah tubuh layu Herman. Lelai itu pun hanya cengengesan dan berbicara ngelantur dalam ketidak sadarannya. Beruntung Herman dalam keadaan mabuk, padalah kata-kata yang diucapkan cukup mengundang rasa cemas pada Dara dan cemburu pada Mirna.
"Hei, hei, kau nikmat sekali bocah tengik," todongnya pada Dara yang tersipu ketakutan.
"Sudah, Mas. Kamu sudah terlalu mabuk. Sudah jangan banyak bicara. Ayo tidur dulu," kata Mirna menenangkan orang mabuk itu. Orang mabuk, mana sadar dia apa yang dia omongkan padahal kalimat yang diucapkan benar loh, pikir Dara.
Malam ini Dara terlihat lelah. Ia kembali ke kamarnya dan membuang tubuh letihnya ke atas kasur. Dara terlentang menikmati pantulan bayangan di atas langit-langit kamarnya. Kenapa beban ini terasa semakin berat, desahnya dalam batin.
Kalimat Deno dan ibunya terngiang lagi di telinga Dara. Sangat jelas deretan kalimat itu menggema.
"Lantas kenapa kalau perempuan, neng? Walaupun eneng perempuan, eneng punya hak untuk hidup eneng yang lebih baik. Jangan mau ditindas, Neng Dara. Kasihan ibu neng. Bayangkan perasaan seorang ibu? Tidak ada seorang ibupun yang mau anak gadisnya ditindas. Ayam betina pun langsung menjadi galak jika anaknya digangguin." Kalimat marjah seakan memberi penyemangat pada Dara.
Keinginan untuk melakukan perlawananpun langsung mencetus dalam hati gadis berusia belasan tahun itu.
"Demi ibu. Aku harus bermain cantik untuknya. Aku akan melindungi ibu bagaimana pun caranya." Gumam Dara dalam kesendiriannya.
Malam itu Dara benar-benar terselamatkan. Ayahnya yang pulang dalam keadaan mabuk, tak menidurinya. Ardi pun tak pulang setelah ia memberitahu keterlibatan ayahnya dalam menidurinya.
Dunia damai Dara kini telah kembali. Pagi hari terasa canggung untuk satu meja dengan pria yang beberapa waktu lalu menidurinya. Tetapi bagi Herman yang terbilang sangat matang, adalah sangat mudah baginya untuk mengacuhkan semua. Apalagi faktanya lelaki itu selalu pintar mencari mangsa teman tidurnya.
Sudah satu minggu lamanya, Dara hidup dalam ketenangan. Terasa aneh bagi Dara. Ada apa? Apa yang menimpa dua lelaki iblis itu. Herman pergi pagi pulang petang. Sikap lelaki itu masih tampak biasa-biasa saja, tidak ada yang mencurigakan. Ia pun tak lagi datang ke kamar Dara untuk menggauli gadis itu. Sekarang Ardi, sudah satu minggu tak pulang-pulang. Ia pun tak menemuinya di sekolah hanya demi menyalurkan kebutuhan biologis.
"Aneh," lirih Dara.
"Ra! Dara!" panggil Mirna suatu ketika.
"Eh, iya, Bu. Ada apa?" jawabnya ketika duduk-duduk santai di loteng rumah.
"Kamu ngapain di sini? Ngelamunin pacar kamu ya?"
Mirna mengambil tempat duduk di kursi sebelah Dara. Kedua wanita itu menikmati suasana sore itu.
"Nggak, bu. Dara nggak punya pacar. Lelaki mah, sama saja di mata Dara. Susah mencari lelaki jujur zaman sekarang," ucap Dara sembari memainkan buku novel di tangannya.
"Bu. Kak Ardi kemana ya? Kok nggak pernah kelihatan di rumah?"
"Ouh, Ardi. Kata ayahmu dia lagi penelitian di Bogor. Selama dua minggu. Itu studi kuliahnya. Kenapa? Kamu kangen kakakmu ya?" Dara memberikan senyum singkatnya.
"Ibu senang kamu dan Ardi bisa akur. Sebagai orang tua, kalau ibu sudah tiada ibu bisa tenang meninggalkan kamu. Setidaknya Ardi akan menjadi kakak yang baik buat kamu. Dan ayah Herman bisa menjadi ayah yang baik juga buatmu."
Hati Dara tersentak. Makna kalimat ibunya seakan berkata ia akan segera meninggalkan dunia ini. Dara mendelik kesal, ia tidak suka dengan ucapan ibunya.
"Ibu kok, ngomong gitu sih? Dara tidak suka. Bagaimana pun juga, tanpa Ibu Dara tidak akan bahagia. jika Ibu pergi meninggalkan Dara, Dara akan menjadi anak yang jahat."
"Hush! Anak gadis nggaka boleh ngomong gitu, pamali. Kamu harus jadi anak yang baik, sayang."
"Jadi anak baik itu nggak baik, bu. Sering kena tindasan."
"Oh ya? Memangnya anak ibu ada yang menindaskah? Sampai-sampai berpikir untuk menjadi anak yang nakal?"
Kulit hidung Dara mengkerut geli, ia tersenyum kecut menanggapi kalimat ibunya. Hufh, andai Mirna tahu apa yang sudah dilakukan suami dan anak tirinya itu.
"Oh yam au temani ibu ke Minimarket nggak? Perlengkapan kamar mandi Ibu habis?" ajak Mirna. Merasa bosan sendiri, Dara pun menyanggupi.
Kedua wanita itu segera meluncur ke sebuah minimarket yang cukup jauh dari rumah mereka. mereka harus mengendarai taksi untuk sampai ke minimarket yang dituju sore itu.
Minimarket dua tinggkat itu menyambut di depan mata. Dara dan Mirna langsung menuju rak beberapa barang untuk mengambil kebutuhan mereka.
"Bu, semua belanjaan Dara sudah selesai semua, Dara tunggu di luar ya. Gerah di sini," kata Dara berpamitan pada sang ibu. Mirna mengangguk. Ia harus mengantir di deretan meja kasir.
Sembari menunggu sang ibu yang mengantri di deretan meja kasir, Dara menikmati susu kedelainya di teras luar. Namun suasana santai Dara seketika berubah begitu retinannya menangkap tubuh Herman sedang bersama wanita lain.
Di depan minimarket berlantai dua itu, sebuah café ellite memajang. Di sanalah ia menemukan sosok Herman yang bermain gila dengan wanita lain. Mereka terlihat mesra dengan ciuman liar yang dipertontonkan.
"Dasar buaya!" maki Dara. Tatapan Dara langsung menajam. Tangan lentiknya langsung berubah kasar meremas susu kedelai kotak yang dipegangnya.
Entah datang dari mana kebencian itu. Seakan kini satu persatu topeng kebusukan Herman menampil di depan matanya.
"Halo, Deno. Gue mau ngomong sesuatu sama lo," ucapnya dengan suara dingin."
"Lo harus bantu gue. Gue mau kasih pelajaran sama ayah tiri gue yang busuk itu."
"Memangnya lo mau ngapain, Ra?" suara Deno dari seberang.
"Gue harus menghancurkan seseorang. Gue harus buka kedok ayah tiri gue di depan mata ibu gue."
"Iya, terus caranya bagaimana, Dara? Apa yang mesti gue lakukan buat lo?"
"Gue udah nggak tahan. Lo harus percaya sama gue. Gue ngelakuin ini hanya demi membuka kebusukan seseorang, Den."
"Kebusukan siapa, Dara?" suara Mirna tiba-tiba menderu dari arah belakang, membuat Dara teesentak hebat.
"Ibu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KUTANG GANTUNG
RomanceApa jadinya jika ayah dan kakakmu menodaimu di waktu yang bersamaan? Apa yang akan kau lakukan? Dara,gadis berusia 18th itu harus kehilangan mahkotanya di tangan kakaknya, Ardi. Dan ayahnya Herman. Akibat perbuatan mereka Dara kehilangan ibunya dan...