prolog

285 49 11
                                    

"Vael! Hentikan kegilaanmu ini." Dari ambang pintu cafetaria yang otomatis itu Mr.Arthur berteriak. Sebelah tangannya berusaha mengeluarkan warna sihirnya untuk menekan kekuatan gadis itu. Aura berwarna abu-abu menguar darinya menyaingi warna sihir menyilaukan gadis itu.

'Sudah jelas aku yang menang.' pikirnya menyombongkan diri.

Gadis itu cuma meliriknya sekilas memamerkan sudut-sudut matanya yang memerah, lalu menatap lagi seseorangan di hadapannya yang meringis kesakitan karena tercekik olehnya. Samar-samar ia bisa mendengar suara bisikan siswa lain yang membicarakan auranya.

"Bagaimana bisa peternak itu punya warna sihir putih?"

"Serius? Dia cuma anak kelas pengendali hewan kan?"

"Lihatlah Bian Lee yang tak berdaya di tangannya."

"Aku tak pernah tau peternak babi bisa sekuat itu."

"Ini terlihat menyeramkan, aku tak bisa melihat pembunuhan dengan mataku."

Suara memekik pisau air yang tajam akhirnya mengenai titik terlemahnya. Tepat di punggung tangan, sihir penguatnya pun ikut padam. Bersamaan dengan itu tangan kecilnya yang tadinya kemerahan kini kembali ke warna semula, putih pucat, dengan sedikit hiasan darah disana.

Vael melepaskan Bian yang hampir meregang nyawa karena hipoksia. Ia tergeletak diatas lantai sambil berusaha menarik nafas sebanyak-banyaknya. Tubuhnya tampak begitu lemas.

Payah! Padahal ia laki-laki yang sering dianggap paling keren oleh orang sekampus. Apa hanya ini kemampuannya? Ternyata jagoan sok kuat ini cuma bisa bermain-main dengan makhluk yang lebih lemah. Menjengkelkan.

"Maza Valhara!" Suara melengking itu pasti wali kelasnya.

Mr.Arthur berjalan dengan tergesa kearah mereka. Tidak, ia cuma terburu-buru menggendong Bian yang nyawanya sudah lepas setengah badan.

"Apa kau berniat membunuhnya?"

Wanita itu berteriak dengan marah. Otot-otot lehernya menyembul seolah ingin ikut mengintimidasi gadis itu. Ia terlalu tegas dan galak untuk ukuran wanita muda perawan yang belum menikah.

'Pantas tak ada laki-laki yang mau mendekatinya.' Vael dengan pemikirannya yang hanya bisa dipendam sendiri.

"Ya, meski sayangnya gagal." Tak ada penyesalan dalam nada suaranya, raut mukanya pun tak tampak bersalah. Ia cuma mengendik tak peduli. Pikirnya Bian harusnya bisa mendapat pelajaran lebih buruk kalau wanita itu tak menyelanya.

Wanita itu marah. Lalu mengacungkan telunjuknya di depan muka Vael.
"Ikut denganku ke kantor sekarang." Ia hampir menyeret lengan gadis itu namun ia mengurungkan niatnya, lalu berbalik dan menatapnya tajam, "dan jangan berani menggunakan sihirmu padaku!" Ujarnya sambil menarik ujung lengan bajunya.

Vael memutar bola mata dengan malas, keluar dari cafetaria dengan diseret wali kelasnya dan mengabaikan bisik-bisik siswa lain yang membicarakan kejadian ini. Namun mata Almondnya sempat bersibobrok dengan mata rubah Lealona Ia menatapnya dengan tatapan.. entahlah Vael pun tak bisa memahaminya.

Apa ia marah karena Vael hampir membunuh kekasihnya?

***

Di sebuah sofa panjang yang empuk, rambut hitam panjang itu terurai, sang pemilik rambut memiliki bulu mata panjang yang melengkung, hidungnya kecil, dengan bibir tipis kemerahan yang menggoda. Ia menguap meregangkan tubuhnya yang kaku. Sejenak ia linglung tentang dimana ia berada dan apa yang ia lakukan.

Lalu begitu nyawanya kembali ke tubuh, ia menoleh menatap seonggok kucing berbulu abu-abu yang tergeletak lemah tak berdaya dengan selimut tipis diatas meja periksa. Ia tertidur dengan pulas usai operasi besar-besaran oleh salah satu mahasiswa kenalannya.

Smile BrightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang