Chapter 2

74.4K 6.8K 87
                                        

©Claeria


Tadinya aku memutuskan untuk menunggu partnerku menghubungi lebih dulu atau melupakannya sama sekali, tapi ternyata tidak bisa. Aku malah uring-uringan sepanjang akhir pekan. Kalau tidak dituntaskan, sepertinya rasa penasaran ini bisa menghantuiku berminggu-minggu!

Oleh karena itu, di hari Senin ini aku memutuskan untuk menemui satu per satu pria yang ada dalam daftar kecurigaan Dion. Sesepele apapun malam itu di mata partnerku, setidaknya dia akan menunjukkan reaksi ketika melihatku kan?

Aku mengintip dari balik pilar besar di lobi dan menggerutu ketika melihat targetku belum datang. Menurut info dari Clara, Pak Ferdi biasanya datang pukul tujuh tepat, diantar supirnya naik Alphard. Karena biasanya para direktur menggunakan lift eksekutif, kesempatanku untuk bertemu dengannya adalah di lobi.

Aku menghentakkan kaki tidak sabar sambil meminum sekotak susu rasa melon. Tepat ketika aku menghabiskan isinya, sebuah Alphard hitam berhenti di lobi. Aku buru-buru bersiap.

Pak Ferdi turun dari mobil sambil menenteng tas kerja yang harganya selangit. Dia tampak tua dengan rambut yang menipis di tengah kepala. Aku bergidik ngeri, jangan sampai dia partnerku tempo hari! Hiiiiii....

"Pagi Pak," sapaku sambil tersenyum dan mengangguk sopan.

"Pagi," Pak Ferdi balas tersenyum.

Pak Ferdi mungkin bingung, aku yang jelas-jelas tidak dia kenal ini tiba-tiba menyapa sok akrab. Sebenarnya malu, sih, tapi... Cuek saja lah!

"Maaf kalau lancang, Pak, tapi saya mau tanya. Dasi Bapak beli di mana, ya? Papa saya sebentar lagi ulang tahun, kayaknya bagus untuk hadiah," lanjutku, masih berusaha menyamakan kecepatan berjalannya.

Mendengar pertanyaanku, Pak Ferdi tersenyum sumringah. Ia tertawa dan memegang dasinya, "Selera kamu bagus ya! Ini hadiah dari anak saya waktu ulang tahun perkawinan. Katanya dia beli di butik di Singapore yang khusus jual dasi!"

Melihat respons antusias itu, aku manggut-manggut.

"Kalau kamu hadiahkan untuk Papa kamu, beliau pasti suka. Yuk, duluan," lanjut Pak Ferdi masih dengan senyum lebar, sepertinya sangat senang dasinya dipuji.

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Respon barusan itu... Biasa saja, nggak sih? Reaksi Pak Ferdi jelas bukan reaksi orang yang melihat partner one night stand, kan?

Sepertinya dia bukan orang yang aku cari.


***


Ketika jam istirahat tiba, aku kembali melanjutkan misiku. Aku buru-buru turun ke kantin di lantai dasar, mencari Mas Aksa di sana. Info dari Dion, Mas Aksa ini tipe orang yang selalu makan tepat waktu, dengan pilihan menu yang itu-itu saja. Kalau tidak makan soto ayam, ya nasi rames, begitu kata Dion.

Aku memesan semangkuk soto ayam dan menoleh ke kanan dan kiri, berusaha menemukan pria berambut ikal itu di antara puluhan karyawan yang tersebar di satu ruangan yang lapang.

Ketika menemukan dia makan sendirian, aku buru-buru mengambil langkah lebar menghampirinya.

"Permisi, boleh ikut duduk di sini, Mas?" tanyaku sok ramah.

Mas Aksa menoleh, "Boleh, nggak ada orangnya kok. Silakan."

Setelah mempersilakanku duduk, dia lanjut makan dengan fokus, tidak menoleh sama sekali.

Will You Not Marry Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang