Ada butiran debu di ujung jarinya, Seokjin melihat mereka semua terbakar menjadi abu. Awalnya dia mengira akan ada cahaya. Bagaimanapun, langit ditutupi dengan bintang-bintang dan debu mereka. Seokjin berada di Bulan, butiran debu seperti butiran pasir meraih jari-jarinya, telapak tangannya, menemukannya sendiri.
Ada bintang di kejauhan, bintang yang hilang. Seokjin berani bersumpah itu Jimin.
Betapa bodohnya dia, pada awalnya dia mengira itu akan menjadi terang, tetapi kegelapan menekannya. Untuk satu malam, untuk satu malam, dia menyaksikan cahaya menyerah pada kegelapan. Dia hanya berharap semuanya seterang dan semurni debu di ujung jarinya.
Air mata menetes dari sudut matanya. Seokjin bisa menahan rasa sakit fisik, itu tidak pernah menjadi masalah. Dia hanya tertawa ketika dia menjatuhkan dirinya ke tanah hanya untuk merasakan, memegang sesuatu, dan dicabik-cabik oleh orang-orang yang bahkan tidak dia kenal. Terima kasih telah membuatnya merasakan sesuatu, terima kasih telah memberikannya sesuatu, meskipun itu menyakitkan.
Tapi sekarang setiap rasa sakit yang tidak membunuhnya membunuh hatinya.
Dia di tanah, tujuh lantai di bawah neraka, di lubang neraka yang ditinggalkan. Bintang-bintang berbohong. Butir-butir debu adalah kebohongan. Cahaya Jimin adalah kebohongan. Itu murni kegelapan dan kebrutalan.
Dia mendengar panggilan telepon di kejauhan.
"Halo, apakah aku sedang berbicara dengan Tuan Kim Seokjin, suami Kim Jimin?"
"Kami turut berduka atas kehilanganmu."
"...ditemukan tewas di sebuah gang."
"Untuk detailnya, silakan datang ke sini ..."
"Diserang..."
"Apakah kamu tahu siapa pelakunya? Siapa yang mau melakukan ini pada pasanganmu?"
Apakah itu alasan pembunuhan itu?
Dunia berputar, meskipun itu adalah tujuh lantai jauh di dalam neraka. Mata sabit Seokjin terpejam, dua kotak obat yang baru saja dia telan terbakar di dalamnya. Air mata mengalir lebih jauh, cepat dan keras dan panas.
Sangat panas.
Seokjin meletakkan tangannya di perutnya, air mata perlahan mengalir di pelipisnya. Dia benci untuk menyerah, tetapi dia yakin jika dia menutup matanya, jika dia merasa dirinya di pantai, dia bisa menahan menyerah, dia hanya ingin kembali ke masa lalu.
Ketika Seokjin berada di tujuh lantai di neraka, dia takut untuk melihat ke belakang, Jimin tidak ada di sana, hanya kegelapan yang menyesakkan dan menyelimuti. Dia mengisap Seokjin, meraih jari-jarinya dan menyeretnya ke dalam kehampaan yang menakutkan. Seokjin takut akan ketidakterbatasan. Segala sesuatu yang tidak disentuh matanya, segala sesuatu yang berdiri di keluasan, membuatnya takut.
Di dalam dadanya ada seekor burung, burung yang terkunci. Seokjin tidak bisa berkibar, dia mendengar burung itu berkibar saat debu bintang diseka dari jari-jarinya oleh kegelapan. Sayap menghantam tulang rusuknya, melukai dirinya sendiri bahkan lebih saat dia mencoba melarikan diri. Seokjin membandingkan dirinya dengan seekor burung. Mengapa dia semakin sekarat saat dia berkibar?
Dia ingin muntah, tetapi tidak dapat menemukan kekuatannya, dia terus berbaring di ubin di lantai kamar mandinya. Jari-jari surgawi menyentuh kelopak matanya yang tertutup, jari-jari halus Jimin menjelajahi kulitnya.
"Ayolah sayang."
"Tolong lihat ke belakangmu."
"Aku mencintaimu."
"...selalu bersama..."
"Namaku Park Jimin. Siapa namamu? Hei, HEI! Kamu tidak menyebut namamu! Hei!"
Biarkan aku mati.
Tuhanku.
Biarkan aku mati.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Jeon | Kookjin✔️
FanfictionAda sesuatu yang tak dapat disangkal tentang begitu menyenangkannya membuat seseorang yang lebih kuat darimu berlutut. Kim Seokjin, seorang profesor arsitektur yang hancur oleh masa lalu yang tidak diketahui siapapun kecuali lingkaran dekat nya, dan...
