🎭🎭🎭
"Segini saja, Dik?"
Pertanyaan itu kujawab dengan anggukan, kegiatan sepekan tidak harus kupersulit dengan banyaknya barang bawaan. Satu tas baju yang tidak begitu besar dan satu tas laptop, aku tidak mungkin meninggalkan benda itu karena belum ada yang bisa kutitipi dengan tenang. Beberapa dari mereka memang cukup baik, tetapi aku belum bisa percaya selain pada diriku sendiri.
"Ini buat kamu," ujar kak Galih sembari menyerahkan sebuah amplop.
"Buatku?"
"Iya, nanti kalau ada apa-apa jangan segan bilang sama kita semua," tambah kak Ezar.
Aku menatap mereka, senior yang mayoritas laki-laki itu sangat menjagaku. Sejak awal berada dalam organisasi, mereka selalu menjadikanku ratu seolah tak ada satu pun yang boleh menganggu. Suara klakson mobil terdengar, mereka segera membawa dua tas milikku untuk dimasukkan ke bagasi.
"Mobilnya udah dibayar, kamu cuma siapin tenaga aja buat kegiatan di sana nanti." Kak Calvin tersenyum manis menatap binar mataku.
"Makasih loh kakak yang ganteng-ganteng ini, baik sekali sama adiknya."
Terakhir aku berpamitan meminta restu untuk berangkat, menjabat tangan mereka satu-persatu yang dibalas dengan tepukan lembut di atas jilbabku. Kegiatan ini adalah kali pertama keberanianku dicoba, biasanya mereka akan mengirim perwakilan senior yang cerdas dan cakap. Sebab ini bukanlah kegiatan regional, di sana nanti aku akan melihat perwakilan Himpunan dari seluruh Indonesia.
Kulambaikan tangan untuk terakhir kali dari dalam mobil, aku yakin mereka baru akan bubar setelah mobil yang membawaku menghilang di tikungan. Perasaan hangat seperti ini selalu berhasil membuatku lupa akan kejahilan mereka, senior yang selalu menguji kesabaran dan loyalitas dengan dalih membentuk pondasi yang kokoh.
Beberapa notifikasi masuk, pesan dari senior-senior perempuan mulai membanjiri room chat yang menemaniku dalam perjalanan. Keberangkatan malam menjadi alasan mereka tak bisa mengantar, aku pun enggan mempermasalahkan hal itu karena masih ada kak Galih, kak Calvin, kak Ezar dan kak Zio yang datang membantu.
Musyawarah Nasional. Begitu yang tertera dalam undangan digital di gawai, aku masih mengeja nama yang tercetak di sana sebagai jawaban dari surat pengajuan pengurus Cabang. Meski tak jauh, aku cukup bersemangat karena datang ke Surabaya dengan jadwal di luar kegiatan travelling seperti biasa.
Tentu sudah ada pro dan kontra yang terjadi sebelum aku pergi, keputusan senior untuk mengirimku tidak sepenuhnya mendapat respon baik. Ada beberapa yang menyayangkan atau lebih tepatnya berusaha menggagalkan, sebab aku dianggap baru tumbuh kemarin sore dan sudah beruntung mendapat kesempatan selangka ini.
"Adelita itu kader kapan? Bisa begitu, punya proses segampang dan seinstan dia," ujar Julian.
"Iya sih, kalau dipikir masih banyak yang lebih baik dari dia," sambung Tari.
"Lagian politiknya bagus sih, dia dari awal 'kan udah deketin kak Calvin."
"Bukan itu doang, dia bahkan sering bikin masalah sama kak Devi gara-gara pacarnya lebih perhatian sama dia daripada kak Devi."
"Iya gak sih, kok bisa kader seribet itu malah jadi pusat perhatian."
"Dikasih panggung, jelas dia manfaatin dong."
"Terus kalau bukan Adelita, siapa yang mau pergi dan punya gagasan lebih kuat dari dia?"
Suara tegas kak Zio menengahi celetukan mereka, tentu tak ada yang bisa langsung menjawab pertanyaan Sekretaris Cabang yang terkenal dingin itu. Ziovani Dafareza bukan sosok yang suka ikut campur dengan urusan orang lain, tetapi mendengar nama juniornya yang sudah berusaha berjuang sejauh ini direndahkan tentu membuat lelaki itu harus pasang badan meluruskan.
![](https://img.wattpad.com/cover/301142822-288-k223070.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hukum dalam Rasa
Teen FictionBertemu dan terjebak bukanlah pilihan yg kurangkul, sebab selalu ada harap yg menyertai setiap langkah semakin rapat. ~ Arsyraina Bertemu lalu merindu, terasa sulit saat itu karena aku tak mudah melupakanmu. Meski pada sekian detik berikutnya, aku s...